Prahara di Panggung Dunia: Ke Mana Arah Geopolitik Indonesia?

Prahara di Panggung Dunia: Ke Mana Arah Geopolitik Indonesia?


Indonesia harus kembali menjadi inisiator, tidak hanya di tingkat regional, tetapi juga di kancah global. Membangun kembali diplomasi yang visioner, cerdas, dan lincah, seperti yang pernah dilakukan para pendahulu, adalah kunci.

Di panggung dunia, nama Indonesia pernah bersinar terang. Bersama Presiden Soekarno, para diplomat ulung menciptakan doktrin Politik Luar Negeri Bebas Aktif yang menggetarkan. Gerakan Non-Blok (GNB) dan Konferensi Asia-Afrika (KAA) menjadi bukti nyata Indonesia sebagai arsitek perdamaian global.

Namun, kini, di era yang lebih kompleks, suara Indonesia seakan sayup. Pertanyaan besar menggantung: ke mana arah geopolitik Indonesia hari ini, dan mampukah kita kembali menemukan taji?

Masa 1950-an dan 1960-an adalah era keemasan diplomasi Indonesia. Di tengah Perang Dingin yang memecah dunia, Indonesia menolak berpihak. Politik bebas aktif bukan sekadar slogan, melainkan strategi jitu untuk membangun kekuatan moral.

Konferensi Asia-Afrika (KAA) 1955 di Bandung menjadi tonggak sejarah, mempertemukan 29 negara yang baru merdeka untuk menyatukan visi. Dari sinilah lahir Gerakan Non-Blok (GNB), sebuah kekuatan yang mengancam dominasi Blok Barat dan Timur.

Di balik layar, ada nama-nama besar yang menjadi otaknya: Haji Agus Salim sang diplomat ulung yang cerdas dan visioner, Soenario Sastrowardoyo yang gigih, hingga Ali Sastroamidjojo yang piawai. Mereka adalah para diplomat dengan kapasitas dan keberanian untuk menempatkan Indonesia di garis depan.

post-cover
Suasana Konferensi Asia Afrika (KAA) yang digelar di Gedung Merdeka, Bandung, 24 April 1955. (Foto: Dok. Arsip Nasional Republik Indonesia/unesco.org)

Ketika Orde Baru berkuasa, arah diplomasi bergeser. Stabilitas domestik dan pembangunan ekonomi menjadi prioritas utama. Politik luar negeri menjadi lebih pragmatis, meninggalkan ambisi global Soekarno. Indonesia memilih fokus pada kawasan regional, menjadi salah satu pendiri dan penggerak ASEAN.

Meskipun peran di panggung global berkurang, Indonesia masih memiliki diplomat-diplomat andal. Adam Malik, Mochtar Kusumaatmadja, dan Ali Alatas adalah para diplomat yang terbukti lihai mengelola hubungan rumit. Mereka berhasil mengamankan kepentingan nasional di tengah tantangan regional dan global yang terus berubah. Namun, gema suara Indonesia di dunia tak lagi sekuat era Soekarno.

Pasca-Reformasi, Indonesia kembali bersemangat untuk berperan di kancah global. Demokratisasi membuka peluang bagi diplomasi yang lebih aktif. Indonesia terlibat dalam berbagai forum internasional, seperti G20 dan OKI, serta terus memainkan peran penting di ASEAN. Citra Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia juga membaik.

Namun, di balik semua itu, ada keraguan yang mendalam. Banyak pengamat menilai diplomasi Indonesia kini cenderung reaktif, bukan proaktif. Indonesia lebih banyak menanggapi isu ketimbang menciptakan inisiatif. Ketika krisis global terjadi, suara Indonesia seringkali hanya sebatas kecaman atau seruan moral, tanpa diikuti langkah-langkah strategis yang berdampak.

post-cover
Menteri Luar Negeri RI Ali Alatas saat berpidato mengenai perkembangan atas perdamaian di Timur Tengah, Eritrea, Ethiopia dan Timor Leste di Majelis Umum PBB, New York, AS, 23 September 1999. (Foto: YouTube/C-SPAN)

Diplomat vs Diplomat: Ke Mana Visi Sang Arsitek?

Perbedaan paling mencolok antara diplomasi dulu dan sekarang terletak pada sosok diplomatnya. Dahulu, ada Haji Agus Salim yang karismatik dan Ali Sastroamidjojo yang visioner. Di era Orde Baru, ada Adam Malik yang terkenal jenaka tapi cerdas, serta Ali Alatas yang dikenal sebagai diplomat ulung. Mereka adalah arsitek yang mampu membentuk dan mengarahkan kebijakan luar negeri.

Namun, di era saat ini, banyak pihak meragukan kapasitas strategis para diplomat, termasuk Menteri Luar Negeri Sugiono. Diplomasi kini cenderung menjadi birokratis dan prosedural, kehilangan sentuhan personal dan visi besar yang pernah menjadi ciri khas Indonesia.

Indonesia kini dihadapkan pada persimpangan jalan. Tantangan geopolitik global, dari persaingan AS-China hingga krisis iklim dan pangan, menuntut sikap yang lebih tegas. Indonesia tidak bisa lagi hanya menjadi penonton.

post-cover
Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi memberikan pandangan saat menghadiri Pertemuan ke-34 Dewan Koordinasi ASEAN (ACC) di Gedung Sekretariat ASEAN, Jakarta, 4 September 2023. (Foto: Antara/Media Center KTT ASEAN 2023/Aditya Pradana Putra)

Pakar hukum internasional yang juga Guru Besar FHUI Prof Hikmahanto Juwana menekankan pentingnya kebijakan luar negeri yang tetap berpegang pada prinsip bebas dan aktif, tanpa kehilangan fokus pada kepentingan nasional.

“Kita harus tahu kepentingan nasional kita. Bapak Presiden sudah menyampaikan di G20 bahwa kita dipilih untuk menjawab isu seperti kelaparan, kemiskinan, dan ketergantungan. Itu yang harus menjadi prioritas kebijakan luar negeri kita,” jelas Hikmahanto dalam sebuah diskusi di Jakarta.

Ia juga mengingatkan agar birokrasi mampu menerjemahkan visi presiden secara konkret dalam diplomasi.

“Prinsip bebas dan aktif bukan berarti kita diombang-ambingkan oleh kekuatan besar. Kalau kita tidak tahu arah kebijakan kita, itu bukan lagi kebijakan bebas dan aktif, melainkan ketergantungan,” tambahnya dengan tegas.

Diperlukan revitalisasi peran global dengan arah geopolitik yang jelas dan berani. Indonesia harus kembali menjadi inisiator, tidak hanya di tingkat regional, tetapi juga di kancah global. Membangun kembali diplomasi yang visioner, cerdas, dan lincah, seperti yang pernah dilakukan para pendahulu, adalah kunci. Indonesia harus berani mengambil risiko, tidak hanya untuk kepentingan nasional, tetapi juga untuk menciptakan tatanan dunia yang lebih adil.

Tugas berat ini menanti para pemimpin dan diplomat Indonesia. Mampukah mereka mengembalikan martabat Indonesia sebagai arsitek geopolitik dunia? Hanya waktu yang akan menjawabnya.

 

 

Komentar