Review Film Demon Slayer Infinity Castle: Sajian Epik 150 Menit dengan Visual Spektakuler

Review Film Demon Slayer Infinity Castle: Sajian Epik 150 Menit dengan Visual Spektakuler


Suasana Gandaria City XXI, Kamis (14/8/2025) malam, mendadak berubah menjadi arena pertempuran bagi para penggemar anime Demon Slayer: Infinity Castle digelar meriah oleh Sony Pictures Indonesia, sehari sebelum perilisan nasional. 

Suasana lobi bioskop dipenuhi cosplayer, komunitas anime, kreator konten, dan media, semuanya siap menyelami babak pembuka dari trilogi penutup saga ini.

Bagi penggemar setia, arc Infinity Castle adalah janji pertempuran klimaks yang sudah dibangun sejak musim-musim sebelumnya. Bagi penonton baru, ini adalah kesempatan menikmati mahakarya animasi Ufotable yang terkenal akan detail dan kualitas sinematiknya.

150 Menit yang Tidak Memberi Ruang Bernapas

Durasi 2,5 jam untuk film anime adalah langkah berani, namun Infinity Castle memanfaatkannya secara maksimal. 

Review Film Demon Slayer Infinity Castle: Sajian Epik dengan Visual Spektakuler

Sejak menit pertama, penonton dilempar langsung ke dalam kastil dimensi Muzan Kibutsuji—struktur arsitektur yang terus bergeser, penuh lorong rahasia, dan dihuni para iblis tingkat atas (Upper Moons).

Kamera berputar 360 derajat mengikuti setiap gerakan karakter, menciptakan sensasi imersif. Teknik Breathing setiap Demon Slayer divisualisasikan dengan warna-warna tajam dan efek partikel yang menari di layar, sementara dentingan shamisen, gebukan taiko, dan instrumen modern berpadu dalam skor musik yang menghentak.

Film anime Demon Slayer Infinity Castle siap tayang di IMAX Mulai 15 Agustus 2025. (Foto: Fw)

Ufotable, yang kembali bekerja sama dengan sutradara Haruo Sotozaki (Mugen Train), tidak berkompromi dalam koreografi aksi. Adegan duel Akaza melawan Tanjiro dan Giyu menjadi puncak intensitas—tabrakan pedang yang memercikkan cahaya, gerakan tubuh yang terekam dalam slow-motion presisi, dan setiap teriakan karakter yang menggema di speaker Dolby Atmos.

Akaza: Dari Musuh Terbenci Menjadi Figur Tragis

Meski Tanjiro adalah protagonis utama, film ini dengan cerdas menempatkan Akaza sebagai pusat emosi. Di Mugen Train, ia dibenci karena membunuh Rengoku. 

640 (2).jpg

Namun, di sini, penonton diajak masuk ke masa lalunya: kisah cinta yang singkat, kehilangan yang menghancurkan, hingga obsesi pada kekuatan sebagai tameng dari kelemahan.

Adegan kembang api bersama sosok yang dicintai menjadi salah satu momen paling tenang namun menghunjam, kontras dengan hiruk-pikuk duel yang mengitarinya. Konsep “iblis juga pernah menjadi manusia” yang menjadi DNA Demon Slayer terejawantahkan penuh dalam arc ini.

Visual Memukau, Tapi Pacing Perlu Polesan

Secara teknis, Infinity Castle adalah pameran kekuatan Ufotable. CGI yang sering kali menjadi titik lemah anime, di sini justru menyatu sempurna dengan hand-drawn animation. Transisi adegan berjalan mulus, bahkan ada momen di mana gaya gambar berubah menjadi ilustrasi klasik untuk memberi dampak artistik yang segar.

photostudio_1755218610931.jpg

Namun, film ini bukan tanpa cela. Flashback yang terlalu sering kerap memotong tensi pertempuran. Walaupun penting untuk pengembangan karakter, ritme menjadi stop-start, terutama di paruh kedua saat fokus beralih penuh ke duel Akaza. Beberapa penonton mungkin merasa klimaksnya sedikit terulur.

Meski begitu, penambahan porsi bagi karakter minor seperti Kiriya Ubuyashiki dan kedua adiknya memberi dimensi baru yang tidak kalah menarik dari versi manga.

Prestasi Box Office

Di Jepang, Infinity Castle telah meraup 17,6 miliar yen hanya dalam 17 hari, menempati posisi ke-10 film terlaris sepanjang masa di negara tersebut, dan menjadi film anime Jepang dengan pendapatan tertinggi ketujuh. Angka ini bahkan melampaui The First Slam Dunk (16,48 miliar yen, 2022).

a20bc9507c2e413a822854c202597b2ab494348f0f33966406700bd2f3ec466c.jpeg

Dengan performa seperti ini, tidak berlebihan jika ekspektasi terhadap dua babak berikutnya semakin membubung. 

Ufotable dan Sony Pictures tampaknya siap menjaga momentum dengan rencana rilis berkelanjutan, memastikan setiap bagian memiliki nilai tontonan maksimal.

Kesimpulan

Sebagai babak pembuka trilogi penutup, Infinity Castle mungkin belum memberikan resolusi final, namun ia sukses membangun panggung epik untuk apa yang akan datang. 

Review film Demon Slayer Infinity Castle. (Foto: Ufotable/Sony Pictures)

Visual memukau, musik yang menggetarkan, dan karakterisasi emosional membuatnya layak masuk daftar wajib tonton di bioskop.

Apakah ia melampaui Mugen Train? Dalam hal teknis dan skala aksi, jawabannya ya. Dalam kekuatan emosional, ia masih menyimpan kartu untuk film berikutnya.

Satu hal pasti: menonton ini di layar laptop atau ponsel akan mengkhianati karya yang sudah dirancang untuk layar lebar. Jika Anda ingin merasakan pedang api Tanjiro membelah udara dan getaran langkah Akaza di dada, pergilah ke bioskop. Infinity Castle menunggu, dan ia tidak pernah melepaskan mangsanya.

Komentar