Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan tersangka, terkait kasus suap dan gratifikasi Tenaga Kerja Asing (TKA) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker). Modus korupsi terkait kasus pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di Kemnaker bisa jadi merupakan puncak gunung es.
Selama era pemerintahan Jokowi, eksistensi TKA diberi sederet anugerah. Begitu istimewanya TKA hingga diberi predikat sebagai diaspora bertalenta yang patut diberi hadiah kewarganegaraan ganda.
Memberi label TKA dengan sebutan diaspora bertalenta adalah cara untuk meredam resistensi publik terhadap TKA yang selama ini tengah getol bekerja di Indonesia khususnya di bidang eksploitasi sumber daya alam khususnya di sektor hilirisasi pertambangan, agrobisnis, dan kemaritiman.
Diaspora berkewarganegaraan ganda boleh-boleh saja diberikan, namun sebaiknya untuk level warga negara yang sangat istimewa, seperti ilmuwan kelas dunia, atlet kelas dunia, inovator yang karyanya mendunia.
Namun jika kewarganegaraan ganda diberikan untuk TKA yang sebenarnya kualitasnya biasa-biasa saja, namun dibungkus atau dikesankan seolah-olah hebatnya luar biasa, harus dicegah. TKA yang notabene bukan sosok SDM paripurna sebaiknya tidak diberikan. DPR harus menolak tegas usulan kewarganegaraan ganda sebagai bentuk untuk membuka lebar aneka jabatan atau posisi strategis di perusahaan maupun pemerintahan bagi TKA.
Menyoal Jabatan untuk TKA
Bagaimana masa depan dan karir generasi muda bangsa terkait dengan eksistensi tenaga kerja asing (TKA) yang bebas masuk ke Indonesia dan terbuka lebar untuknya menduduki bermacam jabatan. Sedangkan aturan yang melarang jenis jabatan untuk TKA kurang berarti posisinya dalam perusahaan atau lembaga.
Eksistensi Kepmenaker Nomor 228/2019 tentang jabatan yang dapat diduduki TKA sangat melukai tenaga kerja lokal. Persoalan mengenai TKA bagaikan bara dalam sekam, terlebih dalam Undang-Undang Cipta Kerja esensinya sangat mengistimewakan kepentingan TKA. Di dalam Bab IV mengenai ketenagakerjaan Pasal 89 UU Cipta Kerja menjelaskan mengenai perubahan terhadap Pasal 42 ayat 1, 3, 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
TKA cuma dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia dan turunannya. Seperti Direktur Personalia (Personnel Director); Manajer Hubungan Industrial (Industrial Relation Manager); Manajer Personalia (Human Resource Manager); Supervisor Pengembangan Personalia (Personnel Development Supervisor).
Selain jabatan kelas ringan di atas, TKA diberi kebebasan untuk menduduki bermacam jabatan kelas berat alias jabatan yang strategis bagi perusahaan atau lembaga. Terdapat banyak sekali kategori sektor jabatan yang dapat diduduki oleh TKA, yang diatur di dalam Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 228 Tahun 2019.
Kepmenaker juga menyebutkan bahwa Jabatan Komisaris atau Direktur yang tidak mengurus mengenai personalia diizinkan untuk diduduki oleh TKA. Selain itu, untuk sektor perusahaan dalam bidang pertambangan dan penggalian, sesuai dengan Kepmenaker 228/2019 dituliskan bahwa jabatan Direktur Utama dapat diduduki oleh TKA.
Hal ini patut menjadi perhatian seksama mengingat umumnya, dalam proses hubungan industrial, ada kalanya dilakukan perundingan dalam penyelesaian perselisihan. Termasuk di dalamnya proses perundingan dalam pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Hal ini terkait erat dengan penentuan upah, jam kerja dan ketentuan ketenagakerjaan lainnya. Betapa krusialnya proses perundingan perselisihan antara pekerja atau serikat pekerja/buruh yang notabene warga negara Indonesia (WNI) dengan TKA.
Untuk kategori Konstruksi misalnya, dalam Kepmenaker itu ditentukan terdapat 181 jabatan yang bisa diisi oleh Tenaga Kerja Asing, mulai dari Manajer, Ahli Geofisika, Ahli Geokimia, Ahli Teknik hingga Arsitek, Tenaga Survei dan Topografer. Dalam ketentuan sebelumnya pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kepmenakertrans) Nomor 247/MEN/X/2011, hanya terdapat 66 pos jabatan pekerja asing di bidang konstruksi.
Demikian juga dalam kategori Pendidikan, kini terdapat 143 jabatan yang dapat diduduki oleh Tenaga Kerja Asing, mulai dari Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, Pustakawan, Manajer Penerimaan Siswa, Dosen, Guru, hingga Instruktur Keterampilan. Pada ketentuan sebelumnya sebagaimana tertuang dalam Kepmenakertrans 462 Tahun 2012 hanya terdapat 115 pos pekerjaan.
Sementara untuk jabatan pada industri kimia dan barang dari bahan kimia, dalam Kepmenaker ini terdapat 33 jabatan yang dapat diduduki oleh Tenaga Kerja Asing. Sebelumnya sesuai Kepmenakertrans Nomor 463 Tahun 2012 hanya terdapat 14 jabatan.
Disebutkan juga pada saat Kepmenaker Nomor 228 Tahun 2019 ini berlaku, maka: a. Kepmenakertrans Nomor: 247/2011; b. Kepmenakertrans Nomor 462/2012; c. Kepmenakertrans Nomor 463/2012; d. Kepmenakertrans Nomor 707/2012; dan sejumlah keputusan menteri yang mengatur jabatan-jabatan tertentu yang bisa diduduki oleh Tenaga Kerja Asing dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Regulasi terkait TKA sangat merugikan kaum pekerja anak negeri saat ini dan generasi mendatang. Beberapa pasalnya berpotensi merugikan pekerja Indonesia, antara lain:
(1) Ketentuan tentang RPTKA dan izin amat sangat longgar. RPTKA harus dinilai oleh lembaga profesi, kampus dan lembaga audit teknologi.
(2) Ketentuan tentang TKI Pendamping TKA juga sangat longgar dan kabur kriterianya. Tidak ada target atau ukuran alih teknologi.
(3) Ketentuan pendidikan TKA dan TKI pendamping tidak jelas ukurannya. Pengawasan lemah dan sanksinya ringan.
(4) Pelonggaran pada jabatan tertentu tanpa RPTKA bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan.
(5) Pasal yang membolehkan TKA menduduki jabatan sama di beberapa perusahaan menutup ruang kerja profesional lokal.
(6) Penyamaan RPTKA dengan izin menggunakan TKA bertentangan dengan Perpres sebelumnya.
(7) Ketentuan Vitas dan Itas membuka ruang TKA bekerja tanpa pemberi kerja.
Peraturan buldoser asing menimbulkan paradoks. Pemerintah pusat dan daerah masih gagal mengembangkan portofolio profesi yang berdaya saing global. Oleh sebab itu TKA akan terus datang berbondong-bondong ke Indonesia.
Kepalsuan Alih Teknologi
Publik menunggu penjabaran lebih lanjut terkait dengan masalah tenaga kerja asing dan cara mengatasi kepalsuan alih teknologi terkait dengan proyek-proyek strategis nasional, pembangunan infrastruktur serta dan pembelian peralatan dari luar negeri. Publik melihat semua itu dilakukan oleh pemerintahan Jokowi dengan kondisi minim alih teknologi dan kecilnya komponen lokal atau TKDN.
Fenomena penggunaan TKA yang memegang kendali penuh terhadap proyek dan tenaga kerja lokal yang hanya berperan sebagai kuli atau tenaga kerja kasar telah menjadi persoalan mendasar, terutama terkait dengan pembangunan sumber daya manusia (SDM), yang tidak pernah fokus. Hal tersebut telah mencederai amanah konstitusi dan bapak pendiri bangsa yang menekankan Indonesia hendaknya jangan menjadi bangsa kuli.
Masih membekas dalam ingatan publik terkait dengan peristiwa kerusuhan akibat bentrok antara pekerja lokal dan tenaga kerja asing (TKA) di PT. GNI Morowali Utara, Sulteng. Bisa jadi masalah TKA seperti di Morowali ini merupakan puncak gunung es.
Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) menyerukan perlunya solusi yang mendasar. Jangan sampai kawasan industri atau kawasan ekonomi khusus (KEK) yang terjadi di berbagai wilayah tanah air termasuk di Morowali Utara sudah seperti “negara dalam negara”.
Sudah lama publik menuntut agar pemerintah mengatasi masalah TKA. Apalagi banyak TKA yang diklaim sebagai tenaga ahli, namun mereka itu sebenarnya tergolong tenaga kerja biasa atau tenaga kerja kasar yang mengandalkan otot.
Keberadaan TKA baik di kawasan industri maupun di proyek infrastruktur telah digembar-gemborkan mampu melakukan alih teknologi. Padahal kebanyakan TKA pada saat ini justru tidak memiliki keahlian yang tinggi. Mereka adalah pekerja biasa yang dibungkus dengan predikat ahli tanpa melalui penilaian khusus. Dengan demikian terjadi kepalsuan dalam hal alih teknologi.
Ukuran terjadinya alih teknologi itu jika para tenaga kerja lokal yang berperan sebagai pendamping TKA benar-benar bisa menyerap keahlian baru yang belum ada atau jarang di Tanah Air. Begitupun tingkat teknologi yang dibawa oleh TKA juga tergolong teknologi canggih. Bukan teknologi lama yang sebenarnya sudah ada di negeri ini.
Selama ini TKI pendamping dibuat asal-asalan akibatnya parameter terjadinya alih teknologi tidak terjadi. Dengan demikian fungsi TKA itu sebenarnya bisa digantikan oleh tenaga kerja lokal. Namun perjanjian kontrak investasi dan perjanjian utang untuk proyek infrastruktur dan utang pihak swasta telah dibuat sedemikian rupa yang mengutamakan peran TKA dan meminggirkan TKI.
Usaha pemerintah untuk memacu pembangunan infrastruktur kurang disertai dengan proses transformasi, audit teknologi dan perluasan lapangan kerja atau penciptaan job creation. Pemerintah terlihat memberikan cek kosong bagi pengusaha atau investor untuk memilih dan menentukan sendiri spesifikasi teknologi yang akan diterapkan di negeri ini. Pengadaan infrastruktur dengan skema pembiayaan apapun harus mengedepankan local content dan melibatkan seluas mungkin tenaga kerja lokal.