Pemilihan ‘Justice Collaborator’ Harus Diawasi Ketat agar Kasus Besar Mudah Terungkap

Pemilihan ‘Justice Collaborator’ Harus Diawasi Ketat agar Kasus Besar Mudah Terungkap


Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Soedeson Tandra merespons positif Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2025, yang isinya memberikan penghargaan berupa hukuman ringan hingga bebas bersyarat kepada justice collaborator (JC). Namun ia menekankan, pemilihan JC harus diawasi ketat agar tepat sasaran dan suatu kasus bisa benar-benar terungkap.

“Peraturan ini memang sejalan dengan DIM RUU KUHAP. (Kami) yakin dengan adanya peraturan ini suatu kasus besar bisa terungkap dengan mudah. Misalnya kalau yang namanya organized crime di narkoba, dia simpan barang di mana, barang itu datang dari mana, siapa lingkungannya, orang-orang mana itu kalau ini dia dilindungi, maka dia berani buka kan? Betul enggak? Aset orang itu di mana dan sebagainya,” ucap Soedeson dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Minggu (29/6/2025).

Ia menyebut JC sudah lazim diterapkan di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat hingga Jepang. Dengan begitu, aparat penegak hukum diharapkan bisa melacak seluruh aset tindak kejahatan dan dikembalikan ke aset negara.

“Itu kemudian bisa di dalam rangka penegakan hukum, bisa dapat dilakukan dengan lebih baik, bisa dapat mencari penjahat-penjahatnya itu, mencari aset-aset gelapnya itu, uang-uang cuci uangnya itu, jauh lebih bermanfaat,” kata dia.

Lebih lanjut, ia juga mewanti-wanti soal pemilihan JC oleh penyidik, jaksa, maupun hakim. Soedeson meminta proses penentuan JC diawasi ketat, agar tujuannya benar-benar sesuai dengan apa yang diharapkan.

“Tetapi ada persoalan, persoalannya itu bagaimana kita bisa mengawasi? Karena begini, nanti kan kemudian bisa saja ukurannya JC itu yang akan menentukan penyidik atau hakim atau penuntut,” ujarnya.

“Inilah harus ada pengawasan yang ketat, dan ada transparansi sehingga memang benar-benar orang yang dikategorikan JC itu benar-benar itu tepat sasaran, sesuai dengan maksud dan tujuan dari keluarnya peraturan pemerintah itu. Kata kuncinya di situ,” tambah Soedeson.

Diberitakan sebelumnya, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2025 (PP 24/2025) sudah diteken Presiden Prabowo Subianto. Beleid anyar ini mengatur pembebasan bersyarat bagi saksi pelaku.

Artinya, baik itu tersangka, terdakwa atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum atau justice collaborator bisa dapat keringanan jika membantu mengungkap tindak pidana dalam kasus yang sama.

Dijelaskan dalam beleid, penghargaan kesaksian diberikan dalam bentuk keringanan penjatuhan pidana atau pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi saksi pelaku yang berstatus narapidana.

Pasal 29 ayat (1) menyebut pembebasan bersyarat hanya diberikan kepada terpidana yang telah mendapatkan penanganan secara khusus. Status itu hanya bisa didapatkan bila terpidana lolos pemeriksaan substantif dan administratif.

Untuk mendapatkan penghargaan, terpidana harus mengajukan permohonan ke penyidik, jaksa penuntut umum, dan pimpinan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Syarat substantif meliputi bukan pelaku utama di tindak pidaa itu. Lalu keterangan yang diberikan harus penting untuk mengungkap tindak pidana. Sementara syarat administratif meliputi identitas, surat pernyataan bukan pelaku utama, surat pernyataan mengakui perbuatannya, dan surat pernyataan bersedia bekerja sama dengan penyidik atau penuntut umum.

Adapun syarat lainnya, surat pernyataan bersedia mengungkap tindak pidana yang dilakukan dalam setiap tahap pemeriksaan, dan surat pernyataan tidak melarikan diri. “Terhadap terpidana yang telah penanganan secara khusus sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 dapat diberikan rekomendasi penghargaan berupa pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” bunyi pasal 29 ayat (1).

Sementara bagi terdakwa dan tersangka yang menjadi saksi pelaku dan mau bekerja sama, penghargaan untuk mereka tidak sampai pembebasan bersyarat. Jika di tahap penyidikan, penghargaan berupa pemisahan tempat penahanan dan pemberkasan. Pada tahap penuntutan dan pemeriksaan di persidangan, ada tambahan penghargaan.

Saksi pelaku berhak memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya. “Pimpinan LPSK berkoordinasi dengan penuntut umum dalam menyampaikan rekomendasi penghargaan berupa keringanan penjatuhan pidana,” bunyi pasal 17 ayat (1) yang menerangkan penghargaan untuk terdakwa yang menjadi saksi pelaku.

Komentar