Rapor Merah Sistem Multi Syarikah Haji Kemenag

Rapor Merah Sistem Multi Syarikah Haji Kemenag


Pemerintah menjanjikan modernisasi layanan haji melalui sistem baru yang melibatkan banyak perusahaan. Tapi di lapangan, janji itu runtuh bersama koper-koper yang hilang, bus yang tak datang, dan jemaah yang terpisah dari rombongannya.

Ketika Menteri Agama Nasaruddin Umar mengumumkan peralihan sistem layanan haji dari Muassasah tunggal ke multi-syarikah, pemerintah berharap besar. Jemaah haji Indonesia diyakini bakal menikmati layanan yang lebih nyaman, profesional, dan transparan. Nyatanya, harapan indah ini berubah menjadi mimpi buruk bagi puluhan ribu jemaah haji Indonesia pada musim haji 2025.

Sistem baru ini ternyata menyimpan bom waktu yang meledak tepat saat pelaksanaan ibadah di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna). Tak sedikit jemaah yang harus menghadapi keterlambatan bus, makanan basi, koper yang hilang hingga berhari-hari, bahkan terpisah dari pasangan dan rombongan mereka.

Evaluasi Total

Wakil Kepala Badan Penyelenggara (BP) Haji, Dahnil Anzar Simanjuntak, tak membantah situasi tersebut. Kepada tim investigasi, Dahnil mengatakan bahwa evaluasi total atas sistem multi-syarikah mutlak harus dilakukan. 

Bahkan, Pemerintah Arab Saudi sendiri secara terbuka menyampaikan rapor merah atas penyelenggaraan haji Indonesia tahun ini.

“Tahun depan pendekatan multi-syarikah ini akan kami evaluasi total. Mungkin kami hanya akan menggunakan dua syarikah dengan persiapan lebih awal bersama Kementerian Haji dan Umrah Saudi Arabia,” tegas Dahnil kepada Inilah.com

Ia mengakui kesalahan sistem terjadi sejak proses awal, khususnya di tingkat Kanwil Kemenag di daerah, yang membuat perubahan penempatan secara mendadak dan acak.

antarafoto-pemulangan-jamaah-haji-indonesia-ke-tanah-air-1749563059.jpg

Menurut Dahnil, persoalan terletak di “hulu” penyelenggaraan, yakni pada proses pengajuan dan pengelompokan jemaah di tingkat daerah. Banyak perubahan dilakukan tanpa mengacu pada sistem pusat yang telah ditetapkan. Akibatnya, distribusi visa dan penempatan jemaah menjadi tidak terkontrol dan menyulitkan ketika sudah berada di Arab Saudi.

Sistem Acak, Jemaah Terpecah

Anggota Tim Pengawas (Timwas) Haji DPR, Selly Andriyana Grantina, lebih keras menilai kondisi ini. Menurutnya, akar permasalahan adalah keputusan Kementerian Agama yang terburu-buru dalam menerapkan sistem multi-syarikah tanpa mitigasi memadai. Bahkan, penerbitan visa jemaah secara acak menyebabkan pasangan suami-istri dan rombongan kloter tercerai berai sejak tiba di Tanah Suci.

“Dalam satu kloter terdiri dari beberapa syarikah berbeda. Dampaknya luar biasa. Transportasi berantakan, koper jemaah hilang, konsumsi tidak layak, hingga akhirnya jemaah yang harus menjadi korban dari kebijakan yang setengah matang ini,” ujar Selly.

Ia menjelaskan, DPR sudah belajar dari pengalaman buruk monopoli satu syarikah pada tahun 2023 dan 2024 yang menyebabkan banyak masalah seperti keterlambatan transportasi, kekurangan konsumsi, bahkan keracunan massal. Namun, ia menyayangkan peralihan ke multi-syarikah justru melahirkan masalah baru karena jumlah syarikah terlalu banyak dan beberapa di antaranya belum berpengalaman sama sekali.

“Kami setuju tidak ada monopoli, tapi jangan terlalu banyak syarikah. Ke depan mungkin cukup satu kawasan atau embarkasi satu syarikah agar mudah dikontrol,” imbuhnya.

Jemaah Jadi Korban Kekacauan Logistik

Akibat dari kesalahan perencanaan ini, dampak yang dirasakan jemaah bukan sekadar ketidaknyamanan kecil. Sebagian jemaah bahkan terpaksa berjalan kaki sejauh dua kilometer dari Muzdalifah ke Mina di bawah suhu ekstrem karena bus yang dijanjikan tidak kunjung datang. Selain itu, banyak jemaah yang harus menahan lapar karena makanan basi atau terlambat disalurkan.

Jemaah haji dari berbagai negara termasuk Indonesia berjalan kaki di samping deretan bus yang tidak bisa bergerak karena terjebak kemacetan di Muzdalifah, Mekkah, Arab Saudi, Jumat (6/6/2025). (Foto: Antara/Andika Wahyu)

Kesaksian dari jemaah menyebutkan bahwa beberapa dari mereka tidak mendapat akses ke kamar mandi yang layak di Arafah dan Mina, bahkan harus berbagi dengan lebih dari 30 orang dalam satu fasilitas. Di tenda, overkapasitas menjadi masalah baru. Satu tenda semestinya berkapasitas 200 orang harus menampung hingga 300 orang. Beberapa lansia dilaporkan tidak mendapatkan tempat tidur dan hanya beralaskan karpet tipis.

Kondisi ini juga berdampak pada logistik koper jemaah. Karena dalam satu kloter terdapat jemaah dari berbagai syarikah, maka sistem penjemputan dan pengangkutan bagasi menjadi tidak sinkron. Banyak jemaah baru menerima kopernya setelah lebih dari seminggu di Mekkah atau Madinah. Beberapa di antaranya bahkan tidak membawa pakaian ganti selama berhari-hari.

Desakan Pertanggungjawaban Kementerian Agama

DPR RI pun kini mendesak pemerintah untuk mempertanggungjawabkan secara penuh kekacauan ini. DPR akan meminta evaluasi menyeluruh sesuai amanat UU No. 8 Tahun 2019 Pasal 51 ayat (1), yang mewajibkan Menteri Agama melaporkan pertanggungjawaban penyelenggaraan haji kepada DPR dan Presiden paling lambat 60 hari setelah ibadah selesai.

PDIP Selly Andriany Gantina.jpg

“Kami mendorong audit terbuka, evaluasi total, bahkan kemungkinan pembentukan Pansus untuk menyelidiki lebih dalam lagi kegagalan ini,” tegas Selly.

Selain itu, DPR juga meminta agar Pemerintah Indonesia melakukan pendekatan serius kepada otoritas Arab Saudi agar syarikah yang terlibat dalam kekacauan ini ikut dimintai pertanggungjawaban. Pemerintah Saudi pun dinilai perlu mengevaluasi distribusi Masyair agar lebih transparan dan adil untuk negara-negara pengirim jemaah.

Ke Mana Arah Haji 2026?

Dengan semua evaluasi yang kini bermunculan, masa depan sistem layanan haji Indonesia kembali berada di persimpangan. BP Haji sudah menyiapkan rencana baru untuk tahun 2026, yaitu membatasi jumlah syarikah hanya dua saja, dengan persiapan sejak awal dan kerja sama yang lebih terkoordinasi dengan Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi.

Namun publik juga menginginkan keterlibatan aktif civil society, organisasi keagamaan, hingga media dalam proses evaluasi ini. Pengawasan publik dan transparansi data menjadi krusial untuk menghindari kegagalan serupa di masa depan.

Kekacauan sistem multi-syarikah haji 2025 seolah menjadi cermin pahit bahwa modernisasi layanan tanpa persiapan matang hanya akan mengorbankan jemaah. Kini, publik menanti pertanggungjawaban Kementerian Agama agar kejadian serupa tidak terulang pada musim haji berikutnya. Para jemaah yang telah menabung dan berharap ibadahnya menjadi momen sakral, justru menjadi korban dari eksperimen sistem yang prematur.[inu/Harris/Clara]

Komentar