Maskapai penerbangan raksasa Australia, Qantas, kini tengah tersandung masalah. Pengadilan Federal Australia menjatuhkan denda sebesar A$90 juta —atau sekitar Rp950 miliar— karena terbukti melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) ilegal terhadap 1.700 pekerja darat mereka di masa pandemi COVID-19.
Menurut Hakim Michael Lee, denda ini bukan sekadar hukuman, melainkan juga peringatan keras.
“Saya ingin keputusan ini menjadi pencegahan nyata bagi perusahaan lain agar tidak mengulangi praktik serupa,” ujar Lee dalam putusan yang dikutip oleh BBC pada Senin (18/8/2025).
Kemenangan ‘David Melawan Goliath’
Putusan ini disambut sukacita oleh Serikat Pekerja Transportasi Australia. Melalui pernyataan resminya, serikat ini menyebut putusan tersebut sebagai ‘denda terbesar yang pernah dijatuhkan pada sebuah perusahaan di Australia’.
“Putusan ini menandai berakhirnya pertarungan lima tahun bak David versus Goliath, dan menjadi momen keadilan bagi para pekerja setia Qantas,” demikian bunyi pernyataan serikat.
Dari total denda yang dijatuhkan, sebanyak A$50 juta akan dibayarkan langsung kepada serikat pekerja yang berjuang keras menggugat maskapai tersebut.
Hukuman ini juga melengkapi kompensasi A$120 juta yang sudah disepakati Qantas untuk pekerja terdampak pada 2024, setelah maskapai kalah dalam beberapa kali banding.
Dalih Bisnis yang Ditolak Pengadilan
Sebelumnya, Qantas berdalih bahwa langkah alih daya (outsourcing) yang mereka lakukan pada 2020 adalah keputusan bisnis yang sah.
Mereka beralasan, tindakan itu perlu untuk menekan biaya di tengah anjloknya industri penerbangan akibat pandemi. Namun, dalih ini ditolak mentah-mentah oleh pengadilan, yang dengan tegas menyatakan PHK massal tersebut ‘tidak sah secara hukum’.
Dengan putusan ini, Qantas bukan hanya kehilangan miliaran rupiah, tetapi juga reputasi yang tergerus di mata publik.
Semoga ini menjadi pelajaran berharga bagi perusahaan lain agar tidak seenaknya bermain-main dengan nasib para pekerjanya.