Ketua Program Studi Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Gugun El Guyanie. (Foto: JendelaHukum)
Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp Inilah.com
Pakar Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Gugun El Guyanie meminta elemen masyarakat tidak membaca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) secara politis. Ia menyebut putusan ini sebetulnya untuk membenahi kepemiluan Indonesia secara demokratis.
“Putusan lembaga pengawal konstitusi ini jangan dibaca secara politis, tapi harus dibaca secara obyektif dan rasional. Putusan MK ini bagian dari ikhtiar demokrasi untuk membenahi teknis pemilu yang berpengaruh terhadap kualitas demokrasi” kata Gugun kepada Inilah.com, Jumat (11/7/2025).
Dirinya menilai pendapat yang menyebut putusan MK 135/2024 ini melabrak konstitusi tidaklah benar. Karena, Gugun menegaskan putusan MK terbaru ini sama sekali tidak merubah pasal pemilu dalam UUD NRI tahun 1945.
“Pemilu tetap memilih DPR, DPRD dan presiden. Tetap lima tahun. Pemilu lokal besok 2031 kan hanya transisi, setelah itu tetap reguler 5 tahun,” ujarnya.
Sebelumnya, Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terbaru, yakni soal pemisahan pemilu nasional dan lokal jadi turbulensi konstitusi. Semua pihak, utamanya Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku penyelenggara pemilu diminta tahan diri.
“Kenapa turbulensi konstitusi? Karena dengan keputusan Mahkamah Konstitusi yang pertimbangan hukum dan amar putusannya berpotensi mengangkangi sejumlah prinsip dan norma dalam konstitusi itu sendiri,” ujar Rifqi dalam keterangannya, dikutip di Jakarta, Jumat (11/7/2025).
Dia mengingatkan, KPU agar tidak berkomentar terkait hal ini, harus sadar posisi sebagai pelaksana apa yang sudah diputuskan DPR bersama Pemerintah. Sehingga, perlu kehati-hatian agar tidak terjadi kekacauan dalam penafsiran norma konstitusi.
“Agar kita tidak confused karena ini pada level tataran prinsip konstitusi norma konstitusinya. Belum kita pada pelaksanaan dari sebuah norma. Ini problem yang pertama,” pungkasnya.
Kemudian dijelaskan, beberapa hal yang melatarbelakangi adanya turbulensi konstitusi. Pertama, terkait Pasal 22 E ayat 1 yang menyebutkan pemilu dilaksanakan setiap lima tahun. Kemudian Pasal 22 E Ayat 2, soal pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih presiden, wakil presiden anggota DPR RI, anggota DPD RI dan anggota DPRD.
Lalu, amar putusan bernomor 135/puu-xxii/2024 secara gamblang telah menghadirkan dua model pemilu nasional dan lokal, dengan jeda 2 sampai 2,5 tahun. Artinya pelaksanaan pemilu bukan lagi lima tahun sekali, sebagaimana amanat konstitusi.