Pasca keputusan rapat dewan gubernur Bank Indonesia (BI) yang menahan suku bunga acuan (BI rate) anteng di level 5,75 persen, ada kekhawatiran nilai tukar (kurs) rupiah semakin ambruk. Tambah dekat dengan Rp17.000/dolar AS (US$).
Pada perdagangan Kamis (24/4/2025), berdasarkan data Bloomberg, kurs mata uang Garuda dibuka melemah ke posisi Rp16.881/US$. Atau turun 0,06 persen yang setara 10 poin. Di mana, indeks dolar AS (USDX) disingkat Dixie, melemah 0,28 persen ke posisi 99,563. Dixie ini digunakan untuk mengukur nilai dolar AS terhadap keranjang enam mata uang: Euro, Yen Jepang, Pound Inggris, Dolar Kanada, Krona Swedia, Franc Swiss.
Untuk mata uang kawasan Asia, bergerak variatif terhadap dolar AS. Misalnya, yen Jepang menguat 0,49 persen, dolar Hong Kong menguat 0,02 persen, peso Filipina menguat 0,12 persen, dolar Singapura menguat 0,12 persen, dan baht Thailand menguat 0,19 persen.
Lalu mata uang lainnya, won Korea melemah 0,18 persen, rupee India melemah 0,27 persen, yuan China melemah 0,14 persen, ringgit Malaysia melemah 0,07 persen, dan dolar Taiwan melemah 0,07 persen.
Pengamat pasar uang, Ibrahim Assuaibi memprediksikan, kurs rupiah akan bergerak fluktuatif, namun ditutup melemah di rentang Rp16.860-Rp16.940.
Sebelumnya, Ibrahim telah memprediksikan rupiah melemah 12 poin di penutupan perdagangan Rabu (23/4/2025), ke level Rp16.871/US$. Sehari sebelumnya melemah 25 poin ke level Rp16.859/US$.
Ibrahim mengatakan, RDG BI periode April 2025, memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di level 5,75 persen. Untuk suku bunga deposit facility tetap 5 persen, suku bunga lending facility tetap 6,5 persen.
Keputusan BI menahan BI rate, menurut Ibrahim, diputus para petinggi BI mengacu kepada semakin tingginya ketidakpastian ekonomi global akibat perang dagang AS dengan China.
Di mana, eskalasi tit for tat, atau strategi saling membalas antara AS dan China semakin masif. Hal ini semakin memperburuk ketidakpastian global.
Selain itu, kekhawatiran terkait tingkat inflasi dalam negeri, walaupun data terkini masih di bawah target BI. Di mana, tekanan deflasi dalam beberapa bulan terakhir, cenderung temporer setelah berakhirnya program diskon tarif listrik, cukup mengkhawatirkan,” imbuhnya.