Putusan MK Halangi Pola Borong Partai Masuk Koalisi, Merugikan Parpol Penguasa?

Putusan MK Halangi Pola Borong Partai Masuk Koalisi, Merugikan Parpol Penguasa?


Pengamat politik Citra Institute, Efriza menilai, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal jeda penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) dan daerah (pilkada) bakal membatasi pola borong partai masuk koalisi. Seperti yang terjadi saat penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024.

“Dan (putusan MK), membuat hubungan kepala daerah dengan DPRD bisa dalam semangat membangun daerah yang sama,” kata Efriza kepada Inilah.com, Jakarta, Sabtu (28/6/2025).

Bagi parpol, menurut Efriza, putusan MK itu bisa memunculkan sejumlah masalah baru. Pertama, kemungkinan caleg DPR akan risau karena selama ini mereka terpilih karena kerja sama dengan caleg DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Kedua, kata Efriza, bisa saja akan terjadi kekisruhan saat menyusunan calon legislatif (caleg) di level DPRD. Sebab, caleg yang gagal maju di DPR akan mencoba peruntungannya pada 2,5 tahun kemudian, di pemilu DPRD.

“Ketiga, partai politik juga akan penuh dinamika konflik karena pengurus inti pusat bisa saja merecoki urusan-urusan di daerah karena merasa punya pengaruh lebih kuat untuk ke DPP,” ujarnya.

Keempat, ia menyebut, partai politik yang sudah bergabung di pemerintahan akan memilih menafikan soal kesolidan di pemerintahan. Selain itu, putusan MK tersebut berpotensi merugikan parpol penguasa.

“Karena bukan saja soliditas partai yang akan diuji tetapi juga koordinasi antara pusat dan daerah yang rapuh berbeda dengan esensi pemilu serentak seperti sekarang ini,” ucapnya.

Di sisi lain, dia menilai putusan MK sangat menggembirakan bagi masyarakat dan akademisi. Musababnya, usulan pemisahan pemilu dengan durasi 2,5 tahun, sudah lama diharapkan. Demi menguatkan implementasi otonomi daerah.

“Dan juga akan membuat partai-partai yang sedang berkoalisi di pemerintahan akan bekerja dengan baik jika tidak ingin calon kepala-kepala daerahnya gagal terpilih karena masyarakat merasa mereka di pemerintahan tidak bekerja dengan baik. Bagi masyarakat, jelas mengurangi kejenuhan di pemilu dengan lima kotak suara,” ujarnya.

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan.

Pemilu nasional antara lain pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sementara pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.

“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (26/6/2026).

Dalam hal ini, MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang diwakili oleh Ketua Pengurus Yayasan Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati dan Bendahara Pengurus Yayasan Perludem Irmalidarti.

Secara lebih perinci, MK menyatakan Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang ke depan tidak dimaknai menjadi:

“Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan presiden/wakil presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional.”

 

Komentar