Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal angkat bicara terkait anjloknya purchasing managers index (PMI) manufaktur April 2025 ke level 46,7 poin versi S&P Global. Pertanda gelapnya industri manufaktur di tanah air.
Menurut Faisal, terjun bebasnya PMI manufaktur ini, buah dari kebijakan tarif resiprokal ‘gila’ dari Presiden AS, Donald Trump. “Jadi 46,7 tentu saja menghentikan kontraksi. Ini ditambah lagi bukan hanya faktor dalam negeri, tetapi luar negeri. Terutama kebijakan yang cukup frontal dari pemerintahan Donald Trump. Berdampak kepada penurunan demand secara global,” ujar Faisal saat dihubungi Inilah.com, Jakarta, Jumat (2/5/2025).
Penurunan tersebut, kata Faisal, tak hanya dirasakan oleh pasar domestik, tetapi juga menekan pasar ekspor. Sehingga berdampak kepada permintaan dari luar negeri yang kemungkinan besar mengalami pengetatan akibat tarif resiprokal Trump. “Termasuk juga terhadap penurunan harga komoditas yang tentunya berpengaruh terhadap permintaan,” ucapnya.
Di sisi lain, menurut Faisal, penurunan tersebut dipengaruhi pasar domestik terkait dengan turunnya daya beli masyarakat kelas menengah yang menjadi penopang utama permintaan di dalam negeri. Meski ada Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri, belum mampu mendongkrak permintaan secara signifikan.
“Setelah lewat momennya, ternyata anjlok. Artinya, pelaku usaha tidak melihat ada faktor yang cukup kuat untuk mengerek permintaan setelah lewat Lebaran. Ini jelas ada kaitan dengan kondisi fundamental utamanya daya beli masyarakat,” tutur dia.
Sebagai informasi, fluktuasi tajam perekonomian dunia berimbas nyata pada perekonomian Indonesia yang tercermin dari melemahnya Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur.
PMI Indonesia sektor manufaktur seperti dirilis S&P Global bulan April anjlok 5,7 poin ke angka 46,7 poin. Sebelumnya, pada Maret 2025 PMI Indonesia menyentuh 52,4 poin. Penurunan ini menjadi yang paling signifikan sejak bulan Agustus 2021.
Jika dibandingkan PMI manufaktur di Indonesia pada Maret 2025 sebesar 52,4 poin, perkembangan April yang PMI-nya jeblok 46,7 menunjukkan industri manufaktur dalam negeri sedang tidak baik-baik saja.
Paling tidak terjadi penurunan signifikan sejak Agustus 2021. Catatan hitam dari S&P Global ini, merupakan kali pertama PMI mencatatkan ambruk cukup dalam sejak November 2024, atau dalam lima bulan terakhir. Padahal sejak Agustus 2021, PMI anteng di level aman yakni di atas 50.
Terjadinya kontraksi atas PMI April 2025 ini, bisa disebut mengakhiri kinerja positif dari aktivitas manufaktur RI yang cenderung ekspansif pada Desember 2024 hingga Maret 2025. Pertanda adanya penurunan tajam atas produksi dan pesanan baru.