Anggota Komisi VI DPR asal Fraksi Kebangkitan Bangsa (F-KB), Nasim Khan mendesak pemerintah segera menyerap gula petani, khususnya di wilayah Jawa Timur (Jatim). Saat ini, pasar tradisional dipenuhi gula rafinasi atau gula industri, sementara gula rakyat menumpuk di gudang.
Nasim mengatakan, gula rakyat menumpuk di sejumlah pabrik gula (PG) di Jatim, berpotensi menurunkan kualitas jika tidak segera terserap pasar.
“Kami sudah menyerap aspirasi petani. Stok tebu yang sudah menjadi gula, saat ini memenuhi gudang. Bahkan, terpaksa harus sewa tempat tambahan. Nilainya ratusan miliar rupiah. Dampaknya, petani ada yang harus menjual aset atau utang ke bank dengan bunga tinggi,” ujar Nasim di Jakarta, Senin (11/8/2025).
Dikatakan anak buah Gus Muhaimin Iskandar, Ketum PKB itu, petani tebu tetap berkomitmen menjual gula sesuai harga patokan pemerintah (HPP), sebesar Rp14.500 per kilogram (kg).
Jika petani tebu merugi dikhawatirkan berdampak kepada anjloknya produksi gula nasional. Sehingga jangan lagi bicara soal ketahanan pangan. Semuanya hanya ‘omon-omon’ saja.
“Jangan sampai petani rugi. Kalau dibiarkan menumpuk di gudang seperti ini, kualitas gula bisa menurun dan petani bisa kapok. Kita harus menjaga kedaulatan pangan dan swasembada gula,” tambahnya.
Selain itu, Nasim menyoroti maraknya gula rafinasi di pasar, harus segera dikendalikan dengan ketat. Di mana, gula rafinasi hanya untuk kebutuhan industri, bukan konsumsi langsung masyarakat. Sehingga, harga gula jenis ini lebih murah ketimbang gula kristal putih produksi petani.
Berdasarkan data Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) dan manajemen pabrik gula Regional 4 Jatim, PG Prajekan menyimpan 4.600 ton gula senilai Rp 60 miliar, PG Assembagoes sebanyak 5.000 ton senilai Rp50 miliar, PG Panji sebanyak 2.500 ton senilai Rp36 miliar, dan PG Wringin Anom sebanyak 3.900 ton.
Sementara harga gula rafinasi di pasaran Rp13.600/kg, lebih murah ketimbang gula rakyat Rp14.400/kg, serta di bawah harga acuan pemerintah (HPP) sebesar Rp14.500/kg. Akibatnya, terjadi stagnasi penjualan, penundaan pembayaran kepada petani hingga 4 periode giling.
Nasim mendesak pemerintah segera mengambil keputusan untuk mengatasi masalah ini, salah satunya dengan opsi pembelian sementara oleh PT Sinergi Gula Nusantara menggunakan dana BPI Danantara.
“Kami di Komisi VI akan mengusulkan agenda rapat dengar pendapat dengan Kementerian Perdagangan, BUMN, Danantara, dan pihak terkait untuk membahas regulasi gula rafinasi. Kalau pengendalian tidak maksimal, semua pihak akan merugi,” tegasnya.
Sementara itu, Koordinator Wilayah Jawa Timur IV SGM, Mulyono, menambahkan bahwa secara kasat mata perbedaan gula kristal putih dan gula rafinasi cukup jelas. “Gula rafinasi bijinya lebih halus dan putih sekali. Peruntukannya memang untuk industri, bukan konsumsi langsung,” imbuhnya.
Dia berharap, publik memahami perbedaan tersebut, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman terkait kualitas dan kegunaan gula yang beredar di pasaran.
“Kami berharap teman-teman wartawan serta masyarakat bisa mensosialisasikan terkait perbedaan gula rafinasi dan gula lokal, ” pungkasnya.