Pengurus Besar Esports Indonesia (PB ESI) mengimbau para orang tua untuk lebih proaktif dalam mengawasi aktivitas bermain gim anak-anak, termasuk dengan memeriksa rating dan fitur interaksi dalam gim digital seperti obrolan global, transaksi pembelian dalam aplikasi, hingga potensi kekerasan seksual.
Wakil Ketua Bidang Kompetisi PB ESI, Glorya Famiela Ralahallo, menegaskan bahwa pengawasan tersebut penting agar anak tidak terpapar konten atau fitur yang belum mereka pahami secara mental dan emosional.
“Saya sarankan agar orang tua memeriksa rating gim dan fitur interaksinya seperti chat global, pembelian dalam, dan kekerasan seksual agar anak tidak terpapar hal yang belum mereka pahami,” ujar Glorya saat dihubungi di Jakarta, Selasa (5/8/2025) dikutip dari Antara.
Menurut Glorya—yang akrab disapa Ella—orang tua juga perlu menyadari bahwa gim kompetitif populer seperti Mobile Legends, Free Fire, PUBG, atau Valorant ditujukan bagi usia remaja hingga dewasa, bukan anak-anak usia dini.
Untuk anak-anak, Ella menyarankan penggunaan gim yang bersifat edukatif dan ringan seperti puzzle, gim bahasa, atau gim strategi dasar guna melatih logika dan konsentrasi. Sedangkan untuk anak yang lebih besar, gim seperti Minecraft dan Roblox masih bisa dipertimbangkan, namun tetap harus di bawah pengawasan.
“Pemantauan penting, tapi orang tua juga jangan langsung bersikap anti terhadap gim, apalagi jika anak memiliki minat atau bakat ke arah esports,” kata Ella, yang juga menjabat Wakil Manajer Esports Indonesia.
PB ESI, lanjutnya, mendukung tumbuhnya talenta muda di bidang esports. Namun demikian, penting bagi orang tua untuk membatasi waktu bermain sesuai jenjang pendidikan. Misalnya, maksimal 1–2 jam per hari untuk anak usia SD hingga SMP, serta adanya “hari bebas gim” agar keseimbangan dengan dunia nyata tetap terjaga.
Ia menyarankan agar waktu bermain gim disepakati bersama anak, misalnya sebagai reward setelah menyelesaikan tugas sekolah atau hanya pada akhir pekan. Di luar itu, waktu untuk aktivitas fisik dan interaksi sosial tetap harus dijaga.
“Peran orang tua bukan sekadar mengawasi, tapi juga memahami dunia anak agar terbangun kepercayaan dan keseimbangan,” ujar Ella.
Ia juga menekankan pentingnya pemantauan komunitas atau tim tempat anak bermain, karena banyak interaksi digital berlangsung di luar waktu bermain, misalnya melalui Discord atau grup chat.
Bagi anak yang serius menekuni esports, Ella menyarankan agar diarahkan dengan pendekatan profesional dan akademis, bukan sekadar dijadikan pelarian dari masalah.
Namun jika ditemukan tanda-tanda kecanduan—seperti sulit berhenti bermain, tantrum saat dilarang, penurunan prestasi, gangguan tidur, atau menarik diri dari lingkungan sosial—maka anak harus segera dijauhkan dari gim dan dievaluasi bersama.
“Jika perlu, konsultasikan ke ahli seperti psikolog anak,” pungkasnya.