Rokok Murah Banjiri Pasar, Dirjen Bea Cukai Blak-blakan Ungkap Fakta Mengejutkan

Rokok Murah Banjiri Pasar, Dirjen Bea Cukai Blak-blakan Ungkap Fakta Mengejutkan


Pemerintah tengah menyoroti fenomena pergeseran konsumsi rokok di Indonesia, atau yang dikenal sebagai downtrading, menuju jenis rokok dengan harga yang lebih terjangkau. Tren ini, meskipun berdampak pada dinamika penerimaan negara, menimbulkan kekhawatiran terkait kesehatan masyarakat dan keberlanjutan industri.

Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Djaka Budhi Utama mengungkap tren ini memengaruhi pertumbuhan penerimaan cukai pada semester I-2025.

Dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi XI DPR RI beberapa waktu lalu, Djaka menjelaskan bahwa penerimaan cukai berhasil tumbuh 7,3 persen menjadi Rp109,2 triliun. Angka ini cukup signifikan mengingat tidak adanya kebijakan kenaikan tarif cukai rokok pada tahun 2025 ini.

“Khususnya pergeseran konsumsi dari sigaret kretek mesin ke sigaret kretek tangan atau jenis rokok dengan harga lebih terjangkau turut menjadi faktor yang mempengaruhi dinamika tersebut,” ujar Djaka, dikutip Minggu (3/8/2025).

Hal ini mengindikasikan bahwa meskipun harga rokok premium mungkin tetap tinggi, permintaan beralih ke segmen yang lebih murah, yang secara agregat masih menyumbang pada penerimaan cukai.

Data produksi rokok dan penerimaan negara menunjukkan pergerakan yang menarik seiring dengan penerapan tarif cukai hasil tembakau (CHT). Pada tahun 2022, Ditjen Bea Cukai mencatat penerimaan cukai hasil tembakau mencapai Rp218,3 triliun dengan produksi 323,9 miliar batang, saat tarif cukai naik 12 persen.

Setahun kemudian, di tahun 2023, produksi rokok sedikit menurun menjadi 318,1 miliar batang, dan ini berimbas pada penurunan penerimaan cukai menjadi Rp 213,5 triliun, meskipun ada kebijakan kenaikan tarif 10 persen. Penurunan produksi kembali terjadi pada tahun 2024, tercatat 317,4 miliar batang.

Namun, uniknya, penerimaan negara justru meningkat menjadi Rp216,9 triliun dengan level tarif yang tetap 10 persen. Ini menunjukkan efektivitas pengawasan atau mungkin ada perubahan pola konsumsi yang lebih menguntungkan penerimaan.

Pada tahun 2025 ini, pemerintah tidak menaikkan tarif CHT, melainkan hanya menetapkan perubahan harga jual eceran rokok. Tetapi, di saat yang sama, produksi rokok terus menunjukkan tren penurunan. Data semester I-2025 mencatat produksi hanya 142,6 miliar batang, lebih rendah dibandingkan 146,18 miliar batang pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Secara spesifik, produksi rokok pada Juni 2025 hanya mencapai 24,8 miliar batang. Angka ini turun 5,7 persen dibandingkan Mei 2025 dan 3,2 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Penurunan ini terjadi setelah sempat ada kenaikan pada Mei 2025 yang mencapai 26,3 miliar batang, menjadikannya produksi tertinggi sepanjang tahun 2025.

Secara keseluruhan, produksi rokok selama enam bulan pertama 2025 tercatat turun 2,5 persen dari tahun sebelumnya, dan menjadi yang terendah dalam delapan tahun terakhir sejak 2018, kecuali pada tahun 2023.

Meskipun demikian, Djaka tetap optimistis dapat mengerek penerimaan kepabeanan dan cukai tahun ini. Ia telah menyiapkan sejumlah strategi untuk menjaga kesinambungan penerimaan negara dari bea dan cukai.

Terdapat enam kebijakan utama yang akan diimplementasikan. Pertama, intensifikasi kebijakan tarif cukai hasil tembakau (CHT) dengan dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT) sebagai bantalan kebijakan. Kedua, intensifikasi tarif bea masuk komoditas tertentu. Ketiga, ekstensifikasi barang kena cukai, yang berarti memperluas jenis barang yang dikenai cukai.

Strategi lainnya meliputi memperluas basis penerimaan bea keluar, penguatan nilai pabean dan pengembangan klasifikasi barang yang adaptif, serta yang terakhir penguatan program kolaboratif Kementerian Keuangan dengan berbagai pihak.

Langkah-langkah tersebut diharapkan dapat menjaga stabilitas dan pertumbuhan penerimaan negara di tengah dinamika pasar rokok yang terus berubah.
 

Komentar