Review Film Fantastic Four: First Steps – Saat Marvel tak Lagi Fantastis

Review Film Fantastic Four: First Steps – Saat Marvel tak Lagi Fantastis


Marvel Cinematic Universe (MCU) kini berada dalam situasi pelik. Film-filmnya yang dulu menjadi magnet luar biasa, perlahan mulai terasa repetitif dan kehilangan daya kejut. Di tengah kondisi ini, Fantastic Four: First Steps hadir dengan misi besar: menghidupkan kembali gairah penonton lewat tim superhero legendaris Marvel yang belum pernah tampil sukses di layar lebar. Namun, sayangnya film ini kembali terjerumus ke lubang yang sama: eksekusi cerita yang hambar dan formula yang terlalu aman.

Seperti tradisi MCU belakangan ini, Fantastic Four: First Steps hadir dengan kemasan visual yang sangat menawan. Sutradara film ini sukses menggambarkan Earth 828 sebagai dunia retro-futuristik yang cantik dan estetik. Nuansa tahun 1960-an yang dipadukan dengan elemen sains fiksi ala The Jetsons membuat dunia dalam film ini terasa hidup dan penuh gaya. Semua tampak menyenangkan dipandang mata, terutama di layar besar IMAX yang menyuguhkan detail menawan.

p0lrly5p.jpg.jpg

Namun, di balik keindahan visual itu, naskah karya tim penulis justru terasa hampa. Cerita dalam film ini terlalu cepat melompat dari satu peristiwa besar ke peristiwa besar lain tanpa memberi penonton ruang untuk memahami atau peduli pada karakter dan konflik yang sedang terjadi. Seperti Superman versi James Gunn yang juga rilis baru-baru ini, film ini mencoba memadatkan begitu banyak hal sekaligus, sehingga akhirnya terasa datar.

Ancaman Besar, Eksekusi Minimalis

Ancaman Galactus, salah satu villain paling ikonik Marvel, dihadirkan tanpa persiapan matang. Galactus yang seharusnya digambarkan sebagai entitas kosmik yang amat kuat dan mengancam, justru dibuat tak berdaya oleh plot yang terlalu sederhana dan minim konflik nyata. Ia datang, mengancam, lalu kalah dengan begitu mudahnya lewat strategi sederhana dari para pahlawan.

qH4UGGyGTyFnaaceFjyygx9rmrm-ezgif.com-webp-to-jpg-converter-1-e1753814849362.jpg

Adegan klimaks yang seharusnya menjadi tontonan epik, malah berakhir dengan cara yang nyaris absurd. Reed Richards (Pedro Pascal) dan timnya dengan gampang memperdaya Galactus lewat perangkat teleportasi yang terasa seperti plot twist malas. Alhasil, penonton kehilangan ketegangan, karena sudah bisa menebak hasil akhirnya sejak awal.

Karakter yang Kehilangan Karisma

Padahal, para pemain yang dipilih punya potensi besar. Pedro Pascal sebagai Reed Richards, Vanessa Kirby sebagai Sue Storm, Joseph Quinn sebagai Johnny Storm, dan Ebon Moss-Bachrach sebagai Ben Grimm merupakan kombinasi yang ideal di atas kertas. Sayangnya, chemistry antar karakter terasa hambar dan kurang meyakinkan. Hanya Ben Grimm alias The Thing yang berhasil menghadirkan emosi autentik yang diperlukan film ini.

Konflik keluarga yang seharusnya menjadi inti cerita justru terabaikan. Film ini lebih tertarik mengejar plot besar dibanding mengeksplorasi hubungan personal yang bisa menjadikan Fantastic Four istimewa dibanding tim superhero lain. Ini menyebabkan penonton sulit terhubung emosional dengan para karakter utama.

Villain Hebat yang Disia-siakan

Galactus dan Silver Surfer (Julia Garner) adalah duo antagonis yang mestinya jadi kekuatan utama film ini. Tapi keduanya terasa setengah hati digarap. Galactus, yang digambarkan hanya sedikit lebih besar dari manusia biasa, kehilangan pesonanya sebagai pemakan dunia. Silver Surfer, yang punya potensi menjadi karakter kompleks, malah tampil sebagai sosok yang mudah sekali berubah pikiran tanpa alasan yang jelas.

10-mcu-questions-we-need-answered-after-the-fantastic-four-first-steps.jpg

Sebagai perbandingan, Thanos di MCU digarap dengan teliti selama bertahun-tahun, dengan latar belakang, motivasi, dan aksi yang kuat. Galactus yang seharusnya lebih kuat dari Thanos justru berakhir sebagai villain generik yang tak meninggalkan kesan berarti.

MCU Perlu Perubahan Besar

Fantastic Four: First Steps adalah gambaran jelas dari kelelahan formula superhero yang kini melanda Hollywood, terutama MCU. Film ini bukannya buruk secara teknis—visualnya memesona, tempo ceritanya cukup baik, dan ada beberapa momen yang berhasil menghibur—tetapi gagal memberi sesuatu yang baru atau menggugah secara emosional.

Jika Marvel ingin mengembalikan kejayaannya, mereka harus berani mengambil risiko. Mereka perlu cerita yang lebih kecil namun dalam, bukan terus-menerus menyelamatkan dunia dengan cara yang mudah ditebak. Formula lama yang nyaman ini mungkin masih akan menghasilkan keuntungan, tetapi lama kelamaan, bahkan fans setia pun akan bosan.

Menonton film ini di IMAX memang memberi pengalaman visual yang baik, tetapi setelah layar gelap kembali terang, yang tersisa hanyalah rasa datar, tanpa kesan fantastis yang dijanjikan judulnya.

Komentar