Rp20 Ribu untuk Sekadar Hidup

Rp20 Ribu untuk Sekadar Hidup


Pada 25 Juli 2025, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan garis kemiskinan Indonesia per Maret 2025 sebesar Rp609 ribu per kapita per bulan, atau setara Rp20.305 per hari. 

Sekilas angka ini tampak netral, layaknya hasil hitung-hitungan teknokratik yang rutin diumumkan pemerintah. Tapi jika diamati lebih dalam, angka itu adalah potret suram dari betapa rendahnya ekspektasi negara terhadap kehidupan rakyatnya.

Betapa tidak, garis kemiskinan tersebut menyatakan bahwa selama seseorang mampu membelanjakan lebih dari Rp20.305 per hari, maka ia tidak layak disebut miskin. Ini bukan lelucon. 

Satu porsi nasi Padang saja bisa menembus Rp25 ribu. Bahkan untuk sekadar hidup sehat, tidak sakit, dan tidak kekurangan kalori, jumlah itu mustahil mencukupi. Lantas, pantaskah negara menggantungkan martabat warga pada angka segitu?

Sejarah tidak bisa dibohongi. Sekitar 93 tahun lalu, para pendiri bangsa sudah menggugat angka-angka kemiskinan kolonial yang terlalu rendah. 

Dalam Fikiran Ra’jat No. 21 edisi 18 November 1932 yang dikutip dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi Jilid 1, Bung Karno secara gamblang mempertanyakan logika pemerintah kolonial Belanda yang mengklaim rakyat Indonesia bisa hidup hanya dengan f 0,08 per hari—bahkan lebih buruk dari rakyat Bulgaria yang konon hanya hidup dengan f 0,13.

Itu bukan semata kritik, melainkan peringatan keras bahwa statistik yang disusun tanpa nurani akan berubah menjadi alat pembenaran penindasan. 

Seolah kemiskinan adalah nasib yang wajar, lumrah, dan bahkan bisa diatur. Ironi ini kini berulang dalam negeri merdeka, oleh institusi negara kita sendiri.

Bung Hatta, dalam waktu yang sama dan dari forum yang serupa, menggugat cara pandang itu. Ia menyatakan bahwa tujuan negara bukan sekadar membuat rakyat tidak mati, melainkan menjamin kehidupan yang selamat, bermartabat, dan sejahtera. Sehingga sekadar hidup bukanlah ukuran.

Jika kita ingin melihat realitasnya secara objektif, mari bandingkan dalam satuan yang lebih stabil dan universal: emas. Pada era 1930-an, f 1 (mata uang gulden masa itu) setara dengan 0,6 gram emas (Filers P.T dan Colvin C.L, 2022). 

Maka, pengeluaran f 0,08 per hari dalam satu bulan menjadi f 2,4 yang berarti setara 1,4 gram emas per bulan. Bandingkan dengan kondisi sekarang: Rp609 ribu per bulan yang hanya setara dengan 0,3 gram emas (dengan harga emas dunia per 31 Maret 2025 sekitar Rp 1,8 juta per gram). Sungguh perbedaan yang sangat mencolok.

Artinya, garis kemiskinan Indonesia hari ini empat kali lebih rendah daripada masa kolonial Belanda jika dihitung berdasarkan nilai emas. 

Melihat hal itu, Indonesia bukan hanya tertinggal dari negara-negara maju, tapi bahkan telah kalah dari standar yang dibuat oleh rezim penjajah hampir satu abad lalu. Bukankah ini sebuah kemunduran yang menyakitkan?

Bayangkan, delapan dekade setelah proklamasi, negara ini masih menetapkan nilai hidup minimum rakyatnya di bawah satu sendok teh beras berlapis emas. 

Kemerdekaan yang diperjuangkan dengan darah dan nyawa, ternyata belum mampu mengangkat rakyat keluar dari jeratan kemiskinan struktural yang diabaikan oleh statistik resmi.

Pemerintah sering berdalih bahwa metode penghitungan kemiskinan sudah mengikuti standar internasional. Tapi bukankah ini hanya permainan angka semata, ketika standar itu justru meminggirkan martabat rakyat sendiri? Bukankah sudah saatnya kita berpindah dari pendekatan teknokratis ke pendekatan hak? Sebab terlalu lama kebijakan sosial digerakkan oleh gengsi kelas kakap, namun dengan kepedulian kelas teri.

Sebagai negara hukum, Indonesia terikat oleh konstitusi. Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 dengan jelas menyatakan bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Bukan “sekadar hidup”. Layak bagi kemanusiaan—itu adalah frasa kunci yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

Di sinilah titik krusialnya: negara harus berhenti bermain angka. Harus berhenti memiskinkan rakyat melalui statistik. Sebaliknya, negara wajib merumuskan ulang garis kemiskinan berdasarkan kebutuhan riil, berbasis hak dasar: pangan bergizi, perumahan layak, akses air bersih, pendidikan, dan layanan kesehatan.

Jika standar kemiskinan tetap disusun berdasarkan pendekatan nominal dan minimalis, maka kebijakan sosial apa pun akan selalu meleset dari sasarannya. 

Bantuan sosial, jaminan kesehatan, subsidi pangan—semuanya hanya akan jadi tambal sulam yang tak menyentuh akar persoalan. Akibatnya, rakyat hanya disuapi ilusi kemakmuran, bukan kehidupan yang benar-benar layak.

Presiden Prabowo, di awal masa jabatannya ini memiliki peluang emas untuk memutus siklus kemiskinan. Dengan dukungan politik yang kuat, diharapkan bisa menginisiasi transformasi menyeluruh dalam cara negara memperlakukan rakyat miskin. Ini bukan sekadar soal anggaran, tapi soal keberpihakan.

Presiden Prabowo dapat memulainya dengan menetapkan garis kemiskinan yang manusiawi sebagai langkah pertama untuk menyusun kebijakan sosial yang adil. Ini bukan hanya reformulasi angka, tapi refleksi tentang nilai hidup itu sendiri. 

Apakah negara menganggap warganya cukup hidup seperti buruh kolonial dulu, ataukah ingin melihat mereka berkembang sebagai manusia merdeka?

Tahun 2025 adalah tahun ke-80 kemerdekaan Indonesia. Tapi bagaimana kita bisa menyebutnya perayaan jika sebagian besar rakyat masih dihargai tak lebih dari Rp20 ribu per hari?

Maka dari itu, bicara kemiskinan tidak hanya bicara tentang perut kosong. Kita bicara tentang martabat. Tentang anak-anak yang tidak bisa sekolah, rakyat yang tak bisa berobat, buruh yang tak mampu menyewa tempat tinggal. Garis kemiskinan yang rendah bukan hanya soal teknis, tapi tentang seberapa rendah kita menempatkan harkat manusia.

Negara tidak boleh menjadi institusi yang menormalisasi penderitaan. Bak kisah usang yang terus didaur ulang dengan wajah baru dan narasi pembangunan. 

Pemerintah tidak bisa bersembunyi di balik grafik dan metodologi, lalu membiarkan jutaan rakyat dianggap tidak miskin hanya karena pengeluarannya Rp21 ribu sehari. Itu bukan ukuran kehidupan, itu penghinaan terhadap kehidupan itu sendiri. Negara ini dibangun bukan untuk mempertahankan logika kolonial, tapi untuk membebaskan manusia dari belenggu ketidakadilan.

Tulisan ini dipersembahkan dalam rangka menyambut 80 Tahun Kemerdekaan Indonesia. Angka 80, yang menyerupai simbol tak hingga, mencerminkan bahwa perjuangan menuju keadilan sosial sejati adalah amanat abadi yang tak boleh terputus oleh waktu. 

Di usia kemerdekaan yang ke-80, rakyat Indonesia tidak menantikan seremoni dan slogan, melainkan gebrakan nyata dari pemerintah untuk memastikan setiap insan hidup dengan layak dan bermartabat—bukan sekadar bertahan hidup.

Komentar