Ketua Mahkamah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Ade Irfan Pulungan menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal pemisahan pemilu nasional dan lokal di luar ketentuan dari tugas MK sebagai penguji Undang-Undang (UU). Menurutnya, MK seperti membuat norma baru UU dengan adanya putusan tersebut.
“Kewenangan MK saat ini dapat dikatakan bukan hanya menguji UU yang bertentangan dengan UUD 1945 tapi sudah membuat norma baru UU atau juga UUD 1945 (hukum baru),” kata Irfan kepada inilah.com, Jumat (4/7/2025).
Menurut Irfan, putusan tersebut juga sulit diterima oleh partai politik (Parpol) karena jarak waktunya yang terlalu lama antara pemilihan DPR RI dengan pemilihan DPRD provinsi dan kabupaten/kota.
Ia menekankan pentingnya sinergitas pemerintahan pusat hingga dengan walikota/Bupati seharusnya menjadi perhatian untuk bisa menjalankan program pembangunan serta visi-misi presiden dan wakil presiden.
“Periodisasi (waktu jabatan) antara Presiden dengan Gubernur-Bupati/walikota menjadi catatan penting, jika rentang waktu nya berbeda sampai 2-2,5 tahun, bisa jadi satu periode jabatan presiden diikuti oleh 2 kali kepemimpinan di daerah (Gubernur-walikota/bupati),” ucapnya.
Irfan juga menyinggung soal banyaknya penolakan dari fraksi DPR RI terkait putusan tersebut. Menurutnya, penolakan itu muncul karena banyak yang mempertanyakan apakah permohanan yang ada itu sudah berdasarkan ketentuan.
Terlebih, putusan itu berkaitan dengan pelaksaan pemilu, salah satunya soal pelaksanaan pemilu daerah yang bakal digelar pada 2031.
“Logika itulah yang membuat perdebatan, jelas waktu pelaksanaan pemilu 5 tahun dan itu tertuang sangat jelas dalam UUD, pemilu itu kan mulai dari DPRI RI DPRD Provinsi, kabupaten/kota. Justru putusan MK itu tidak berkesuaian secara UUD, itu yang membuat perdebatan pemahaman yang berbeda dengann putusan MK ini,” ucapnya.
Ia pun menduga bahwa putusan MK terkait pemisahan pemilu nasional dan lokal ini cenderung politis.
“Sepertinya diduga putusan MK kencendrungannya lebih ke dimensi poltik dari pada ke dimensi hukum,” ujarnya.
Ia juga mewanti-wanti terjadinya deadlock atau krisis konstitusi akibat putusan tersebut. Ia mendorong agar MK bersama pihak-pihak terkait untuk segera melakukan komunikasi agar menemukan jalan keluar.
“Kan (putusan MK) gak mungkin lagi diubah, tapi pemahaman atau pertimbangan hakim MK itu dengan mengeluarkan amar putusannya itu, itu yang harus dijelaskan atau dimusyawarahkan bersama sehingga tidak berdamapak beberapa hal yang ada,” katanya.