Dorongan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia agar perbankan nasional berlomba-lomba membiayai pembangunan smelter di Indonesia, adalah kesalahan besar.
“Jangan karena bank internasional malas memberikan pembiayaan untuk pembangunan smelter nikel, kemudian bank domestik diminta ke sana. Ini blunder kalau dipaksakan. Apalagi, saat ini, OJK sedang membahas Taksonomi Hijau Indonesia (THI),” papar Bhima Yudhistira Adhinegara, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), saat dihubungi Inilah.com, Jakarta, Kamis (14/2/2024).
Menurut Bhima, perbankan sangat berhati-hati dalam menggelontorkan pembiayaan untuk proyek-proyek besar. Apalagi industri smelter nikel di Indonesia, terbukti banyak mendapat sorotan. Termasuk masalah lingkungan dan sosial. Ada tiga alasan yang disampaikannya. “Jika perbankan diminta untuk membiayai smelter nikel tapi tata kelolanya seperti sekarang, justru merugikan perbankan,” kata Bhima.
Bhima mengatakan, kecenderungan praktik hilirsasi nikel di Indonesia, masih menggunakan PLTU batu bara. Di mana, pembangunan PLTU batu bara dianggap sebagai salah satu pemicu rontoknya harga nikel Indonesia di pasar global. “Karena olahan nikel dari Indonesia, menghasilkan emisi karbon yang cukup tinggi. Sehingga bank melihat tingginya risiko dari nikel di Indonesia. Kurang memiliki daya saing di pasar internasional,” ungkap Bhima.
Kedua, kata dia, smelter nikel di Indonesia, melahirkan banyak tambang nikel yang bermasalah dari aspek lingkungan dan sosial. “Misalnya, memicu pencemaran air, konflik sosial. Konflik dengan nelayan dan petani. Ini dipandang akan merusak reputasi bank yang membiayai smelter,” kata Bhima.
Ketiga, lanjut Bhima, terjadi perubahan pasar global yang signifikan terkait nikel. Saat ini, industri otomotif atau baterai listrik, mulai melirik bahan baku yang lebih ramah lingkungan. Salah satunya adalah lithiun ferro phospate (LFP) yang teknologinya terus berkembang. “Ini menjadi ancaman serius bagi industri smelter di Indonesia,” kata Bhima.
Usai mencoblos di TPS 04 Duren Tiga Jakarta Selatan, Rabu (14/2/2024), Bahlil tiba-tiba meminta perbankan nasional proaktif untuk membiayai pengusaha nasional yang tertarik membangun smelter atau fasilitas pengolahan hasil tambang. Jika ingin menekan investor dari China.
“Kasih tahu orang perbankan nasional kita agar segera membiayai para pengusaha nasional yang melakukan pembangunan smelter,” kata Bahlil.
Dia mengatakan, sedikitnya 80 persen dari Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel dimiliki pengusaha Indonesia. Namun, mereka mejual hasil tambanya ke semleter di Indonesia yang didominasi investor China.
“Siapa yang punya smelter? Investor. Kenapa investor China paling banyak? Karena dia yang menyiapkan pembiayaannya,” kata Bahlil.
Oleh karena itu, tutur dia melanjutkan, apabila ingin Indonesia yang mengolah hasil tambang tersebut, maka dibutuhkan pembiayaan dari perbankan nasional. “Pakai perbankan, karena itu bukan intervensi dana APBN,” kata Bahlil.
Leave a Reply
Lihat Komentar