Percaya diri adalah karakter penting yang sering disebut sebagai salah satu penentu kesuksesan seseorang. Anak-anak yang percaya diri dapat dengan mudah berbaur dengan beragam pihak, mengerjakan segala sesuatu dengan yakin, dan belajar tentang banyak hal dengan lebih mudah.
Namun pada praktiknya, membangun rasa percaya diri anak-anak bukan perkara mudah. Terutama jika anak-anak ini dalam posisi selalu direndahkan dalam kehidupan sehari-hari. Di ruang keluarga, mereka tidak didukung memadai oleh orangtua atau orang dewasa di sekitarnya. Seringkali mereka menerima tatapan kurang menyenangkan yang biasanya bersifat merendahkan.
Anak-anak dari keluarga serba terbatas secara ekonomi selalu berada pada posisi rentan. Saat anak-anak lain dibelikan mainan, boneka, sepeda, dan perlengkapan bermain lainnya, mereka cenderung hanya mengamati teman-temannya bermain dengan gembira. Jika diberi kesempatan, barulah mereka mencoba menggunakan sepeda tersebut.
Ketika teman-temannya bercerita tentang lokasi wisata atau tempat bermain yang sudah dikunjungi saat liburan, mereka hanya terdiam mendengarkan. Saat teman mulai memainkan permainan terbaru, mereka hanya ikut mengamati dan mendengar cerita.
Ketika anak-anak lain bermain layangan dengan mudah, mereka hanya kebagian memegangi layangan sebelum ditarik oleh temannya yang berpunya. Saat teman berlarian mengejar abang siomay, cilok, cimol, bakso, dan es krim karena memiliki uang jajan memadai, anak-anak ini hanya mematung dan menunggu teman-temannya berbagi.
Dalam konteks tersebut, seolah tak ada ruang membangun rasa percaya diri anak-anak. Tanpa ketangguhan personal dan dukungan dari keluarga, masyarakat, dan sekolah, anak-anak ini kehilangan kesempatan membangun kepercayaan diri.
Kapital Budaya dan Peran Pendidikan Keluarga
Sesuatu yang ada di diri anak merupakan akumulasi pendidikan dari rumah, masyarakat, dan keluarga. Saat ini hal itu juga sangat berkaitan dengan dunia digital. Pertautan mereka dengan berbagai arena tersebut membentuk kapasitas diri secara intelektual maupun karakter.
Sosiolog Prancis Pierre Bourdieu menyebutnya sebagai cultural capital (kapital budaya, atau modal budaya). Dalam tulisannya The Forms of Capital, Bourdieu (1986) mengkritik pendekatan para ekonom yang memandang pendidikan hanya sebagai investasi ekonomi. Menurutnya, para ekonom mengabaikan bentuk investasi pendidikan yang paling tersembunyi namun paling menentukan secara sosial, yaitu transmisi kapital kultural dalam lingkungan keluarga (domestik).
Bourdieu juga menegaskan bahwa sistem pendidikan berkontribusi pada reproduksi struktur sosial melalui pengesahan transmisi warisan kapital kultural. Intervensi pendidikan sangat bergantung pada kapital kultural yang diinvestasikan keluarga, serta keuntungan ekonomi dan sosial dari kualifikasi pendidikan juga bergantung pada kapital sosial.
Kembali ke percaya diri anak, karakter tersebut dibangun melalui transmisi kapital kultural di ruang keluarga. Kepercayaan diri hadir karena anak-anak terbiasa berdialog, menyampaikan unek-unek dan kegelisahan, serta memiliki peluang mendapatkan yang diinginkan untuk pendidikan.
Kerapuhan Mental Anak dan Tantangan di Sekolah
Di tengah hidup yang penuh multi-stressor, mewujudkan keluarga yang hidup baik secara finansial dan memberikan kasih sayang kokoh kepada anak-anak semakin sulit. Misalnya, tinggal di kota besar dengan gaji di bawah upah minimum dan dukungan sosial minim sangat sulit memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jika sudah berkeluarga, kebutuhan pendidikan, transportasi, dan konsumsi meningkat. Harga rumah tinggal pun terus melambung tak masuk akal.
Anak-anak dari keluarga serba terbatas terkena dampak langsung. Jika orangtua lengkap, keduanya harus bekerja atau cari tambahan karena uang kurang memadai, sehingga ada waktu tumbuh anak yang terlewati. Jika keluarga single fighter (karena angka perceraian meningkat), pergulatan pemenuhan hidup layak makin sulit.
Seorang guru pernah menceritakan kisah pilu siswanya di sekolah negeri tanpa iuran, tapi banyak anak menghadapi tantangan ongkos dan konsumsi harian, bahkan uang kas rutin kelas. Beberapa anak berbisik lirih, “Bu saya lapar, belum sarapan dan tak bawa uang jajan.” Ada yang memilih tidak masuk sekolah berhari-hari karena tak punya uang.
Situasi serupa kemungkinan besar tidak hanya di sekolah itu. Pendidikan yang seharusnya menjadi suaka perlindungan terbaik dan harapan masa depan seringkali tak berdaya. Anak-anak bersemangat belajar membawa kerapuhan mental dari keluarga yang tak bisa disembuhkan di ruang pendidikan. Pelarian ke tindakan ekstrim seperti tawuran, minuman keras, seks bebas, hingga judi online semakin tak terhindarkan.
Relasi sosial di rumah, sekolah, dan masyarakat membuat anak-anak kehilangan rasa percaya diri. Bahkan mengimajinasikan hidup berbeda dari keseharian sangat sulit bagi mereka. Jebakan dan jeratan kehidupan kelam bisa singgah dalam hidup mereka. Di usia belia, saat teman punya kemewahan belajar, membaca buku, makan enak, dan menikmati keceriaan, anak-anak ini bergelut kerasnya hidup. Banyak hal membuat mereka tunduk, bahkan pada mimpi sendiri.
Anak-anak ini kehilangan kemampuan bersuara lantang menghadapi kehidupan yang kelam. Ini tantangan bagi pembuat kebijakan agar anak-anak mendapatkan pendidikan yang memungkinkan mereka menjadi pribadi percaya diri.
Membangun Potensi Tersembunyi Melalui Pendidikan
Tujuan pendidikan menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20/2003 adalah:
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.”
Negara bertanggung jawab membangun secara sadar dan terencana agar anak mampu mengembangkan potensi tersembunyi (hidden potential) yang harus dibangkitkan. Merujuk Adam Grant (2024), harus ada sistem yang memberi kesempatan bagi setiap individu untuk berkembang dan mendapatkan motivasi memadai.
Menurut Bourdieu, pendidikan menjadi ruang internalisasi kapital budaya. Membangun kepercayaan diri anak sangat penting. Dengan meyakini diri mampu menguasai pengetahuan, keterampilan, dan karakter yang dibutuhkan untuk menghadapi kehidupan pelik, anak akan bertahan di masa kini dan depan, menjadi pribadi kritis yang mampu menyelesaikan tantangan hidupnya.
Jika merujuk pada penjelasan Romo Mangunwijaya (2020) ada beberapa hal yang harus dicapai anak di ruang pendidikan. Pertama, karakter, sikap, ketakwaan, mental spiritual yang harus menjadi basis utama. Kedua, penguasaan bahasa, baik nasional maupun asing, ini sebagai bekal berkomunikasi dengan ragam kalangan.
Ketiga, penguasaan orientasi diri, artinya ada keyakinan terhadap diri dan tujuan hidup yang ingin diraih. Keempat, pengenalan terkait dengan logika kuantitatif, artinya kemampuan berpikir secara cermat, tepat dan akurat. Kelima, mampu melihat keindahan dari alam dan aturan-aturannya. Keenam, belajar bekerjasama dan membentuk tim serta berorganisasi. Dan keenam, olahraga yang berguna untuk fisik dan mental anak.
Secara normatif, kepercayaan diri anak dapat dibangun di ruang pendidikan. Namun, jika tidak presisi, sadar, dan terencana, ruang pendidikan malah mematahkan rasa percaya diri anak dan membuat mereka patah arang sejak awal.