Produksi Beras Nasional Meningkat Signifikan, Bukan Klaim Tanpa Dasar

Produksi Beras Nasional Meningkat Signifikan, Bukan Klaim Tanpa Dasar


Oleh Moch. Arief Cahyono
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi, Kementerian Pertanian RI

Opini berjudul “Produksi Beras tak Meningkat Signifikan” yang terbit di Inilah.com pada 26 Mei 2025 memunculkan sejumlah keraguan terhadap klaim pemerintah soal ketersediaan beras nasional. Namun, penting untuk menempatkan diskusi ini pada rel yang objektif—berbasis data sahih, bukan asumsi menghakimi.

Produksi beras nasional pada Januari–Mei 2025 mengalami kenaikan nyata, bukan sekadar retorika. Berdasarkan rilis resmi Badan Pusat Statistik (BPS), volume produksi mencapai 16,55 juta ton, naik 11,95 persen dibanding periode yang sama tahun 2024. Ini bukan angka euforia. Bahkan estimasi Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) mencatat produksi Indonesia pada 2024/2025 mencapai 34,6 juta ton, tertinggi di ASEAN—melampaui Thailand dan Vietnam.

Di sisi lain, serapan Bulog dari petani lokal hingga akhir Mei 2025 telah menembus 2,429 juta ton—tertinggi dalam 57 tahun terakhir. Angka ini melonjak lebih dari 400 persen dibanding rata-rata lima tahun sebelumnya. Jadi, bukan hanya produksinya yang tinggi, tapi diserap langsung dari tangan petani, tanpa perantara. Ini fakta konkret yang menunjukkan keberpihakan pada produsen dalam negeri.

Opini tersebut juga menyebut bahwa stok beras berlimpah karena “akumulasi dari impor besar-besaran”. Perlu ditegaskan: sejak awal 2025 tidak ada impor beras medium. Semua beras yang diserap Bulog bersumber dari hasil panen petani lokal. Klaim bahwa stok melimpah akibat impor adalah tidak berdasar dan bisa menyesatkan pembaca, apalagi jika tidak disertai klarifikasi data dari tahun berjalan.

Untuk konteks stok nasional, BPS per Mei 2025 mencatat total cadangan beras sebesar 12,05 juta ton, terdiri dari carry over 2024 (8,15 juta ton) dan hasil serapan dalam negeri (4 juta ton). Sisa impor dari tahun lalu hanya 1,7 juta ton—setara konsumsi 20 hari saja. Maka tidak tepat jika disebut stok beras saat ini ditopang oleh impor.

Soal harga, memang benar bahwa fluktuasi bisa terjadi. Tapi perlu dipahami bahwa tingginya serapan Bulog justru adalah strategi intervensi pasar yang bertujuan menjaga kestabilan harga di tingkat petani dan konsumen. Pemerintah tidak tinggal diam. Distribusi dan logistik terus diawasi. Tidak ada gejolak harga gabah seperti tahun-tahun sebelumnya.

Kami juga ingin meluruskan bahwa Kementerian Pertanian tidak pernah mengeluarkan data sendiri. Semua data merujuk pada sumber kredibel: BPS, Bulog, dan USDA. Maka jika masih ada yang mempertanyakan validitas angka tersebut, kami menyarankan agar keraguan itu diarahkan pada lembaga yang berwenang—bukan dijadikan narasi publik yang bisa memicu mispersepsi.

Narasi keberhasilan pangan bukan semata tentang angka. Ia adalah cermin dari kerja keras para petani, intervensi kebijakan negara, dan harapan bersama menuju swasembada. Dalam kondisi global yang tidak menentu akibat perubahan iklim dan geopolitik, optimisme pangan harus dibangun, bukan dipatahkan oleh dugaan yang belum tentu faktual.

Maka, mari kita kritis, tapi tetap adil. Data harus dibaca utuh, bukan dipilah-pilah untuk memperkuat keraguan. Opini tentu sah, tapi ia juga punya tanggung jawab moral untuk tidak menjadi vonis sepihak. Negara ini butuh kritik, tapi lebih dari itu: ia juga butuh kejujuran dalam membaca realitas.

Demikian klarifikasi ini kami sampaikan sebagai hak jawab berdasarkan Undang-Undang Pers. Semoga menjadi bagian dari diskursus publik yang sehat dan membangun.

Komentar