Premanisme Ormas, Ketika Legalitas Digunakan untuk Menindas

Premanisme Ormas, Ketika Legalitas Digunakan untuk Menindas


Fenomena ‘Negeri Seribu Ormas’, dimana setiap kelompoknya berisi orang-orang hebat. Entah hebat dalam menghasilkan uang, berorasi, berkelahi, memeras, atau bahkan menindas. 

Cukup dengan mengatasnamakan organisasi kemasyarakatan (ormas), premanisme di jalanan tak terhindarkan. Inilah yang terjadi di negara Indonesia hingga saat ini.

Bahkan mereka tak segan melakukan pungutan liar (pungli) kepada siapapun di lahan yang dianggapnya sudah mereka kuasai. Kenapa mereka sangat berani? Tentu saja karena mereka berada di dalam naungan ormas tertentu dengan jumlah pengikut yang pastinya banyak.

Harusnya ini menjadi tugas penegak hukum untuk memberantas kebiasan ormas yang menarik upeti dari masyarakat.

Memang tak sedikit dari mereka (oknum ormas) yang sudah ditangkap karena terbukti melakukan pemerasan atau pungli, tentunya setelah videonya viral di media sosial (medsos). Namun ada pula yang dibebaskan setelah pelaku mengakui perbuatannya dan meminta maaf ke publik.

Seharusnya ini tidak boleh terjadi, ini adalah salah satu pekerjaan rumah (PR) bagi penegak hukum agar memberikan efek jera terhadap ormas yang kerap meresahkan masyarakat. Bila perlu jangan hanya menangkap oknum atau anggotanya saja, tapi juga bubarkan ormas tempatnya bernaung jika terus berulah.

Sejatinya desakan untuk membubarkan ormas yang kerap meresahkan masyarakat sudah seringkali diungkapkan masyarakat, namun hingga saat ini belum ada ketegasan dari pemerintah.

Pemerintah sebenarnya telah memiliki payung hukum yang mengatur keberadaan ormas, yaitu melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Dalam regulasi tersebut, ormas memang diberikan kebebasan untuk beroperasi, tapi dengan syarat harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Pada praktiknya, regulasi ini masih memiliki beberapa kelemahan, salah satunya kurangnya mekanisme pengawasan terhadap ormas yang melakukan penyalahgunaan wewenang.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian pun mengakui harus ada evaluasi terhadap ormas karena banyak yang kebablasan sehingga meresahkan masyarakat.

“Kita lihat banyak sekali peristiwa ormas yang kebablasan. Mungkin perlu ada mekanisme pengawasan yang ketat. Di antaranya, mungkin masalah keuangan, audit keuangan,” kata Tito, Jumat (25/4/2025).

Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) per 5 Maret 2024, tercatat ada 554.692 ormas 1.530 ber-Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dan 553.162 berbadan hukum.

Pemerintah tidak pernah melarang masyarakat ingin mendirikan ormas. Ketiadaan batasan dalam pendirian ormas ini membuat siapa pun dapat mendirikan organisasi.

Ormas dan Pengangguran

Aksi preman yang kerap dipertontonkan oleh oknum anggota ormas ternyata berkaitan dengan tingginya angka pengangguran. Seperti yang dijelaskan oleh Pengamat Kebijakan Publik dari PH&H Public Policy Interest Group, Agus Pambagio.

Menurutnya anggota ormas yang melakukan pungli atau sampai memeras itu salah satu fakta bahwa Indonesia butuh banyak lapangan pekerjaan. Sehingga masuk ke dalam organisasi dengan harapan bisa mendapatkan uang.

“Karena nggak ada lapangan pekerjaan, jadi ormas kan pengangguran itu,” ujarnya kepada Inilah.com, Sabtu (3/5/2025).

agus pambagio

Karena itu upaya yang harus dilakukan pemerintah untuk menghilangkan kasus premanisme ormas, salah satunya adalah menciptakan lapangan kerja lebih banyak lagi. Dengan begitu diharapkan angka kriminalitas ormas tentunya akan berkurang.

“Makanya, jalan yang terbaik adalah menciptakan pekerjaan,” ucapnya.

Dirinya meyakini fenomena ormas melakukan pungli dengan cara meminta dana tunjangan hari raya (THR) atau jatah ke perusahan-perusahaan di daerah mereka tinggal, akan terus terjadi selama masalah pengangguran belum bisa diatasi.

Parahnya lagi, yang terjadi justru meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK). Kondisi inilah yang dikhawatirkan semakin banyaknya angka kejahatan.

“Sekarang ini banyak pengangguran PHK, ya sudah semakin banyak (premanisme ormas). Karena harus makan kan, manusiawi,” jelasnya.

Ormas Dipelihara

Meski begitu, dirinya tak menampik adanya ormas yang sengaja dipelihara untuk kepentingan politik. Situasi ini kerap terlihat ketika pesta rakyat digelar, mulai dari pemilihan kepala daerah (pilkada) hingga pemilihan presiden (pilpres).

“Karena dipelihara oleh pemerintah atau politisi. Coba nanti kalau pemilu, kan semua (ormas) mereka turun. Kalau pilkada, pilpres kan diperlukan itu,” ungkapnya.

Atas dasar itulah banyak ormas yang memang sengaja dipelihara untuk tujuan tertentu. Bahkan bisa juga untuk melawan kelompok lain demi memenangkan kontestasi.

“Ya kalau kita melihara anjing saja, kalau dikasih makan, kan dia baik-baik ke kita. Kalau nggak dikasih makan, ya pasti gigit kita,” jelasnya.

Dirinya juga menyayangkan adanya sejumlah ormas yang melakukan pungli, memeras yang berujung pada keresahan masyarakat. Sehingga sudah tidak lagi sesuai dengan tujuan keberadaan ormas di sebuah lingkungan masyarakat.

Sejatinya, ormas hadir di tengah-tengah masyarakat bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak sosial, budaya, dan ekonomi kelompok tertentu. Ormas juga menjadi wadah masyarakat untuk menyalurkan aspirasi dalam mengatasi berbagai tantangan sosial.

“Saya 20 tahun lebih bergerak di ormas, nggak pernah tuh meras. Kan tugas ormas itu adalah untuk mendampingi masyarakat. Supaya keadaan ekonomi masyarakat membaik, lingkungan terjaga dan sebagainya. Bukan memeras, itu kriminal,” ujarnya.

Menanti Aparat Tegas

Terkait aksi kriminal yang dilakukan oleh anggota ormas, membuat masyarakat semakin merindukan ketegasan dari aparat agar segera bertindak. Bahkan bila perlu bubarkan saja semua ormas yang kerap membuat resah masyarakat.

Mengenai hal ini, Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia (UI) Roy Valiant Salomo menjelaskan tidak semudah yang dibayangkan untuk membubarkan ormas. Karena ada keterkaitan antara yang satu dengan yang lainnya, baik instansi pemerintahan maupun penegak hukum.

“Ini bukan sekadar keberanian untuk menindak tegas ormas. Ormas-ormas yang ada itukan punya hubungan khusus dengan sejumlah instansi penegak hukum atau TNI, terutama secara pribadi,” katanya kepada Inilah.com.

Inilah yang menjadi alasan lemahnya penegakan hukum, terutama terhadap ormas yang memiliki jaringan luas dan afiliasi dengan tokoh berpengaruh.

“Jadi buat saya ini masalah lebih besar dari sekadar penegakan hukum. Ini soal tata kelola pemerintahan yang buruk di Indonesia. Memang ujung-ujungnya adalah kegagalan untuk menegakkan hukum, tapi faktor yang mempengaruhinya cukup kompleks,” jelasnya.

Desak Bubarkan Ormas

Tak hanya masyarakat, desakan pembubaran ormas yang membuat resah juga telah dilayangkan oleh sejumlah anggota DPR. Desakan itu muncul setelah peristiwa kericuhan ormas terjadi secara beruntun, ditambah lagi dengan kasus pungli atau pemerasan terhadap pabrik di beberapa daerah.

Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda menjelaskan, Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas sudah memberikan ruang untuk pemerintah menertibkan ormas yang bermasalah.

“Kami minta kepada pemerintah untuk kemudian melakukan berbagai tindakan nyata karena beberapa ormas yang meresahkan itu tidak boleh diberikan ruang sedikit pun untuk kita toleransi,” ujarnya.

Hal senada juga diungkapkan Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Aria Bima yang menilai, UU Ormas dapat menjadi alat pembubaran ormas, seperti yang dilakukan terhadap ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI) saat pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).

“Dan Undang-undang Keormasan itu sudah kita buat dan kita tetapkan, termasuk di dalam pembentukannya dan pembubarannya, saya kira itu,” kata Aria Bima di Kompleks MPR/DPR RI, Kamis (24/4/2025).

Karena itu Mendagri diharapkan dapat mengevaluasi ormas yang telah memiliki kekuatan hukum namun disalahgunakan demi kepentingan individu dan alat premanisme. Menurutnya, Indonesia adalah negara hukum, sehingga warga negaranya tak bisa semena-mena dalam bertindak.

Sementara itu Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno menyinggung soal adanya anggota ormas yang mengganggu pembangunan proyek pabrik mobil listrik asal Cina BYD di Kawasan Industri Subang, Jawa Barat.

Melalui akun Instagram miliknya, politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu mengaku khawatir situasi ini membuat pemodal asing tidak nyaman, sehingga menghambat investasi. Sebab dia yakin, pabrik baru itu bisa membuka lapangan pekerjaan.

pan

“Jangan sampai kemudian investor datang ke Indonesia dan merasa kemudian tidak mendapatkan jaminan keamanan, jaminan keamanan itu adalah hal yang paling mendasar bagi investasi untuk masuk ke Indonesia,” ujar Eddy.

Fenomena pungli dan pemerasan oleh oknum ormas memang bukan hal baru. Dengan dalih menjaga keamanan, anggota ormas merasa berhak menagih iuran.

Mengutip opini dari Suara USU, aksi premanisme ormas kerap menyasar ke pedagang kaki lima (PKL), Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), pabrik distribusi, bahkan lembaga pemerintah.

Contoh kasus pada 29 Maret 2025, sejumlah oknum ormas mendatangi pasar malam di halaman Disporasu, Jl. Williem Iskandar, Medan. Mereka menuntut uang keamanan dan sewa lahan sebesar Rp50 juta. Kasus serupa juga banyak terjadi di wilayah lain, bahkan disertai kekerasan.

Selanjutnya di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Sekelompok anggota ormas Laskar Merah Putih (LMP) mendatangi Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi pada 18 Maret 2025 menuntut diberikan proyek pengelolaan limbah. Karena permintaan ditolak, mereka mengamuk di depan kantor.

Tak hanya menyasar masyarakat, aksi ormas juga tak gentar berhadapan dengan aparat penegak hukum. Pada 18 April 2024, anggota ormas Gerakan Aksi Indonesia Bersatu (GRIB) merusak dan membakar mobil milik polisi di Depok, Jawa Barat.

Peristiwa ini menjadi titik kritis yang mendesak dilakukannya evaluasi menyeluruh terhadap keberadaan ormas-ormas yang bertindak di luar batas hukum.

Terakhir aksi premanisme ormas yang mengganggu proses pembangunan pabrik mobil listrik asal China PT Build Your Dream (BYD) di Kabupaten Subang, Jawa Barat. Tentunya hal ini menjadi sorotan karena mengganggu investasi di Indonesia.

Bahkan memunculkan kasus yang sama di sejumlah perusahaan lain yang juga kerap diganggu ormas dengan mengatasnamakan pribumi.

Mirisnya, banyak masyarakat memilih diam. Keberadaan ormas yang terorganisasi dan memiliki jaringan luas membuat warga takut melaporkan karena ancaman balasan, seperti perusakan hingga penganiayaan. Ketakutan ini mengakibatkan aksi yang sama terus berulang.

Karena itu semua lapisan masyarakat tentu sangat berharap ormas-ormas yang kerap bikin resah bisa kembali sesuai fungsinya yakni sebagai mitra sosial dalam pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.

Dengan begitu, ormas bukan lagi tempat berlindung bagi oknum yang memanfaatkan legalitas organisasi demi meraup keuntungan pribadi.

(Syahidan / Diana Rizky)

Komentar