Rencana Israel mengambil alih Gaza memicu gelombang kecaman dari dalam negeri dan dunia internasional. Keputusan ini dinilai melanggar hukum internasional, memperparah krisis kemanusiaan yang sudah kronis, dan merusak upaya mencapai gencatan senjata. Langkah ini dianggap sebagai manuver politik yang penuh risiko dan mengabaikan nasib jutaan warga sipil.
Kantor Perdana Menteri Benjamin Netanyahu pada Jumat (8/8/2025) mengumumkan bahwa Kabinet Keamanan Israel telah menyetujui rencana untuk menduduki Gaza City. Pasukan Pertahanan Israel (IDF) ditugaskan untuk mempersiapkan pengambilalihan, sembari mendistribusikan bantuan kemanusiaan di luar zona pertempuran. Namun, narasi ini dipertanyakan oleh banyak pihak.
Dari internal Israel, suara-suara menentang bermunculan. Pemimpin oposisi, Yair Lapid, menyebut keputusan itu sebagai ‘bencana yang akan berujung pada banyak bencana lainnya’. Menurutnya, langkah ini akan menyeret Israel ke dalam perang berkepanjangan selama berbulan-bulan, mengorbankan nyawa sandera dan tentara, serta menghabiskan anggaran negara.
Forum Keluarga Sandera dan Orang Hilang bahkan menuding pemerintah telah ‘menghukum mati sandera yang masih hidup dan menghapus jejak sandera yang tewas’. Mereka meyakini, satu-satunya cara untuk membebaskan sandera adalah melalui kesepakatan komprehensif, bukan perang yang sia-sia.
Palestina dan Negara Arab Bersatu Melawan
Di sisi lain, Kepresidenan Palestina menyebut keputusan Israel sebagai ‘kelanjutan kebijakan genosida’, yang melanggar hukum kemanusiaan internasional. Mereka menuduh pemerintahan Netanyahu, yang didorong oleh kepentingan ekstremis, tidak menyadari isolasi internasional yang dihadapi akibat ‘perang genosida’ ini. Pihak Palestina memperingatkan bahwa langkah ini akan memicu malapetaka kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Hamas pun tak tinggal diam. Dalam pernyataannya, mereka menyebut rencana itu sebagai ‘kejahatan perang baru’ dan menunjukkan bahwa Israel secara nyata membatalkan jalur negosiasi.
Gelombang protes juga datang dari negara-negara Arab dan Timur Tengah. Kementerian Luar Negeri Yordania menegaskan, keputusan ini merupakan ‘kelanjutan dari pelanggaran serius Israel terhadap hukum internasional’ dan merusak solusi dua negara. Yordania juga menuduh Israel menggunakan kelaparan sebagai senjata perang.
Turki, melalui kementerian luar negerinya, mengatakan langkah ini ‘menandai fase baru dari kebijakan ekspansionis dan genosida’. Mereka mendesak Israel untuk menghentikan rencana perang, menyetujui gencatan senjata, dan kembali ke meja perundingan.
Senada dengan itu, Kuwait dan Mesir mengutuk keras rencana pengambilalihan ini. Kuwait menyebutnya ‘menghancurkan peluang tercapainya solusi dua negara’, sementara Mesir menyebutnya sebagai upaya untuk mengukuhkan ‘pendudukan ilegal Israel’. Sekretaris Jenderal Liga Arab, Ahmed Aboul Gheit, bahkan menuduh Israel berniat menduduki Gaza sepenuhnya sejak awal perang.
Tragedi Kemanusiaan Berlanjut, Korban Terus Bertambah
Di tengah polemik politik, kondisi kemanusiaan di Gaza terus memburuk. Otoritas kesehatan setempat melaporkan, dalam 24 jam terakhir, empat kematian baru akibat kelaparan dan malnutrisi. Total korban tewas akibat kondisi tersebut sejak Oktober 2023 mencapai 201 orang, 98 di antaranya adalah anak-anak.
Sejak Israel memperbarui serangannya pada 18 Maret, korban tewas telah mencapai 9.824 jiwa, dengan 40.318 orang terluka.
Secara keseluruhan, total korban tewas di Gaza sejak Oktober 2023 telah menembus angka 61.330, dan 152.359 lainnya terluka. Data ini menunjukkan betapa krusialnya gencatan senjata segera untuk mengakhiri penderitaan tak berkesudahan di Gaza.