Panggung politik Inggris memanas. Hampir 60 anggota parlemen dari Partai Buruh mendesak pemerintah untuk segera mengakui Palestina sebagai sebuah negara. Desakan ini bukan kaleng-kaleng, demikian dilaporkan langsung oleh The Guardian, Sabtu (12/7/2025).
Para legislator Negeri Britania Raya ini tak hanya ingin pengakuan, mereka juga mendesak London mengambil langkah konkret demi menghentikan apa yang mereka sebut sebagai ‘pembersihan etnis’ di Gaza.
Surat Keras untuk David Lammy
Surat desakan tersebut diinisiasi oleh kelompok Labour Friends of Palestine and the Middle East, dan berhasil menggalang tanda tangan dari 59 anggota parlemen, dari blok sentris hingga sayap kiri. Surat itu sudah mendarat di meja Menteri Luar Negeri Inggris, David Lammy, pada Kamis lalu (10/7/2025).
Isi suratnya? Lugas dan menggetarkan. Para anggota parlemen mendesak Lammy agar segera bertindak menghentikan rencana Israel membangun apa yang mereka sebut ‘kota kemanusiaan’ berupa tenda-tenda di reruntuhan Rafah, Jalur Gaza selatan. Mereka memperingatkan, rencana itu tak lain adalah bentuk pemindahan paksa warga sipil dan upaya nyata untuk menghapus keberadaan Palestina.
“Dengan rasa urgensi dan keprihatinan yang mendalam, kami menulis kepada Anda terkait pengumuman kepala pertahanan Israel, Senin lalu tentang rencananya memindahkan secara paksa seluruh warga sipil Palestina di Gaza ke kamp di kota Rafah yang telah hancur, tanpa memberi mereka pilihan untuk meninggalkan lokasi tersebut,” demikian kutipan surat tersebut. Jelas, ini adalah bentuk ‘pembersihan etnis’ yang tak bisa ditolerir.
Para legislator juga menekankan, Inggris harus bertindak tegas. Tak cukup hanya dengan mengembalikan pendanaan untuk Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) dan mendukung pembebasan sandera. Mereka menuntut diberlakukannya blokade perdagangan terhadap barang-barang yang diproduksi di permukiman ilegal Israel di wilayah pendudukan Tepi Barat.
Solusi Dua Negara di Ujung Tanduk
Pernyataan para anggota parlemen ini begitu menohok: “Dengan tidak mengakui Palestina sebagai negara, kami justru melemahkan kebijakan kami sendiri tentang solusi dua negara dan menciptakan harapan kelanjutan status quo yang pada akhirnya mengarah pada penghapusan dan aneksasi wilayah Palestina secara efektif.”
Sebuah tamparan keras bagi kebijakan luar negeri Inggris yang selama ini terkesan abu-abu.
Pemerintahan baru Partai Buruh memang belum secara resmi mengubah sikapnya terkait pengakuan negara Palestina. Namun, tekanan dari internal parlemen ini jelas bukan angin lalu.
Gaza: Neraka yang tak Kunjung Usai
Di sisi lain, perang di Gaza kini sudah memasuki bulan ke-10. Pejabat Palestina dan pengamat internasional menyebutnya sebagai bencana kemanusiaan: pengungsian massal, kehancuran infrastruktur, dan gagalnya negosiasi gencatan senjata.
Meski seruan gencatan senjata terus menggema dari berbagai penjuru dunia, militer Israel tetap tancap gas. Ofensif brutal di Jalur Gaza tak berhenti sejak 7 Oktober 2023. Korban jiwa? Lebih dari 57.800 warga Palestina tewas, sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak. Pemboman tanpa henti telah menghancurkan Gaza, memicu krisis pangan, dan menyebarkan penyakit.
Tak sampai di situ, November lalu, Pengadilan Pidana Internasional (ICC) bahkan mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanannya Yoav Gallant. Tuduhannya? Kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.
Dan seolah tak cukup, Israel juga menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ). Panggung hukum internasional kini menjadi saksi bisu atas horor yang terjadi di Gaza. Akankah tekanan dari parlemen Inggris ini menjadi titik balik bagi nasib Palestina? Hanya waktu yang akan menjawab.