Perlu kerja keras bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk mengumpulkan pajak minimal Rp2.076,9 triliun pada tahun ini. Tahun depan targetnya digenjot 13,51 persen menjadi Rp2.357,71 triliun.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Aviliani mengingatkan potensi pajak dari sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Angkanya cukup menggiurkan sebesar Rp56 triliun per tahun.
Di mana, potensi pajak penghasilan (PPh) final sebesar 0,5 persen dari omzet UMKM hingga Rp4,8 miliar per tahun, cukup menggiurkan. Sayangnya, tingkat kepatuhan pajak dari pelaku UMKM, masih rendah.
“Tetapi juga ini kepatuhannya (pajak) masih sangat rendah karena memang kita sosialisasinya perlu lebih banyak, kemudian sistem kita juga mungkin perlu diperbaiki agar memudahkan orang untuk membayar pajak,” ujar Aviliani dalam webinar Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), di Jakarta, Selasa.
Berdasarkan data yang ia paparkan, saat ini UMKM berkontribusi sekitar 60,5 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, atau setara Rp12.639,9 triliun dari total PDB Rp20.892,4 triliun.
Menimbang potensi tersebut, sektor UMKM seharusnya bisa berkontribusi lebih besar terhadap perpajakan tanah air.
Aviliani menilai, insentif tarif (PPh) sebesar 0,5 persen dari omzet tidak bisa diterapkan terlalu lama. Sebab, kebijakan tersebut berpotensi menimbulkan moral hazard. Misalnya, pelaku usaha bisa saja memecah usaha mereka agar tetap berada di bawah batas omzet Rp4,8 miliar.
UMKM dikenai PPh final 0,5 persen apabila memiliki omzet (peredaran bruto) tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam satu tahun pajak. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 55 Tahun 2022.
“Karena juga bisa terjadi moral hazard dari pelaku lain, di mana mereka bisa membuat perusahaan banyak dengan (omzet) di bawah Rp4,8 miliar, bikin lagi perusahaan (omzet) Rp4,8 miliar,” ujarnya pula.
Lebih lanjut, selain UMKM, Aviliani menyoroti sektor digital yang berkembang pesat. Ia menegaskan pentingnya penerapan pajak secara adil pada ekonomi digital untuk menghindari ketimpangan dan menjaga keadilan bagi seluruh pelaku usaha.
“Saya rasa itu juga perlu karena jangan sampai akhirnya merugikan. Di satu sisi karena kena pajak, di sisi yang lain tidak kena pajak. Jadi saya mendukung pajak terhadap digitalisasi, sehingga ini juga akan bukan hanya menambah pendapatan negara, tapi menurut saya kesejahteraan masyarakat juga perlu diperhatikan dari kontribusi pajak,” ujar Aviliani.