Penting-Gak Penting Program Sekolah Rakyat

Penting-Gak Penting Program Sekolah Rakyat

Ibnu Medium.jpeg

Minggu, 13 Juli 2025 – 10:00 WIB

Ilustrasi. Renovasi bangunan untuk sekolah rakyat. (Desain: inilah.com)

Ilustrasi. Renovasi bangunan untuk sekolah rakyat. (Desain: inilah.com)

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp Inilah.com

+ Gabung

Program pendidikan gratis berbasis asrama tengah digulirkan secara besar-besaran oleh pemerintah lewat label “Sekolah Rakyat”. Diangkat dari retorika keadilan sosial, program ini menjanjikan akses belajar dan hidup layak bagi anak-anak miskin ekstrem. Tapi di balik gebyar jelang peluncurannya, muncul pertanyaan: benarkah ini solusi sistemik? Atau hanya pencitraan berbiaya mahal yang menyamarkan masalah ketimpangan struktural di dunia pendidikan Indonesia?

Pagi itu, di Sentra Handayani, Jakarta Timur, Raihan Affandi, siswa kelas 7A Sekolah Rakyat Menengah Pertama (SRMP) 6 tampak bersemangat. Ia menunjukkan kamar tidurnya yang dilengkapi kasur bertingkat, meja belajar, hingga laptop. Baginya, asrama ini jauh lebih nyaman ketimbang rumahnya di Matraman yang sempit.

“Saya ingin sukses dan bisa jadi pengusaha makanan nanti,” katanya polos kepada reporter inilah.com.

Bukan hanya Raihan, Haidan Ali, teman sekelasnya, juga tak sabar memulai hari-harinya di asrama baru. Anak seorang penyapu jalan itu bercita-cita jadi tentara. Keduanya adalah bagian dari 75 siswa yang masuk ke sekolah berasrama khusus anak-anak miskin ekstrem hasil program pemerintah bertajuk “Sekolah Rakyat”.

Gagasan sekolah ini datang langsung dari Presiden Prabowo Subianto. Tujuannya mulia: menyediakan pendidikan gratis berasrama untuk anak-anak dari keluarga desil 1 dan 2 Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN). Total ada 211 titik yang dipersiapkan, dengan 100 lokasi tahap pertama mulai beroperasi pada Juli 2025.

Para siswa sedang melaksanakan ibadah salat di salah satu ruangan Sekolah Rakyat Menengah Pertama (SRMP) 6 Jakarta, Sentra Handayani, Bambu Apus, Jakarta, Kamis (10/7/2025). (Foto: Inilah.com/ Harris Muda).
Para siswa sedang melaksanakan ibadah salat di salah satu ruangan Sekolah Rakyat Menengah Pertama (SRMP) 6 Jakarta, Sentra Handayani, Bambu Apus, Jakarta, Kamis (10/7/2025). (Foto: Inilah.com/ Harris Muda).

Di atas kertas, program ini terlihat sempurna. Menteri Sosial Saifullah Yusuf, yang akrab disapa Gus Ipul, menjelaskan dengan percaya diri bahwa seleksi siswa dilakukan ketat dan berbasis data DTSEN.

“Tidak ada pendaftaran terbuka. Kami datang langsung ke rumah calon siswa, mengecek keadaan ekonomi mereka. Jika data dan kondisi lapangan cocok, anak tersebut langsung diterima,” jelas Gus Ipul lewat sambungan telepon kepada inilah.com.

Proses verifikasi sendiri meliputi pengecekan kondisi rumah, penghasilan keluarga, hingga kondisi ekonomi aktual di lapangan.

“Kalau ada manipulasi atau titipan, pasti ketahuan dan dia akan rugi sendiri,” lanjut Gus Ipul.

Di Balik Janji: Kritik, Celah, dan Dilema Sosial

Namun di balik narasi positif itu, tanda tanya kritis mulai mengemuka. Program pendidikan berasrama khusus untuk kaum miskin ini justru dianggap beberapa kalangan pegiat pendidikan berpotensi memperkuat stigma sosial. Bukan integrasi sosial yang terjadi, melainkan segregasi baru, menciptakan “sekolah kelas dua” secara terselubung.

Sandra, ibu dari siswa bernama Anjas, mengakui ia awalnya khawatir menitipkan anaknya ke sekolah asrama. Ketakutannya bukan tanpa dasar. Latar belakang hidupnya sendiri penuh trauma: dibesarkan di yayasan yatim piatu dengan perlakuan kasar, ia takut anaknya mengalami hal serupa. Namun, setelah menyaksikan sendiri fasilitas yang diberikan, ia merasa lega. “Alhamdulillah banget, akhirnya Anjas bisa sekolah tanpa takut nggak mampu bayar,” ucap Sandra dengan mata berkaca-kaca.

Seorang siswa berjalan di dekat ruang kelas saat simulasi sekolah rakyat di Sekolah Rakyat Menengah Pertama (SRMP) 6 Jakarta, Sentra Handayani, Bambu Apus, Jakarta, Kamis (10/7/2025). (Foto: inilah.com/Harris Muda)
Seorang siswa berjalan di dekat ruang kelas saat simulasi sekolah rakyat di Sekolah Rakyat Menengah Pertama (SRMP) 6 Jakarta, Sentra Handayani, Bambu Apus, Jakarta, Kamis (10/7/2025). (Foto: inilah.com/Harris Muda)

Rasa optimisme yang sama diutarakan oleh Regut Sutrasto, kepala SRMP 6 Sentra Handayani. Ia menjelaskan, sekolah ini bukan sekadar mendidik secara akademik, tapi juga menanamkan karakter dan empati sosial lewat kegiatan berasrama. “Kami fokus pada pembangunan karakter dan spiritual, mulai dari salat subuh berjamaah hingga kegiatan bersama seperti makan dan olahraga,” jelas Regut.

Meski begitu, tantangan terbesar bukan sekadar kesiapan infrastruktur. Di banyak titik, fasilitas memang belum sepenuhnya selesai. Progres renovasi masih rata-rata 83%, bahkan 37 titik masih dalam proses akhir hingga jelang akhir Juli. Guru-guru muda yang baru bergabung juga mengakui tantangan adaptasi dalam sistem boarding school ini cukup berat.

Muhamad Haris, seorang guru IPA di SRMP 6, mengungkapkan bahwa tantangan adaptasi guru dan siswa terasa berat dalam simulasi dua hari menjelang pembukaan. “Kami guru muda harus beradaptasi cepat dengan sistem boarding ini, dari jam tidur, pola makan, hingga aktivitas sosial,” ungkapnya.

Sementara itu, kritik terhadap metode pendidikan berbasis kecerdasan emosional dan spiritual (ESQ) juga muncul. Pendiri ESQ Corp Ary Ginanjar Agustian menuturkan bahwa metode Talent DNA yang mereka gunakan bertujuan menemukan kegeniusan unik setiap anak. Tetapi, sejumlah pengamat mempertanyakan validitas ilmiahnya untuk diterapkan secara massal dalam konteks pendidikan nasional.

Lebih jauh, akademisi pendidikan dari beberapa universitas besar seperti UGM justru menyarankan pemerintah lebih baik meningkatkan mutu pendidikan di sekolah reguler, ketimbang membangun sekolah khusus baru berbasis status sosial yang berpotensi memperparah segregasi sosial.

“Saya pikir bukan tidak efisien tapi saya tidak yakin ketepatan untuk dilakukan saat ini. Kenapa kita tidak membenahi sistem yang sudah ada. Kan untuk sekolah itu mendapat Dana BOS dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan dan apabila ingin meningkatkan kualitas pendidikan bagaimana meningkatkan dana BOS, memperbaiki kurikulum, dan meningkatkan kompetensi guru,” ungkap Dosen Program Studi Manajemen Kebijakan Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM, Subarsono.

Pekerja menyelesaikan renovasi bangunan untuk sekolah rakyat di Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Rabu (9/7/2025). Pemerintah Kota Palangka Raya memfasilitasi gedung SD Negeri 2 Langkai untuk digunakan sebagai sekolah rakyat di kota tersebut. (Foto: Antara/Auliya Rahman/nz)
Pekerja menyelesaikan renovasi bangunan untuk sekolah rakyat di Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Rabu (9/7/2025). Pemerintah Kota Palangka Raya memfasilitasi gedung SD Negeri 2 Langkai untuk digunakan sebagai sekolah rakyat di kota tersebut. (Foto: Antara/Auliya Rahman/nz)

Soal transparansi anggaran juga menjadi catatan kritis. Renovasi tahap awal Sekolah Rakyat menyedot dana hingga Rp1,2 triliun. Para pakar pendidikan mulai mempertanyakan urgensi penggunaan dana sebesar itu hanya untuk renovasi ringan dan sedang. 

Belum lagi pengelolaan yang dilakukan oleh tiga kementerian sekaligus: Kemensos sebagai pelaksana utama, dan Kementerian PUPR sebagai pelaksana renovasi fisik serta Kemendikdasmen untuk perekrutan guru dan program kurikulum. Dikhawatirkan, tanpa pengawasan ketat, proyek pendidikan ini berubah menjadi ladang korupsi baru yang merugikan masyarakat miskin.

“Kalau tiga kementerian menyelenggarakan sistem sendiri-sendiri, maka ini bukan lagi satu sistem nasional,” kata Ketua Bidang Advokasi P2G Iman Zanatul Haeri.

Pakar pendidikan dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menilai bahwa pendekatan segregatif seperti ini justru bisa memperlebar jurang sosial, menciptakan rasa minder dan stigma bagi para siswa di kemudian hari. Pendidikan yang baik adalah pendidikan inklusif yang menyatukan anak-anak dari berbagai latar belakang sosial, bukan memisahkan mereka.

Reformasi atau Replika Ketimpangan?

Di sisi lain, Gus Ipul tetap optimis. Ia bahkan berencana memperjuangkan agar Sekolah Rakyat masuk dalam sistem pendidikan nasional melalui revisi Undang-Undang Sisdiknas. 

“Kami ingin memastikan program ini berkelanjutan, bukan hanya proyek sesaat,” tegasnya.

Menteri Sosial Saifullah Yusuf (kanan) berbincang dengan siswa saat meninjau kegiatan belajar pada simulasi sekolah rakyat di Sekolah Rakyat Menengah Pertama (SRMP) 6 Jakarta, Sentra Handayani, Bambu Apus, Jakarta, Rabu (9/7/2025).
Menteri Sosial Saifullah Yusuf (kanan) berbincang dengan siswa saat meninjau kegiatan belajar pada simulasi sekolah rakyat di Sekolah Rakyat Menengah Pertama (SRMP) 6 Jakarta, Sentra Handayani, Bambu Apus, Jakarta, Rabu (9/7/2025). (Foto: Antara)

Hingga kini, banyak pihak masih berharap-harap cemas. Program ini jelas memberi harapan baru bagi anak-anak seperti Raihan, Haidan, dan Anjas. Namun, tanpa evaluasi ketat, pengawasan publik, dan transparansi maksimal, harapan ini bisa saja pupus di tengah jalan. Akankah Sekolah Rakyat benar-benar menyasar masyarakat miskin dan menjadi solusi akar masalah pendidikan? Atau hanya tambal sulam sementara, penuh dilema sosial dan politik yang tak terselesaikan?

Setidaknya, untuk saat ini, pertanyaan itu masih menggantung. Seperti kata Raihan ketika ia diajak melihat-lihat ruang kelasnya, “Semoga saya bisa sukses dari sini.” Harapan itulah yang kini dipertaruhkan oleh seluruh anak-anak yang masuk ke Sekolah Rakyat, di tengah pertanyaan kritis tentang siapa yang sesungguhnya diuntungkan dari kebijakan ini. [inu/Harris/Syahidan]

Topik
Komentar

Komentar