Tak terasa, delapan puluh tahun usia Republik Indonesia (RI), pasang surutnya industri masih saja terasa kencang. Era Soekarno hingga Prabowo Subianto, ada saja yang membelenggu industri untuk maju.
Saat ini, banyak kalangan menyebut Indonesia mengalami kemunduran ketimbang dulu. Istilah ekonominya: deindustrialisasi. Pemicunya, kontribusi industri terhadap pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB), susut dari masa ke masa.
Di awal kemerdekaan, misalnya, Presiden Soekarno memberikan perhatian besar untuk membangun industri. Kala itu, Bung Karno kepincut mengembangkan industri tekstil dan pesawat terbang.
Cukup masuk akal. Karena, industri tekstil menyerap banyak pekerja. Sedangkan industri pesawat terbang, cocok dengan Indonesia yang memiliki lebih dari 17.000 pulau. Sehingga, moda transportasi yang cocok untuk Indonesia adalah pesawat terbang.
Pada 1933, Bung Karno pernah marah besar. Kala itu, Indonesia yang masih dijajah Belanda, pasarnya dibanjiri produk tekstil buatan Jepang. Akibatnya, perusahaan tekstil milik pengusaha pribumi, satu per satu tumbang.
Dan, banyak pekerjanya yang notabene warga asli Indonesia, kena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Ya itu tadi, biang keroknya. Produk dalam negeri tak mampu bersaing dengan tekstil buatan Jepang. Di mana harga tekstil impor itu, lebih murah.
Selanjutnya, Bung Karno mendorong berkembangnya industri tekstil dalam negeri. Pengusaha-pengusaha seperti Sudono Salim dan Eka Tjipta, tercatat pernah berbisnis tekstil.
Bung Karno sempat membentuk kementerian yang khusus menangani urusan tekstil. Namanya, Kementerian Perindustrian Tekstil dan Rakyat, menterinya dijabat Muhammad Sanusi. Dialah menteri pertama sekaligus yang terakhir sepanjang sejarah Indonesia.
Pada 1961, Soekarno membentuk PN (Perusahaan Negara) Industri Sandang yang memproduksi tekstil. Kemudian ganti nama menjadi PT Industri Sandang Nusantara (Persero).
Di luar itu, Bung Karno punya keinginan besar membangun industri dirgantara nasional. Untuk itu, Indonesia harus unggul secara teknologi.
Sejak 1950, Indonesia mengirim anak-anak muda cerdas belajar ke luar negeri. Khususnya ke Eropa seperti Belanda dan Jerman. Termasuk BJ Habibie, merupakan angkatan ke-V yang dikirim Bung Karno ke Belanda dan Jerman.
Memperingati Hari Penerbangan Nasional pada 9 April 1962, Bung Karno menyampaikan pidato berisikan visi dirgantaranya.
“Tanah air kita adalah tanah air kepulauan, tanah air yang terdiri dari beribu-ribu pulau yang dipisahkan satu dari yang lain oleh samudra-samudra dan lautan-lautan. Tanah air kita ini adalah ditakdirkan oleh Allah SWT terletak antara dua benua dan dua samudra. Maka bangsa yang hidup di atas tanah air yang demikian itu hanyalah bisa menjadi satu bangsa yang kuat jikalau ia jaya bukan saja di lapangan komunikasi darat, tetapi juga di lapangan komunikasi laut dan di dalam abad 20 ini dan seterusnya di lapangan komunikasi udara,” kata Bung Karno.
Dan, Bung Karno terus berupaya mewujudkan visi itu. Melalui tangan Nurtanio Pringgoadisurjo, pionir industri dirgantara nasional, Bung Karno merintis kerja sama dengan CEKOP, industri pesawat terbang asal Polandia.
Kontrak kerja sama terwujud setelah pemerintah membentuk Komando Pelaksana Proyek Industri Pesawat Terbang (Kopelapip), terdiri dari Lapip dan PN Industri Pesawat Terbang Berdikari, pada 1965.
Kesepakatan dalam kontrak kerja sama itu, meliputi pembangunan pabrik, pelatihan karyawan, dan lisensi produksi pesawat PZL-104 Wilga.
Kopelapip pun berhasil memproduksi 44 unit pesawat PZL-104 Wilga, yang dinamakan Presiden Sukarno sebagai pesawat Gelatik.
Tak hanya dengan CEKOP, Kopelapip juga bekerja sama dengan Fokker, perusahaan pesawat terbang Belanda.
Ketika pemerintahan berganti ke Soeharto, industri otomotif justru jadi prioritas, lewat berbagai kebijakan pro-investasi asing.
Era industrialisasi ditempuh Soeharto dengan menyediakan berbagai insentif khusus perakitan di dalam negeri atau Completely Knocked Down (CKD), dan kebijakan melaran impor utuh atau Completely Built-Up (CBU).
Selain itu, ada satu kebijakan industrialisasi sektor otomotif ala Soeharto yang mendorong bertumbuhnya industri otomotif. Yakni, program Kendaraan Bermotor Niaga Sederhana (KBNS) pada 1970-an.
Program KBNS ini, bertujuan meningkatkan perekonomian masyarakat, sebagai alat transportasi hasil pertanian dan perkebunan dari desa ke kota. Kriteria KBNS, adalah, harga rendah, biaya pemeliharaan dan perbaikan murah dan mudah,konsumsi bahan akar irit, keselamatan dan keamanan serta estetika terjamin.
Muncul beberapa perusahaan mobil membangun produk ‘KBNS’ seperti yang diinginkan Soeharto di era 1970-an. Misalnya Toyota Kijang yang terinspirasi mobil Toyota Tamaraw di Filipina pada 1976.
Atau VW Mitra yang dirakit PT Garuda Mataram Motor (GMM) Jakarta, bermesin 1.600 cc diimpor dari Jerman Barat. Kerangkanya diproduksi PT Perindustrian Angkatan Darat (Pindad)-Bandung dan bodi oleh PT Wahana Bhakti Utama.
VW Mitra juga dijual dalam rupa minibus, mobil boks, dan delivery van.
Pada 1977, mobil niaga sederhana merek Morina atau ‘Mobil Rakyat Indonesia’ dipasarkan. Menggunakan merek Vauxhall, Morina dirilis PT Garmak Motor, selaku APM General Motors (GM) di Indonesia.
Sayangnya VW Mitra maupun Morina tidak berumur panjang alias setop produksi. Hanya Toyota Kijang, mobil program KBNS era Presiden Soeharto, yang bertahan hingga hari ini.
Selain otomotif, Soeharto punya concern terhadap industri tekstil yang padat karya. Era 1970 hingga 1997, menjadi masa keemasan dan kejayaan industri tekstil.
Tekstil menjadi primadona karena menyumbang devisa kepada negara nomor satu dari sektor non-migas. Di era Soeharto lahir banyak perusahaan teksil kakap.
Salah satunya, PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex, didirikan HM Lukminto sempat menjadi perusahaan kebanggaan Soeharto. Namun kini tinggal sejarah karena pailit. Tata kelola perusahaan serampangan dari generasi kedua HM Lukminto, membuat Sritex tutup.
Semasa Jokowi, industri justru semakin tercecer. Ekonom senior, Faisal Basri sempat memberikan kritik keras atas kemunduran sektor industri.
Pada 2014, berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), kontribusi manufaktur terhadap PDB tercatat 21,02 persen. Pada 2019 atau akhir periode pertama kekuasaan Jokowi, kontribusinya tersisa 19,7 persen. Terus merosot hingga pada 2023 menjadi 18,67 persen.
Pada 2024, kontribusi manufaktur terhadap PDB naik tipis menjadi 19,13 persen dan berlanjut ke kuartal I-2025 yang mencapai 19,25 persen.
Deindustrialisasi di era Jokowi tersebut memicu lapangan pekerja formal semakin langka. Mau tak mau , masyarakat harus mencari penghidupan dari pekerjaan informal yang tak memperoleh pendapatan tetap dan keamanan pekerjaan atau job security. Misalnya menjadi pengemudi ojek online (ojol) atau taksi online.
Masih mengacu kepada data BPS, proporsi pekerja informal terus melesat di era Jokowi. pada 2014, jumlah pekerja informal sebesar 59,81 persen. Sisanya sekiar 40 persen adalah pekerja formal.
Pada 2019, pekerja informal pekerja informal turun menjadi 57,27 persen, namun melonjak pada 2023 menjadi 60,12 persen.
Ketika industri manufaktur banyak yang ambruk, jangan berharap pertumbuhan ekonomi bisa menjulang. “Industri itu ujung tombak bagi pertumbuhan ekonomi,” tutur Faisal yang meninggal dunia pada 5 September 2024.
Oh iya, ada torehan catatan hitam sector industri yang ditancapkan Jokowi. Dia sempat mencanangkan mobil Esemka menjadi program mobil nasional (mobnas). Belakangan terkuak program mobnas Jokowi tak lebih hanya pencitraan.
Padahal, Jokowi pernah meresmikan peluncuran sejumlah mobil Esemka yang pabriknya di Boyolali, Jawa Tengah (Jateng), pada September 2019. Atas kebijakan ‘omon-omon’ ini, Jokowi digugat wanprestasi di Pengadilan Negeri (PN) Surakarta.
Kini, tongkat estafet pemerintahan berganti ke tangan Presiden Prabowo, nasib sector industri belum membaik. Banyak pabrik mengalami penurunan omzet yang berujung gulung tikar dan PHK. Akibatnya, kontribusi manufaktur terhadap PDB, masih rendah.
Mantan Menteri Keuangan (Menkeu) dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro, mengaku, industri manufaktur di Indonesia, mengalami keemasan di era 1990-an.
Kala itu, kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB mencapai 30 persen. Adapun, kontribusi utama manufaktur terhadap PDB, berasal dari industri elektronik, makanan hingga garmen.
Namun, kejayaan manufaktur Indonesia mulai runtuh pada 2003, atau era Presiden Megawati. Karena, fokus pemerintahan Megawati bergeser ke eksplorasi sumber daya alam (SDA), khususnya batu bara dan sawit.
“Manufaktur menurun kontribusinya ke PDB saat ini. Ekonomi kita jadi terdiversifikasi ke SDA sekarang ini, sebelum 2003 ke migas. After (setelah) 2003 ke batubara dan sawit,” kata Bambang.
Untuk mengembalikan kejayaan itu, kata dia, pemerintahan Prabowo Subianto berkomitmen untuk melanjutkan program hilirisasi dan investasi. Khusus untuk investasi, tidak bisa lagi mengandalkan investor domestik saja. Melainkan juga investasi asing melalui Penanaman Modal Asing (PMA).
Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Arief Anshory Yusuf berpandangan sama. Kondisi Indonesia, saat ini, sedang mengalami deindustrialisasi dini. Namun, levelnya tidak parah. Masih bisa ‘diobati’ dan dipastikan cepat pulih.
“Deindustrialisasi prematur di Indonesia itu belum sampai parah banget, istilahnya baru stalled industrialization,” ucap Arief yang juga Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran (Unpad), Jumat (11/7/2025).
Pertanda terjadinya deindustrialisasi dini adalah anjlokya kontribusi industri pengolahan, atau manufaktur terhadap PDB yang merosot satu dekade terakhir, seiring pertumbuhan ekonomi Indonesia yang macet di level 5 persen.
“Industrialisasi atau manufacturing, meningkatnya aktivitas ekonomi yang berbasis manufaktur, menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi untuk pekerja, formal job itu create dari itu dulu, ketika tahun 90an. Itu yang membuat kita ekonominya bahkan bisa 8 persen, atau mendekati 8 persen,” tegas Arief.
Utang Pemerintah
Mungkin banyak yang tak tahu, Indonesia sudah masuk jebakan utang, sejak sebelum merdeka. Tepatnya kala penjajahan Belanda.
Dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Denhaag pada 23 Agustus 1949, Belanda bersedia mengakui kedaulatan Indonesia dengan syarat harus melunasi utang sebesar US$1,13 miliar, atau setara 4,3 miliar gulden. Beban utang dari Belanda itu, menimbulkan defisit APBN hingga Rp9 miliar.
Lagi-lagi, pemerintahan Soekarno terpaksa menarik utang baru dari Uni Soviet, US Exim Bank, dan IMF sepanjang 1959-1965.
Hingga akhir pemerintahan Bung Karno, utang luar negeri Indonesia mencapai US$2,4 miliar, atau setara Rp794 miliar. Atau sekitar 29 persen terhadap PDB.
Utang warisan Belanda yang haus disangga Bung Karno, seolah menjadi ‘kutukan’ bagi seluruh pemimpin Indonesia di masa depan. Alhasi, bangsa ini belum bisa merdeka dari utang hingga kini.
Ketika Soeharto berkuasa (Maret 1967-Mei 1998), utang pemerintah mencapai Rp551,4 triliun, atau setara 57,7 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto).
Bergulir roda reformasi, Presiden BJ Habibie memimpin 17 bulan, utang pemerintah naik menjadi Rp938,8 triliun. Dengan rasio sebesar 85,4 persen dari PDB. Besar sekali.
Presiden Gus Dur (1999-2001), utang melejit menjadi US$122,3 miliar, atau setara Rp1.271,4 triliun, Rasio utangnya turun, namun tetap besar yakni 77,2 persen.
Pemerintahan beralih ke Megawati (2002-2004), utang naik tipis US$139,7 miliar, atau setara Rp1.298 triliun. Sedangkan rasionya turun 56,5 persen.
Di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang memimpin dua periode (2004-2014), utang terus menggunung ke Rp2.608,8 triliun. Namun rasio turun hampir separuh, yakni 24,7 persen dari PDB.
Dua periode pemerintahan Jokowi (2014-2024), utang semakin bertumpuk. Pada 2014, tercatat Rp2,61 kuadriliun (Rp2.610 triliun) dengan rasio 24,7 persen.
Setahun kemudian naik Rp3,17 kuadriliun (Rp3.170 triliun) dengan rasio 27,5 persen. Pada 2016, naik menjadi Rp3.520 triliun dengan rasio 28,3 persen.
Pada 2017, utang meningkat menjadi Rp3,99 kuadriliun (Rp3.990 triliun) dengan rasio utang 29,4 persen. Setahun kemudian, melonjak menjadi Rp4.470 triliun setara dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 29,8 persen.
Pada 2019, utang melonjak menjadi Rp4.780 triliun dengan rasio utang 30,2 persen terhadap PDB.
Kenaikan utang paling parah di era Jokowi pada 2020, utang pemerintah meroket Rp6.080 triliun dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 39,4 persen. Kala itu terjadi pandemi COVID-19.
Pada 2021, utang pemerintah naik tipis menjadi Rp6.910 triliun dengan rasio utang 40,7 persen. Naik lagi pada 2022 menjadi Rp7.730 triliun dengan rasio utang 39,5 persen.
Memasuki 2023, utang pemerintah tiba-tiba menggunung hingga Rp8,14 kuadriliun atau Rp8.140 triliun, rasio turun 39,1 persen. Tahun lalu, utang melonjak Rp8.756 triliun, rasio utangnya mendekati 40 persen.
Utang China

Era pemerintahan Jokowi, ketergantungan terhadap utang dari China, cukup besar. Berbagai proyek-proyek infrastruktur termasuk Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB), sekarang bernama kereta Whoosh.
Lewat komitmen OBOR (One Belt One Road) kemudian berganti nama Belt and Road Initiative (BRI), China menjerat banyak negara menjadi ‘budaknya’ lewat utang proyek, sejak 2013.
Pada 2013, total investasi China US$297 juta ke Indonesia, menempatkannya ke posisi 12 investor terbesar. Pada 2015, China masuk peringkat 9 dengan nilai investasi US$628 juta. Naik lagi ke posisi 3 pada 2017.
Sebelum 2019, nilai investasi China di Indonesia biasanya kurang dari US$1 miliar. Namun sejak 2019 ke depan, nilai ivestasi Chna terkerek di atas US$1 miliar. Salah satu fokus investasi China adalah smelter di kawasan sentra nikel, seperti Maluku Utara dan Sulawesi Tengah.
Di sektor infrastruktur, China dan Indonesia juga bekerja sama membangun mega proyek Kereta Whoosh, Waduk Jatigede di Sumedang, dan Tol Medan-Kualanamu.
Namun, jangan senang dulu. Kolaborasi dengan China bisa berakhir malapetaka. Kalau tak mampu bayar, China bisa saja mengambil-alih aset yang dibiayai dari duit utangan. Dan itu sudah banyak kejadiannya.
Pada 2023, misalnya, China mencaplok Pelabuhan Hambantota dari Sri Lanka. Gara-garanya ya itu tadi. Sri Langka tak kuat melunasi utang pembangunan pelabuhan Hambantota ke China.
Untung besar China, karena pelabuhan Hambantota punya posisi strategis. Berada di jalur pelayaran utama antara Selat Malaka dan Terusan Suez. Penghubung Asia dan Eropa.
Sebelumnya, China mengambil-alih Bandara Internasional di Zambia dan Uganda. Persoalannya sama, kedua negara itu tak kuat melunasi utang ke China. Jebakan utang China benar-benar dahsyat.
Pekerja Belum Merdeka
Guru Besar Fakultas Ekonomi IPB, Prof Didin S Damanhuri menyatakan, secara formal Indonesia sudah 80 tahun merdeka. Namun dari sisi ekonomi, masih banyak permasalahan besar yang belum terselesaikan.
Misalnya, masalah data kemiskinan yang masih simpang-siur. Data kemiskinan versi Badan Pusat Statstik (BPS), angkanya rendah. Dinilai tak sesuai realitas.
Musababnya, BPS menggunakan standar kemiskinan yang sangat rendah. Wajarlah angka kemiskinan yang dihasilkan BPS, rendah pula. Tentu saja, pemerintah suka dengan angka kemiskinan yang kecil ala BPS.
Namun, ada risikonya. Data BPS yang tidak akurat akan mempersulit pemerintah dalam menetapkan program pengentasan kemiskinan.
Sementara Bank Dunia menggunakan standar kemiskinan 2,15 dolar AS per hari, menghasilkan data berbeda dengan BPS. Di mana, 44 persen dari total penduduk Indonesia, berada di bawah garis kemiskinannya.

Tak masalah jika angka kemiskinan BPS dan Bank Dunia berbeda. Namun, masalah kemiskinan di Indonesia, belum merdeka. Jika menggunakan angka kemiskinan BPS, kemiskinan mendera 26 juta penduduk Indonesia. “Artinya mereka belum merdeka secara ekonomi. Nah itu menjadi tugas pemerintah,” kata Pro Didin saat berbincang dengan Inilah.com, Jumat (8/8/2025).
Belum lagi data yang menyebut, sebanyak 60 persen dari total pekerja di Indonesia yang berjumlah 145 juta jiwa, mencari peruntungan di sektor informal.
Artinya, mayoritas pekerja di Indonesia tak memiliki jaminan sosial dan perlindungan kerja yang sama dengan pekerja formal.
“Kalau ke daerah, masih ada tukang becak yang umurnya sudah 70 tahun, atau terpaksa jadi pemulung. Mereka jelas belum merdeka,” imbuhnya.
Dia pun menyebut, tergerusnya jumlah kelas menengah sebanyak 10 juta dalam 5 tahun, masalah serius. Belum lagi pelemahan daya beli. Sebanyak 45 juta kelas menengah, daya belinya rontok.
Sehingga muncullah istilah ‘Rojali’ (rombongan jarang beli) dan ‘Rohana’ (rombongan hanya nanya). “Sementara kelompok elit yang jumlahnya 20 persen, enggak kena masalah. Tapi mereka mengurangi belanja juga,” imbuhnya.
Mengunungnya utang juga menjadi kritikan Prof Didin, termasuk proyek Kereta Whoosh yang belum beres utangnya, malah mau dilanjutkan ke Surabaya.
“Ini kritik saya. Kenapa Presiden Prabowo yang tadi sudah membatalkan kereta cepat Jakarta-Surabaya. Tiba-tiba karena lobinya Pak Luhut, diokein lagi. Padahal itu, kira-kira butuh Rp700 triliun biayanya,” kata Prof Didin.
Untuk menjadikan Indonesia bangsa yang mandiri, dia mengusulkan agar pemerintahan Prabowo Subianto fokus menciptakan lapangan kerja. Tahun 2025 belum berakhir saja, sedikitnya 600.000 pekerja terkena PHK.
Ciptakan lapangan kerja seluas-luasnya lewat penanaman modal dalam negeri (PMDN) atau penanaman asing (PMA). Tinjau ulang seluruh kebijakan perdagangan yang merugikan industri dalam negeri, khususnya yang bersifat mematikannya. Masih ada waktu untuk perbaikan, mumpung ekonomi belum ‘tenggelam’ karena deindustrialisasi dan utang.
(Penulis: Clara/Ipe).