Ilustrasi. (Desain: inilah.com/inu)
Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp Inilah.com
Universitas Negeri Jakarta (UNJ) belum lama ini berkontribusi dalam forum penguatan pemberdayaan potensi destinasi dan digitalisasi pariwisata Kabupaten Indramayu yang diselenggarakan oleh Kementerian Pariwisata c.q. Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Infrastruktur.
Keterlibatan ini sebagai wujud tekad UNJ untuk menjadi kampus berdampak, terutama di Kabupaten Indramayu. Hadir dalam kegiatan ini Rektor dan Ketua Senat Akademik Universitas UNJ, stakeholders Kabupaten Indramayu, dan Kementerian Pariwisata.
Harus diakui saat ini universitas bukan hanya tempat belajar, tetapi juga agen transformasi sosial. Dalam konteks pengembangan pariwisata, perguruan tinggi dapat mengambil peran sebagai inovator, pendidik, peneliti, sekaligus mediator. Bila dikelola secara terintegrasi dan visioner, universitas dapat menjembatani harapan masyarakat lokal, kepentingan industri, dan tujuan pembangunan berkelanjutan.
Lebih dari itu, universitas menjadi laboratorium hidup bagi pengembangan ide-ide baru. Fakultas pariwisata, ekonomi, seni, hingga teknik dapat bersinergi mengembangkan model ekowisata, digital tourism, serta strategi penguatan UMKM lokal. Misalnya, UNJ aktif melakukan pemberdayaan masyarakat di Kepulauan Seribu.
Mahasiswa dan dosen turun langsung memberikan pelatihan homestay, promosi wisata digital, hingga manajemen sampah wisata (Times Indonesia, 2024). Peran UNJ ini sejalan dengan studi Dredge dan Whitford (2011) yang menekankan peran universitas sebagai co-creator dalam tata kelola pariwisata berbasis komunitas melalui pendekatan partisipatif.
Berbasis Riset dan Inovasi Strategis
Dalam era ekonomi kreatif dan digital, sektor pariwisata bukan lagi sekadar persoalan promosi destinasi atau pembangunan infrastruktur. Ia menuntut pendekatan ilmiah, inovatif, dan berbasis data. Di sinilah universitas memegang peran vital sebagai pusat penghasil pengetahuan dan inovasi strategis. Melalui riset-riset terapan, kajian sosial budaya, hingga pengembangan teknologi ramah lingkungan, universitas dapat menjadi katalisator pariwisata yang berkelanjutan dan berdaya saing.
Penelitian akademik tentang potensi lokal, analisis perilaku wisatawan, hingga pemodelan dampak lingkungan pariwisata sangat penting untuk menyusun strategi pembangunan destinasi yang holistik. Misalnya, kolaborasi antara Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Pemerintah Kabupaten Gunungkidul telah berhasil mengembangkan model geopark berbasis masyarakat. Inisiatif ini tidak hanya menciptakan atraksi wisata edukatif, tetapi juga memperkuat konservasi alam dan pemberdayaan lokal (Putra, 2020). Contoh ini menunjukkan bagaimana universitas bisa menjembatani kepentingan ilmiah dan kebutuhan praktis masyarakat.
Lebih dari sekadar ruang kelas, universitas juga dapat berperan sebagai laboratorium sosial di mana berbagai model inovasi pariwisata diuji coba. Melalui program pengabdian masyarakat, mahasiswa dan dosen terjun langsung ke desa wisata, melakukan pemetaan potensi, pendampingan UMKM, hingga pelatihan digitalisasi promosi wisata. Pendekatan ini membentuk ekosistem kolaboratif antara akademisi, masyarakat, dan pemerintah daerah. Data hasil riset menjadi fondasi kebijakan, bukan sekadar pelengkap proposal proyek.
Di sisi lain, pendidikan pariwisata tidak boleh semata-mata diarahkan untuk mencetak tenaga kerja industri. Sebagaimana diungkapkan Tribe (2002), pendidikan pariwisata harus mampu menjembatani dua dunia: industri dan akademik.
Artinya, lulusan bukan hanya siap bekerja di hotel atau biro perjalanan, tetapi juga mampu menjadi analis kebijakan, penggerak komunitas, dan inovator di sektor pariwisata. Kurikulum yang berbasis problem solving dan experiential learning menjadi kunci untuk menumbuhkan kesadaran kritis mahasiswa terhadap isu-isu penting seperti overtourism, pelestarian budaya, hingga keadilan spasial dalam pengembangan destinasi.
Mediator Multi-Stakeholder dalam Pembangunan Pariwisata
Pengembangan pariwisata memerlukan kolaborasi multipihak. Di sinilah universitas memainkan peran sebagai knowledge broker dan fasilitator kolaborasi. Apalagi, pariwisata yang berkelanjutan tidak akan terwujud tanpa sinergi antar pemangku kepentingan. Pemerintah, masyarakat lokal, pelaku industri, dan komunitas wisata harus bergerak dalam orkestrasi yang selaras. Di sinilah universitas memiliki posisi strategis sebagai knowledge broker—penyambung ilmu dan praktik—serta fasilitator kolaborasi lintas sektor. Melalui riset terapan, kegiatan pengabdian, dan kerja lapangan, kampus mampu menjembatani antara idealisme akademik dan kebutuhan riil di lapangan.
Studi Bramwell dan Lane (2000) mencatat bahwa kolaborasi multipihak adalah fondasi utama dalam membangun sistem pariwisata yang berkelanjutan dan inklusif. Universitas tidak hanya hadir sebagai pengamat pasif, tetapi sebagai katalisator perubahan.
Sebagai contoh, kolaborasi antara UGM dan Pemerintah Kabupaten Kulon Progo dalam pengembangan Ekowisata Kalibiru menjadi bukti konkret keberhasilan sinergi ini. Pendampingan intensif berbasis riset yang dilakukan oleh sivitas akademika telah mengubah Kalibiru dari desa biasa menjadi ikon wisata berbasis komunitas yang mendunia (Yulianti, 2020).
Lebih dari sekadar menghasilkan pengetahuan, universitas juga memiliki tanggung jawab membangun kapasitas sumber daya manusia (SDM) di sektor pariwisata. Hal ini dapat dilakukan melalui pelatihan dan sertifikasi keahlian, penyusunan kurikulum vokasi sesuai kebutuhan industri, hingga pembentukan inkubator bisnis wisata berbasis digital. Dengan demikian, kampus tidak hanya mencetak sarjana, tetapi juga melahirkan praktisi, wirausaha, dan inovator di bidang pariwisata.
Pariwisata masa depan adalah pariwisata yang mencerdaskan. Ia tidak hanya menawarkan hiburan, tetapi juga membangun kesadaran sejarah, merawat keberagaman budaya, dan memperkuat identitas kebangsaan. Perjalanan bukan lagi semata aktivitas rekreatif, tetapi juga ruang edukasi dan refleksi.
Universitas dapat memainkan peran penting dalam transformasi ini melalui program-program berbasis experiential learning. Kegiatan seperti Kuliah Kerja Nyata (KKN) tematik, pengabdian masyarakat, hingga program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) dapat membuka ruang interaksi lintas budaya di destinasi wisata.
UNJ sebagaimana UGM telah mengambil langkah konkret melalui program “Kampus Merdeka Desa Wisata”. Program ini mengintegrasikan mahasiswa lintas program studi—seperti pendidikan, seni, ekonomi, dan teknologi—untuk bersama-sama mengembangkan destinasi wisata edukatif di berbagai wilayah Jabodetabek dan Banten.
Mahasiswa tidak hanya belajar teori di ruang kelas, tetapi juga mempraktikkan keterampilan dalam dunia nyata: memetakan potensi desa, membangun narasi sejarah lokal, mengembangkan media promosi digital, hingga menciptakan paket wisata edukatif yang bernilai tambah.
Akhirnya, ketika universitas hadir bersama masyarakat, mendengar, belajar, dan berkontribusi; ketika ilmu pengetahuan bertemu dengan kearifan lokal, maka lahirlah inovasi yang berakar, berdaya, dan berkelanjutan. Semoga.