Nasib memilukan kembali lagi terjadi dialami pekerja migran Indonesia (PMI), dua orang PMI meninggal dalam kondisi penuh luka diduga mengalami kekerasan dan kerja paksa di Kamboja. PMI yang meninggal IS (27 tahun) berasal dari daerah Kabupaten Bekasi, Jawa Barat dan RS (30 tahun) Banyuwangi, Jawa Timur. Peristiwa ini berkembang dari linimasa dan mengundang kecaman luas dari kalangan masyarakat. Keduanya diduga menjadi korban atau terindikasi kejahatan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Saat ini tengah berkembang modus perekrutan PMI secara daring yang dijanjikan pekerjaan sebagai operator atau customer service namun kenyataannya mereka dipekerjakan di perusahaan online scam di Kamboja, Filipina, Myanmar, Laos, dan Thailand.
Di tengah gelar yang mulia sebagai pahlawan devisa karena kontribusi besar terhadap perekonomian nasional melalui arus masuk remitansi para PMI terhadap penerimaan devisa yang berdampak positif terhadap Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Sepanjang tahun 2024, total remitansi PMI mencapai USD 15,7 miliar, atau setara 253,77 triliun rupiah (Bank Indonesia, 2025). Angka ini menjadikan remitansi PMI sebagai penyumbang devisa terbesar kedua setelah sektor minyak dan gas bumi (migas). Namun, di balik tingginya angka remitansi tersebut, terdapat kenyataan pahit: banyak PMI menjadi korban kejahatan TPPO. Migrasi berisiko menjadi celah terjadinya TPPO dengan berbagai modus yang paling banyak adalah modus penempatan pekerja migran. PMI merupakan kelompok rentan yang dekat dengan ancaman perdagangan orang, sebuah bentuk kejahatan luar biasa (extraordinary crime).
PMI tak hanya mengirim devisa, tapi juga membawa cerita pilu. Menurut data Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI), sepanjang 2024 terdapat 1.500 laporan pengaduan, dengan kasus terbanyak terkait permintaan pemulangan, gagal berangkat, dan gaji tidak dibayar (KP2MI, 2025). Salah satu ancaman utama dalam migrasi PMI adalah fenomena online scam yang sedang marak di Asia Tenggara. Kamboja termasuk negara dengan jumlah pengaduan tertinggi dari PMI dalam beberapa tahun terakhir. Situasi ini menyoroti lemahnya pengawasan, pencegahan, serta rendahnya literasi tentang migrasi yang aman.
Mimpi yang Dibajak Kejahatan TPPO
Masih hangat dalam ingatan mengenai viralnya tagar #KaburAjaDulu, yang merupakan ekspresi keinginan sebagian masyarakat untuk mencari penghidupan di luar negeri akibat kekecewaan terhadap kondisi ekonomi, sosial, dan politik dari situasi yang dianggap tidak menentu di dalam negeri. Sulitnya mencari pekerjaan, rendahnya gaji, dan ketidakpastian masa depan membuat banyak orang berani mengambil risiko merantau. Mereka memiliki mimpi untuk mendapatkan pekerjaan layak dan penghasilan besar, meski harus jauh dari keluarga tercinta dan kampung halaman demi satu harapan untuk memperbaiki ekonomi keluarga dan kehidupan yang lebih baik.
Namun, niat baik untuk bekerja ke luar negeri harus diikuti pemahaman tentang prosedur yang benar dan aman. Kasus yang menimpa PMI di Kamboja menjadi bukti bahwa mimpi itu bisa berubah menjadi mimpi buruk ketika mereka terjebak dalam penempatan non-prosedural jaringan kejahatan digital, bekerja di perusahaan scam dan judi daring, mengalami kerja paksa serta kekerasan fisik dan psikis. Padahal, dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran diatur bahwa PMI hanya dapat bekerja ke negara-negara tujuan penempatan resmi. Kamboja, Myanmar, dan Thailand saat ini bukan termasuk negara tujuan penempatan tersebut.
Situasi ini menyoroti pentingnya pengawasan, pencegahan, serta peningkatan literasi migrasi aman. Sosialisasi mengenai migrasi yang aman harus dilakukan secara masif untuk memastikan calon pekerja migran dan keluarganya paham hak-haknya dan tidak terjerumus dalam jebakan TPPO. Mereka harus memahami pentingnya memilih jalur penempatan prosedural dan memahami risiko bekerja di negara yang belum memiliki perjanjian kerja sama penempatan atau belum memiliki peraturan perundang-undangan yang melindungi pekerja asing dan/atau sistem jaminan sosial.
Pencegahan, Pelindungan, dan Penuntutan
Dalam upaya pencegahan kejahatan TPPO pemerintah memiliki Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO). Namun, banyak pihak menilai bahwa regulasi ini sudah tertinggal zaman dan perlu dilakukan perubahan. Selain itu, terdapat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 49 Tahun 2023 Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang melibatkan 24 kementerian/lembaga dengan Kapolri sebagai ketua harian.
Pada tingkat regional, Indonesia juga telah mengadopsi Rencana Aksi Nasional PPTPPO disinergikan dengan Rencana Aksi ASEAN 2015 melawan perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak, serta meratifikasi Konvensi ASEAN Menentang Perdagangan Manusia (ASEAN Convention Against Trafficking in Persons, Especially Women and Children/ACTIP). Konvensi ini telah diratifikasi oleh seluruh anggota ASEAN, termasuk Indonesia (IOM, 2023). Namun, implementasi di lapangan masih memerlukan penguatan.
Pelindungan PMI kini menghadapi ujian yang semakin kompleks, memerlukan koordinasi, sinergi, kerja sama antar pemangku kepentingan, dan koordinasi pemerintah pusat dan daerah. Pada kasus kejahatan TPPO juga membutuhkan pengembangan norma hukum dan penegakan hukum seperti harmonisasi peraturan terkait TPPO, penyusunan petunjuk teknis untuk aparat penegak hukum saat menangani kasus TPPO, dan penyediaan satu data TPPO yang terpadu serta kerja sama antarnegara dalam penanganan kasus kejahatan TPPO yang bersifat transnasional.
Akar permasalahan TPPO antara lain adalah kemiskinan, kurangnya lapangan kerja, permintaan dari negara tujuan, dan diskriminasi gender. Oleh karena itu, pelindungan terhadap PMI dan keluarganya perlu diperkuat melalui kebijakan yang responsif, pengawasan yang ketat, penegakan hukum yang tegas, serta edukasi dan kesadaran masyarakat yang lebih baik.
Tantangan pelindungan calon pekerja migran, PMI dan keluarganya semakin berat. Dengan memperkuat sistem pelindungan dan menyebarluaskan informasi mengenai migrasi yang aman, diharapkan jumlah PMI yang menjadi korban TPPO dapat diminimalisir. Sudah saatnya negara benar-benar hadir untuk memastikan mimpi anak bangsa tidak lagi dibajak oleh kejahatan lintas negara.