Negara ini punya cara sendiri menghadapi luka: dengan diam yang panjang, atau dengan maaf yang mendadak. Kita seringkali terlalu cepat memberi ampunan, bahkan sebelum kebenaran sempat bicara. Dalam sejarah republik ini, amnesti dan abolisi menjadi semacam jembatan darurat, dibangun di atas reruntuhan hukum yang belum kokoh.
Kini, di tengah riuh politik pasca pemilu, amnesti dan abolisi kembali hadir. Dua kata yang seolah menyelamatkan, tetapi juga menyisakan pertanyaan. Kita memaafkan nama-nama yang masih terikat vonis, atau yang belum menuntaskan proses hukum. Kita melepaskan beban, tapi apakah kita menegakkan kebenaran?
Kekuasaan dan Hak Prerogatif yang Rentan Disalahgunakan
Pasal 14 ayat 2 UUD 1945 memberi presiden kekuasaan untuk memberi amnesti dan abolisi dengan pertimbangan DPR. Tetapi, apakah kekuasaan ini mutlak? Tidak. Ia adalah amanat yang lahir dari konsep checks and balances. DPR diminta menimbang, bukan sekadar mengiyakan.
Namun dalam praktiknya, pertimbangan DPR jarang menjadi forum substantif. Pertimbangan itu lebih mirip ritual politik: formalitas yang tidak menguji apakah pengampunan ini benar-benar adil.
Di sinilah kita melihat wajah kekuasaan: punya wewenang, tapi jarang menunduk pada akal sehat publik. Kekuasaan yang terlalu yakin bahwa memaafkan adalah hak prerogatif yang tak boleh diganggu.
Mengapa kita begitu cepat memberi maaf pada mereka yang punya nama besar? Mengapa republik ini tidak pernah memberi amnesti pada rakyat kecil yang duduk di penjara karena mencuri demi makan?
Pertanyaan ini tak sederhana. Di satu sisi, negara ingin menunjukkan jiwa besar. Tapi di sisi lain, jiwa besar itu tampak hanya hadir untuk elite. Kita melihat ada diskriminasi di balik kata “pengampunan.” Yang kecil dibiarkan menjalani hukuman, yang besar dibebaskan dengan mudah.
Luka Publik dan Krisis Kepercayaan pada Sistem Hukum
Keadilan bukan hanya soal siapa yang salah dan siapa yang dihukum. Keadilan adalah rasa, sesuatu yang tak bisa diukur dengan pasal semata. Ketika pengampunan diberikan kepada mereka yang belum mengaku salah, publik merasakan luka yang sulit dijelaskan.
Kita hidup dalam negara hukum, tapi hukum itu sendiri tampak bisa ditekuk. Publik merasa bahwa kebenaran hanya milik mereka yang punya akses ke kekuasaan. Rasa percaya kepada sistem hukum pun terkikis.
Di titik ini, amnesti dan abolisi bukan lagi tanda kemuliaan negara, tapi justru tanda bahwa hukum bisa dilewati dengan “jalan khusus.”
Setiap keputusan politik meninggalkan bayang. Pengampunan yang tidak transparan akan menjadi preseden. Besok, siapa pun yang punya kedekatan politik bisa berharap mendapat hal serupa. Bayang ini berbahaya, karena perlahan membentuk norma baru: bahwa hukum adalah negosiasi, bukan kepastian.
Jika bayang ini dibiarkan, rakyat akan berhenti percaya bahwa pengadilan adalah tempat terakhir mencari keadilan. Mereka akan menganggap pengadilan hanyalah ruang sementara sebelum keputusan politik turun.
Dan ketika rakyat kehilangan kepercayaan, negara kehilangan wibawanya.
Bahasa hukum penuh kata-kata: vonis, banding, kasasi, amnesti, abolisi. Tapi kata “maaf” tetaplah kata yang paling sulit. Ia hanya punya makna ketika datang dari hati, bukan dari kekuasaan.
Di republik ini, kata “maaf” sudah lama direduksi jadi kebijakan politik. Amnesti dan abolisi seolah menjadi bahasa kekuasaan, bukan bahasa keadilan. Kata itu kehilangan kesakralannya. Padahal, maaf yang sejati lahir setelah kebenaran ditegakkan, setelah ada pengakuan, setelah luka diakui.
Kita ingin hidup dalam negara hukum, bukan negara ampunan. Kita ingin keadilan yang berjalan di pengadilan, bukan yang diatur lewat surat keputusan. Kita ingin hukum yang melindungi semua, bukan hanya segelintir orang.
Republik ini tidak boleh terus hidup dengan ampunan tanpa kejujuran. Jika dibiarkan, keadilan akan menjadi komoditas politik, dan pengampunan menjadi cara kekuasaan mengatur narasi.
Sejarah akan mencatat bahwa negara ini pernah menjadi “republik ampunan” jika kita tidak belajar. Dan belajar berarti bertanya, mengkritisi, dan mengingatkan. Karena tanpa itu, kita hanya menjadi penonton dari permainan hukum yang dimainkan para penguasa.