Refleksi Pendidikan Kini

Refleksi Pendidikan Kini


2 Mei dirayakan sebagai Hari Pendidikan Nasional. Dalam tulisan ini saya coba merefleksikan kondisi pendidikan di Indonesia saat ini. Perhatian kepada pendidikan menjadi hal yang terus dipaparkan oleh pemerintah di setiap era. Di era pemerintahan saat ini, fokus untuk memperbaiki pendidikan tercermin pada berbagai kebijakan. Namun, apakah itu cukup? Ada beberapa poin yang perlu menjadi perhatian dari pembuat kebijakan di Indonesia.

Pertama, dalam beberapa bulan ini diskursus pendidikan begitu menarik untuk diikuti. Sebab dalam beberapa kebijakan pendidikan yang dirilis oleh pemerintah, selalu memantik perdebatan di kalangan masyarakat. Perdebatan tersebut adalah dinamika di dalam negara demokrasi dan hal yang sangat wajar. 

Namun, dalam konteks efektivitas suatu kebijakan, yang saya perhatikan, pemerintah perlu mengedepankan komunikasi yang memadai agar masyarakat memahami apa yang menjadi visi pemerintah dalam kebijakan yang dirilis. Yang utama adalah membuat masyarakat memahami apa urgensi dan relevansi dari kebijakan yang dibuat. Selain itu, jangan sampai terjadi resistensi terhadap setiap kebijakan yang dilahirkan oleh pemerintah. Mengapa hal ini penting? Sebab dalam jarak lima tahun yang sangat singkat harus ada akselerasi pendidikan yang terjadi. Artinya, baik secara kuantitatif maupun kualitatif harus ada perbaikan kondisi pendidikan. Dan perbaikan tersebut tidak hanya nampak pada angka-angka statistik, tetapi juga dirasakan oleh masyarakat, terutama kelompok marjinal yang selalu tertinggal.

Kedua, hal ini sudah beberapa kali saya tuliskan dan juga telah diungkapkan oleh para akademisi maupun praktisi pendidikan. Negeri ini perlu taat pada rencana jangka panjang yang sudah disusun, meskipun itu dibuat oleh pembuat kebijakan sebelumnya. Misalnya, di tahun 2024 sudah ada Peta Jalan Pendidikan 2025–2045 (PJP 2025–2045) yang dirilis oleh Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, serta Kementerian Agama. Pertanyaan yang patut diajukan adalah: apakah pembuat kebijakan kini membuat ragam program dengan merujuk pada peta jalan tersebut?

Sebab sudah seharusnya PJP 2025–2045 dijadikan acuan utama dalam rumusan kebijakan pendidikan, dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional serta Rencana Strategis Kementerian/Lembaga harus berpedoman pada PJP tersebut (Ringkasan Eksekutif Peta Jalan Pendidikan Indonesia Tahun 2025–2045). Berdasarkan poin tersebut, alangkah elok jika setiap kebijakan didasarkan pada peta kebijakan yang telah disusun, meski tentu saja diperlukan beragam penyesuaian berdasarkan dialog dengan berbagai unsur pendidikan di masyarakat sipil. Perubahan adalah keniscayaan, sebab zaman bergerak cepat. Titik tumpunya adalah perencanaan yang matang dengan diskusi dialogis dengan ragam pihak, sehingga masyarakat tidak terombang-ambing oleh ragam perubahan mendadak dan mengejutkan. Perubahan macam itu tentu akan membuat keresahan, terutama untuk para siswa, guru, dan orang tua.

Ketiga, dalam setiap keputusan pemerintah yang perlu diperhatikan adalah kebutuhan anak-anak bangsa yang beragam dari segi sosial, budaya, agama, ekonomi; kondisi pendidikan yang tidak seragam di berbagai wilayah; kualifikasi dan kesejahteraan guru; serta efektivitas penerapan kebijakan dalam rentang waktu yang pendek. Jika mendasarkan pada poin kedua, peta jalan pendidikan akan memudahkan target dan capaian yang harus diraih pemerintah dalam waktu yang sangat singkat (lima tahun). Kondisi tersebut akan membuat pembuat kebijakan fokus pada perbaikan-perbaikan yang perlu dilakukan dan tidak terjebak untuk berambisi menyulap kondisi pendidikan secara instan.

Keempat, pemerintah harus lebih telaten dalam memperhatikan realitas pendidikan di Indonesia. Artinya, persoalan-persoalan konkret yang ada di dalam masyarakat harus ditangkap, ditelaah, dan dicarikan solusinya. Respons dari para peserta didik, guru, dan orang tua perlu menjadi hal utama yang diperhatikan sebab secara aktual tiga pihak ini yang mengalami realitas pendidikan yang kompleks. Dalam konteks kebijakan, pemerintah harus melakukan evaluasi secara cermat terkait dengan perencanaan dan implementasi pendidikan di berbagai tempat di Indonesia. Selain tentu saja, pemerintah harus mendengar dengan hati, bukan saja mencatat persoalan-persoalan pendidikan tersebut. Mekanisme nonprosedural, misalnya, harus ditempuh untuk mendapatkan data presisi soal kenyataan lapangan pendidikan saat ini. Pendekatan formal sering kali tidak mampu mengungkap potret pendidikan yang lebih presisi dan justru hanya menunjukkan wajah pendidikan yang di-make-up. Sehingga kilauan palsu pendidikan tersebut tidak mampu menunjukkan kenyataan sesungguhnya, dan tentu saja berakibat pada salah intervensi kebijakan.

Kelima, dalam tulisan lain saya mengungkap soal manusia Indonesia seperti apa yang perlu dibentuk melalui pendidikan. Anak-anak Indonesia kini menghadapi tantangan dan dinamika yang dahsyat. Kualifikasi seperti apa yang dibutuhkan anak-anak Indonesia untuk menavigasi kehidupan di masa depan? Untuk keluarga yang memiliki kapital yang kurang memadai, apa yang harus mereka lakukan untuk tetap berjuang di tengah keterbatasan sumber daya? Ketika mereka harus meniti jalan pendidikan yang gelap, kira-kira cahaya apa yang dapat diberikan pemerintah? Apakah Sekolah Rakyat dan Makan Bergizi Gratis adalah jawabannya? Tentu pemerintah yang perlu menjawab dan membuktikan bahwa komitmen kebijakan tersebut didayaupayakan untuk menerangi jalan anak-anak tersebut.

Keenam, dalam berbagai literatur ditunjukkan bahwa generasi kini perlu memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang memadai untuk bertahan hidup di masa yang tak pasti ini. Secara personal, misalnya Daniel Goleman dalam Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ mengajukan pentingnya keterampilan sosial dan emosional agar mereka dapat mengendalikan emosi, memiliki kepedulian, menangani kebutuhan berelasi dengan ragam pihak, empati, mengatur perasaan, mengurangi stres, mampu berdialog dengan diri sendiri, dan menghindari kecemasan berlebihan. Yang menjadi persoalan, ragam kemampuan tersebut hanya dapat dibangun dalam ruang pendidikan yang suportif bagi anak-anak. Artinya, proses aktual pembangunan diri yang memiliki kapasitas tersebut tidak bisa hanya mengandalkan upaya personal, tetapi ada konteks struktural di mana pemerintah mampu mendesain pendidikan yang presisi bagi anak-anak.

Ketujuh, mari coba bayangkan masa depan bangsa seperti apa yang diinginkan? Tentu saja Indonesia yang demokratis, beradab, berdaulat, dan sejahtera. Lalu, mari kita berkaca apakah hal tersebut sudah diupayakan di dalam konstruksi pendidikan? Apakah pendidikan sudah dijadikan prioritas agar kita pantas meraih tujuan itu di masa depan? Jujur saja, melihat realitas pendidikan kita, nampak membuat kecemasan meningkat. Pendidikan dipercayai menjadi kekuatan bangsa ini untuk melesat, tetapi jalan yang ditempuh oleh anak-anak bangsa untuk mendapatkannya harus melalui beribu jalan yang berliku.

Poin-poin itu menunjukkan bahwa pendidikan belum jadi rumah yang nyaman dan layak buat semua anak-anak bangsa. Sebab mereka sering tidak menemukan pendidikan sebagai tempat yang aman dan nyaman untuk berteduh dan kembali. Pasal 5 ayat 1 dan 2 UU Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 yang menyatakan setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan bermutu serta kesempatan untuk meningkatkan pendidikan sepanjang hayat, masih menghadapi tantangan untuk direalisasikan di ranah faktual. Badai kencang sering menghadang anak-anak, terutama dari keluarga miskin, untuk melalui jalan pendidikan. 

Bayangkan anak-anak tersebut sudah mencoba bertahan di tengah terpaan badai tersebut. Meski memiliki keterbatasan, harus bekerja sejak dini untuk membantu ekonomi keluarga, tinggal di tempat dan lingkungan yang tak layak, atau menghadapi ketidakadilan setiap hari. Mereka bertahan serta berjuang. Mereka bertarung dalam pertandingan kehidupan yang sering juga tak mereka menangkan. Mereka hanya punya kepercayaan diri untuk meraih hidup yang lebih baik di masa depan. Harapan yang sering dipatahkan oleh pemerintah yang kurang mendengar dan memperhatikan mereka.

Dalam catatan Wirutomo (2022), ketidakadilan sosial berakar sangat sistemik. Maka, untuk memperbaiki pendidikan diperlukan kesetaraan kesempatan (equality of opportunity), kesetaraan akses (equality of access), kesetaraan proses (equality of process), kesetaraan hasil kerja (equality of output), dan kesetaraan hasil akhir (equality of outcome). Kompleksitas permasalahan tersebut jika dibiarkan akan menciptakan ketidakadilan sosial yang nyata dan penanganannya hanya bisa melalui kebijakan sistemik, komprehensif, dan tidak parsial (Wirutomo, 2022).

Repotnya, pendidikan kini juga sudah masuk dalam perangkap logika ekonomi neoliberalisme yang menjadikan komersialisasi sebagai agenda utama (Herry-Priyono, 2022). Rongrongan neoliberalisme itu semakin membuat keadilan sosial, yang menjadi fundamen kita, tergerogoti. Tentu saja yang menjadi korban utama adalah anak-anak dari keluarga yang marjinal. Para orang tua tentu mafhum betapa mahalnya biaya pendidikan anak saat ini. Untuk memiliki kualifikasi memadai di berbagai bidang, yang menjadi syarat kemajuan zaman, ongkos yang dikeluarkan semakin tak masuk akal. Tak mengherankan jika orang tua bekerja lebih ekstra untuk membiayai pendidikan anak-anak mereka.

Di momen 2 Mei ini, tak ada salahnya semua pihak berefleksi tentang kondisi pendidikan di Indonesia. Proses tak pernah menghianati hasil. Peradaban bangsa sangat bergantung pada kondisi manusia-manusianya. Maka, jika tak mau generasi ini keropos, perbaikan pendidikan tak bisa diundur lagi. Jika tak ingin berteman pahit di masa depan, pemerintah dan semua elemen yang peduli pada pendidikan harus mau berpeluh lelah mendidik anak-anak bangsa. Sebab, menemani anak-anak bangsa dalam setiap suka, duka, kisah adalah tugas utama negara.

Komentar