Persediaan Beras Melimpah, Harga Malah Naik, Bos Bapanas Salahkan Produksi Turun

Persediaan Beras Melimpah, Harga Malah Naik, Bos Bapanas Salahkan Produksi Turun


Masyarakat dibikin bingung dengan berlimpahya stok beras nasional namun harga beras semakin mahal. Bahkan tak terjangkau masyarakat. Indikatornya, harga beras di atas Harga Eceran Tertinggi (HET).

Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi beralasan, hal ini terjadi karena produksi beras pada Juni-Juli 2025, mengalami penurunan.

“Pada Juni-Juli produksinya itu turun, bisa jadi dekat-dekat 2,5 juta ton. Kalau di Maret-April itu di atas 5 juta ton. Pada saat produksi gabah itu turun, maka harga akan naik, kalau harga gabah naik, maka harga beras akan naik. Itu jawabannya,” jelas Arief di Kantor Kemenko Pangan, Grha Mandiri, Jakarta Pusat, Selasa (29/7/2025).

Untuk mengatasi hal ini, kata Arief, pihaknya telah menyiapkan dua program, yakni Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) sebesar 1,3 juta ton hingga akhir tahun dan Stimulus Ekonomi Bantuan Pangan sebesar 360 ribu ton.

“Dua (program) ini saya sudah minta Bulog untuk mempercepat. Kalau dua ini dipercepat, kira-kira masyarakat kan sudah ternaungi ya yang 18 juta, karena itu 20 kilo,” ujarnya.

Tak hanya itu, Arief juga menginformasikan bila dalam rapat koordinasi terbatas (Rakortas) dengan Kemenko Pangan, sempat dibahas mengenai Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih yang sudah siap, maka akan dikirimkan oleh Bulog minimal 2 ton. “Jadi mereka sudah bisa jual SPHP dengan 2 ton. Tapi syaratnya jualnya Rp12.500,” tandasnya.

Sebelumnya, Pakar Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori tak kuasa menyembunyikan keheranannya. Pemerintah mengeklam persediaan beras nasional berlimpah. Di sisi lain, harga beras justru melaju melebihi HET. Ini paradoks yang seharusnya tak boleh terjadi.

“Bagi pemerintah urusan beras adalah soal ‘hidup-mati’. Karena, pertama, tingkat partisipasi konsumsi beras nyaris sempurna, yakni 98,35 persen. Artinya, hampir seluruh warga dari Aceh hingga Serui, menyantap nasi sebagai makanan pokok,” kata Khudori.

Kedua, lanjutnya, beras berkontribusi 5,20 persen dari jumlah pengeluaran keluarga. Bahkan mencapai 25,87 persen bagi warga miskin. Ketika harga beras naik, daya beli warga bakal terganggu.

Secara makro, kenaikan harga beras berdampak kepada inflasi dan level kemiskinan. Sedangkan secara mikro, membuat kantong warga kian terkuras untuk membeli beras.

Mereka yang hanya beberapa jengkal di atas garis kemiskinan potensial menjadi kaum pariah baru. “Merujuk kalkulasi Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, M Ikhsan, setiap kenaikan harga beras 10 persen saja, membuat kemiskinan naik 1,3 persen,” ungkapnya.

Merujuk data BPS pada semester I-2025, harga beras di penggilingan naik 1,54 persen. Sementara level grosir naik 3,08 persen dan eceran 2,03 persen. Secara persentase tidak besar. Tapi di bulan-bulan tertentu kenaikan harga beras cukup tinggi.

“Di dearah yang bukan produsen padi, persentase kenaikan harga amat tinggi. Lalu, lima dari enam bulan di semester I-2025 beras jadi penyumbang inflasi. Hingga pekan ketiga Juli 2025 beras naik di 205 kabupaten/kota, naik dari pekan sebelumnya (176 kabupaten/kota),” ungkapnya.

Dengan penyaluran bantuan sosial (bansos) pangan berupa beras sebanyak 10 kilogram, kata dia, diharapkan bisa menanggulangi gejolak harga, menjaga pasokan di pasar dan menjaga daya beli warga, mengendalikan inflasi, dan pemanfaatan CBP agar tidak makin berumur. 
 

Komentar