Penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Arif Budi Raharjo heran karena nama Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto tidak dicantumkan dalam notulensi konstruksi perkara oleh Febri Diansyah, salah satu kuasa hukum Hasto yang saat itu menjabat sebagai juru bicara KPK.
Padahal, dalam gelar perkara penetapan tersangka pada 9 Januari 2020—satu hari setelah operasi tangkap tangan (OTT)—Hasto disebut sebagai salah satu sumber dana suap sebesar Rp400 juta kepada eks caleg PDIP Harun Masiku.
Arif menyampaikan hal tersebut saat hadir sebagai saksi dalam sidang perkara dugaan perintangan penyidikan dan suap terkait pengkondisian anggota DPR RI periode 2019–2024, dengan terdakwa Hasto Kristiyanto. Sidang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (16/5/2025).
Dalam persidangan, Arif mengungkap bahwa rapat ekspose perkara tersebut dihadiri oleh tim penyelidik, penyidik dari Deputi Penindakan, lima pimpinan KPK saat itu yang dipimpin Firli Bahuri, serta Febri Diansyah. Arif melihat Febri menulis kesimpulan hasil gelar perkara tersebut untuk disampaikan kepada media.
“Waktu itu saya hanya melihat, apakah saat itu penyidik atau humas, saya hanya melihat itu bernama saudara Febri Diansyah. Kemudian, beliau juga melakukan semacam kesimpulan untuk disampaikan menjadi pemberitaan,” kata Arif ketika ditanya jaksa.
Arif menjelaskan bahwa dalam rapat tersebut, ia telah memaparkan kepada pimpinan KPK tentang ditemukannya sejumlah bukti yang menunjukkan Hasto sebagai salah satu donatur suap Harun sebesar Rp400 juta. Namun, ia merasa aneh karena nama Hasto tidak dimasukkan dalam notulensi perkara yang disusun oleh Febri.
“Jadi yang kami sampaikan kepada pimpinan saat itu bahwa terjadi peristiwa suap-menyuap terhadap Komisioner KPU (Wahyu Setiawan). Yang mana dalam hal ini sebagai pihak penyuap pada saat itu, sesuai dengan paparan yang kami tampilkan, seharusnya di sana kami menuliskan saudara Terdakwa (Hasto). Tapi pada saat penulisan pada notulen, kami sampaikan bahwa ini status Terdakwa harus masuk. Karena ada sebagian sumber dana yang pada saat itu ditalangi sekitar Rp400 juta, itu harus dipertanggungjawabkan. Nah itu hasil administratif,” jelasnya.
Menurut Arif, bukti keterlibatan Hasto berasal dari sejumlah barang bukti elektronik yang disadap oleh pihaknya serta keterangan dari sejumlah pihak yang diamankan saat OTT. “Berdasarkan keterangan kemudian berdasarkan alat bukti yang kami temukan saat itu,” ucapnya.
Sementara itu, Febri Diansyah seusai diperiksa penyidik KPK mengakui bahwa dirinya memang pernah mengikuti rapat terkait kasus suap pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI periode 2019–2024, setelah OTT dilakukan. Namun, ia menyatakan bahwa keikutsertaannya saat itu merupakan bagian dari tugasnya sebagai Kepala Biro Humas KPK untuk menyiapkan konferensi pers.
“Jadi saya hadir di rapat yang terkait dan kemudian fokus saya adalah bagaimana agar informasi tersebar pada teman-teman media secara cukup proporsional tetapi lengkap untuk akuntabilitas pada publik,” tegas Febri kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Senin (14/4/2025).
Dalam kasus suap terkait pengkondisian anggota DPR RI periode 2019–2024 di KPU, saat ini masih ada dua tersangka yang tengah dalam proses penyidikan, yaitu Harun Masiku yang berstatus buron dan advokat PDIP Donny Tri Istiqomah.
Sementara itu, Hasto Kristiyanto tengah menjalani proses persidangan. Dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Jumat (14/3/2025), Hasto didakwa menghalangi penyidikan, sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Jaksa menyebut Hasto memerintahkan Harun Masiku untuk menenggelamkan ponselnya saat OTT KPK pada 2020, serta meminta stafnya, Kusnadi, agar membuang ponsel tersebut dimomen pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Juni 2024.
Selain itu, Hasto juga didakwa terlibat dalam pemberian suap senilai Rp600 juta kepada mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Suap tersebut diduga diberikan secara bersama-sama oleh Donny Tri Istiqomah, kader PDIP Saeful Bahri, dan Harun Masiku melalui mantan anggota Bawaslu, Agustiani Tio.
Menurut jaksa, suap itu diberikan agar Harun dapat ditetapkan sebagai anggota DPR RI periode 2019–2024 melalui mekanisme PAW.
Atas perbuatannya, Hasto didakwa melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.