Saat berbicara pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-2 ASEAN-Gulf Cooperation Council (GCC) di Malaysia (27/5/2025), Presiden Prabowo Subianto kembali menyatakan bahwa “Indonesia siap untuk mengirim pasukan penjaga perdamaian ke Gaza.” Pernyataan tersebut relevan tidak hanya dalam konteks posisi Indonesia yang konsisten membela Palestina, tapi juga dalam konteks kita mengingat hari The International Day of United Nations Peacekeepers yang diperingati tiap 29 Mei.
Presiden Prabowo menegaskan bahwa Indonesia siap memberikan layanan kesehatan dan menyambut warga Palestina yang menjadi korban perang, sebagai bentuk solidaritas kemanusiaan. Bagi Prabowo, penting untuk penyelesaian damai dan rekonstruksi Palestina berdasarkan solusi dua negara dengan Al-Quds sebagai ibu kota Palestina yang merdeka.
Prabowo tidak hanya beretorika, tapi melakukan kunjungan ke negara-negara Teluk guna menyelaraskan langkah bersama tersebut. Kesiapan logistik, dukungan diplomatik, dan kemauan politik menjadi landasan penting dari keseriusan Indonesia berperan aktif dalam menyelesaikan krisis di Palestina.
Menurut Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid, ‘bantuan militer’ yang disampaikan Presiden Prabowo adalah bentuk nyata dalam menyelamatkan hak bangsa Palestina yang dijajah. Dalam Konferensi Aktivis Asia Pasifik untuk Al-Quds dan Palestina di Bandung (25/5/2025), ia menegaskan bahwa penjajahan Israel tidak bisa dibiarkan dan memerlukan tekanan konkret dari negara-negara Muslim, termasuk Indonesia.
Jika kita cermati, gagasan pengiriman pasukan Indonesia ke Gaza tidak hanya soal bantuan militer tapi juga non-militer. Dari sudut geopolitik, langkah ini menunjukkan posisi Indonesia sebagai kekuatan moral dari Global South yang berani bersikap tegas terhadap penjajahan secara konsisten. Kehadiran pasukan Indonesia di Gaza akan mengirim pesan bahwa dunia tidak tutup mata terhadap penderitaan rakyat Palestina.
Keterlibatan aktif Indonesia juga dapat memperkuat posisi kawasan ASEAN dalam percaturan global, terutama jika dapat bersinergi dengan GCC dan organisasi seperti OKI dan Liga Arab. Dalam konstelasi internasional yang mulai menunjukkan solidaritas kepada Palestina—dari PBB, ICJ, ICC, dan mulai banyaknya negara yang mendukung Palestina—Indonesia bisa memainkan peran sebagai jembatan diplomatik dan kekuatan stabilisator dari Asia Tenggara.
Tentu saja misi perdamaian Indonesia tidak hanya soal kehadiran pasukan bersenjata tapi ini bagian dari penyelamatan generasi suatu bangsa yang terancam eksistensinya sebab genosida sistematis oleh Israel. Untuk itu, jika gagasan tersebut jadi, maka pasukan kita perlu dibekali berbagai pemahaman yang utuh terkait konteks sosial dan budaya Gaza agar kehadiran mereka diterima dan bermakna.
Mengutip C.P. Kottak (Cultural Anthropology, 2015:232), dalam kehidupan manusia yang tidak pasti (uncertainty), manusia membutuhkan ‘sesuatu yang kuat’, yakni agama yang tercermin dalam berbagai aktivitas kepercayaan, ritual dan praktik sosial yang terkait dengan Tuhan. Keyakinan itulah yang membuat kenapa orang Gaza memiliki mental pemberani melawan otoritas pendudukan dalam relasi-kuasa yang tidak seimbang.
Rahasia kekuatan orang Gaza—yang tetap memilih bertahan di dalam negerinya atau keluar tapi tetap melakukan perlawanan—nampaknya ada pada keyakinan tertinggi tersebut. Apalagi, mereka mempertahankan kiblat pertama umat Islam, yakni Masjid Al-Aqsa dari zionis Israel. Pemahaman konteks sosial-budaya Gaza penting tidak hanya bagi pasukan perdamaian tapi juga buat masyarakat internasional.
Artinya, kemampuan bertahan orang Gaza patut untuk dipelajari. Di tengah kesulitan hidup, mereka tetap berjuang untuk negerinya. Sama dengan situasi kita dulu di mana para pejuang mati-matian melawan penjajah dengan satu kata yang kuat: ‘merdeka atau mati.’ Dalam situasi terkurung di penjara, sebagaimana sebuah berita di Instagram Al Jazeera Mubasher, bahkan ada tahanan Palestina di penjara Israel yang dapat menghasilkan karya yang memudahkan bagi penghafal Al-Qur’an.
Pasukan Indonesia yang akan dikirim, olehnya itu diharapkan menjadi pelindung dan sahabat bagi warga sipil. Pendekatan humanistik dan empatik adalah kunci dari misi tersebut. Sejak lama, Indonesia sudah punya rekam jejak positif dalam berbagai misi penjaga perdamaian PBB sejak 1957 Kontingen Garuda I ke Mesir. Sejak itu, Indonesia telah mengirimkan pasukan ke berbagai misi PBB di seluruh dunia seperti ke Kongo, Vietnam, Timur Tengah, Irak, Kamboja, Somalia, dan Bosnia. Ini merupakan modal luar biasa bagi bangsa kita sebagai bangsa yang kerap menjadi ‘tangan di atas’ untuk misi-misi kemanusiaan.
Indonesia berada dalam posisi strategis untuk memimpin upaya kolektif mendukung rakyat Palestina. Langkah mengirim pasukan ke Gaza harus ditempatkan sebagai bagian dari strategi jangka panjang untuk memperjuangkan keadilan dan perdamaian, bukan hanya solusi instan dan sementara atas konflik yang terjadi saat ini. Harus ada solusi yang komprehensif dan jangka panjang.
Kita berharap jika gagasan tersebut terealisasi dan pasukan Indonesia hadir di Gaza dapat berdampak pada penyelamatan warga Gaza yang dilanjutkan dengan rekonstruksi kota yang hancur. Indonesia adalah salah satu simbol kekuatan dunia Islam yang berpihak pada rakyat tertindas yang diharapkan masyarakat dunia. Kita berharap gagasan tersebut dapat terwujud.