Pidato Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengenai rendahnya gaji guru dan dosen di Indonesia menuai perhatian publik dan menjadi perbincangan hangat di media sosial. Pernyataan yang disampaikan dalam sebuah acara di Institut Teknologi Bandung (ITB) ini menyoroti tantangan besar bagi pengelolaan keuangan negara dalam meningkatkan kesejahteraan tenaga pendidik.
Pada pidatonya, Sri Mulyani mengawali dengan memaparkan alokasi dana pendidikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2025 yang mencapai Rp724,3 triliun. Meskipun angka tersebut sangat besar, Sri Mulyani menyentil realitas bahwa profesi guru dan dosen kerap kali dianggap kurang dihargai karena gajinya yang minim.
“Banyak di media sosial, saya selalu mengatakan, menjadi dosen atau menjadi guru tidak dihargai karena gajinya enggak besar. Ini juga salah satu tantangan bagi keuangan negara,” ujar Sri Mulyani, seperti dikutip dari kanal YouTube ITB pada Sabtu (9/8/2025).
Pernyataan yang kemudian menjadi polemik adalah ketika Sri Mulyani melontarkan pertanyaan apakah masalah rendahnya gaji ini harus sepenuhnya ditanggung oleh keuangan negara, ataukah bisa diselesaikan dengan pendekatan lain, seperti partisipasi masyarakat. Menurutnya, jika hanya mengandalkan APBN, peningkatan kesejahteraan guru dan dosen dikhawatirkan akan sulit tercapai.
“Apakah semuanya harus dari keuangan negara ataukah ada partisipasi dari masyarakat,” kata bendahara negara itu.
Meski demikian, Sri Mulyani tidak menjelaskan secara eksplisit bentuk partisipasi masyarakat yang dimaksud dalam upaya meningkatkan kesejahteraan para tenaga pendidik tersebut.
Porsi Anggaran dan Potret Gaji yang Miris
Sebagai informasi, pemerintah mengalokasikan dana pendidikan dalam tiga klaster utama. Klaster pertama menyasar manfaat langsung untuk murid, mulai dari jenjang sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Klaster kedua difokuskan untuk membiayai gaji dan tunjangan guru serta dosen, sedangkan klaster ketiga dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur pendidikan.
Anggaran pada klaster kedua mencakup belanja gaji dan tunjangan kinerja. Dalam pidatonya, Sri Mulyani menyebutkan bahwa tunjangan profesi guru non-PNS telah disalurkan kepada 477.700 guru, sementara program sertifikasi menyasar 666.900 guru.
Selain itu, dana pendidikan juga menopang sejumlah program strategis lainnya, seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, Program Indonesia Pintar (PIP), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN), beasiswa LPDP, dan digitalisasi pembelajaran.
Gaji Dosen Kita Kalah Jauh dari Negara Tetangga
Masalah gaji guru dan dosen di Indonesia ternyata bukan isapan jempol belaka. Data yang dikumpulkan Tim Jurnalisme Data Harian Kompas melalui survei kualitatif pada 4-23 April 2025 menunjukkan potret yang memprihatinkan.
Gaji pokok dosen PTN di Indonesia rata-rata hanya setara 1,3 kali Upah Minimum Provinsi (UMP). Jika dikonversikan ke beras, nilainya hanya sekitar 143 kilogram.
Perbandingan ini jauh tertinggal dari sejumlah negara tetangga seperti Malaysia, Vietnam, Thailand, hingga Kamboja. Di Kamboja, gaji dosen perguruan tinggi publik mencapai 6,6 kali upah minimum. Angka ini juga jauh di bawah Thailand (4,1 kali), Vietnam (3,42 kali), Malaysia (3,41 kali), dan Singapura (1,48 kali).
Temuan lain yang tak kalah mengejutkan adalah beban kerja dosen PTN di Indonesia yang sangat tinggi. Sepanjang tahun 2024, rata-rata jam kerja mereka mencapai 69,64 jam per minggu.
Data ini diperoleh dari survei dengan responden yang tersebar di 23 provinsi, yang menggambarkan realitas bahwa dedikasi tinggi para dosen tidak diiringi dengan imbalan finansial yang sepadan.