Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar Soedeson Tandra menyebut bebas bersyarat yang diterima mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto (Setnov) sudah menjadi hak yang mesti diterima oleh seorang narapidana (napi).
“Kita harus memegang prinsip equality before the law, persamaan dihadapan hukum, apakah itu kasus mencuri, pembunuhan, korupsi. Begitu yang bersangkutan dihukum, maka namanya terpidana. Terpidana berhak mendapatkan remisi,” jelas Soedeson di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (19/8/2025).
“Jadi kalau (menurut) kami itu adalah bagian dari hak beliau sebagai seorang terpidana yang berkelakuan baik dan sebagainya yang mendapatkan remisi. Kan persamaan di depan hukum,” sambungnya.
Sementara itu, banyaknya kritik tajam dari masyarakat akan berbagai ampunan dari pemerintah terhadap para napi korupsi, membuat Soedeson enggan menanggapi lebih jauh.
“Jadi saya memberikan pendapat saya di normatif. Hukum itu normatif, hitam atau putih. Masalah (pandangan) hukum itu urusan lain, tanya kepada instansi,” tandasnya.
Sebelumnya, Setnov telah bebas bersyarat dari Lapas Sukamiskin, Jawa Barat, pada Sabtu (16/8/2025). Kabar ini dibenarkan Kepala Kanwil Ditjen Pemasyarakatan Jawa Barat, Kusnali.
“Betul. Pak Setnov bebas bersyarat,” kata Kusnali di Jakarta, Minggu (17/8/2025).
Ia menjelaskan, pembebasan bersyarat itu diberikan setelah Mahkamah Agung mengabulkan peninjauan kembali (PK) yang diajukan bekas Ketum Partai Golkar. Meski bebas, ia tetap wajib melapor ke Balai Pemasyarakatan (Bapas).
“Karena beliau setelah dikabulkan peninjauan kembali, 15 tahun menjadi 12 tahun 6 bulan. Dihitung dua pertiganya itu dapat pembebasan bersyarat pada 16 Agustus 2025,” ujarnya.
Sebagai catatan, Setnov merupakan terpidana kasus korupsi proyek e-KTP yang merugikan negara Rp2,3 triliun. Pada 2018, ia divonis 15 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan. Ia juga diwajibkan membayar uang pengganti USD 7,3 juta dikurangi Rp5 miliar yang telah dititipkan ke KPK, subsider dua tahun penjara. Selain itu, Setnov dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik selama lima tahun setelah menjalani pidana pokok.
Namun, pada Juli 2025, Mahkamah Agung mengabulkan PK Setnov. Hukuman penjaranya dipotong menjadi 12 tahun 6 bulan, sementara pidana tambahan pencabutan hak politik dikurangi dari lima tahun menjadi 2,5 tahun setelah masa pidana berakhir. Putusan itu dijatuhkan oleh majelis hakim yang diketuai Hakim Agung Surya Jaya dengan anggota Sinintha Yuliansih Sibarani dan Sigid Triyono pada 4 Juni 2025.