Saatnya Prabowo Segarang Chavez, Nasionalisasi Pangan Libas ‘Serakahnomic’

Saatnya Prabowo Segarang Chavez, Nasionalisasi Pangan Libas ‘Serakahnomic’

Reza Medium.jpeg

Minggu, 27 Juli 2025 – 11:00 WIB

Ilustrasi negara mengambil alih aset perusahaan bidang pangan yang nakal. (Desain: Inilah.com/Lukman)

Ilustrasi negara mengambil alih aset perusahaan bidang pangan yang nakal. (Desain: Inilah.com/Lukman)

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp Inilah.com

+ Gabung

Belakangan ini, dahi para emak-emak dibuat berkerut. Beras yang biasanya enak dan pulen berubah aroma dan rasa, warnanya menguning serta cepat basi. Bukan salah penanak nasi, tapi beras premium yang biasa mereka beli ternyata oplosan. Urusan perut rakyat sudah jadi bancakan kaum ‘serakahnomic’.

‘Serakahnomic’ istilah baru yang dibuat Presiden RI Prabowo Subianto untuk fenomena praktik nakal para pengusaha, cari keuntungan lewat cara curang. Sama seperti para emak-emak di luar sana, darah Prabowo pun mendidih dengan keriuhan beras oplosan. Hal ini berkali-kali dia singgung, sejak dari Kongres PSI, peresmian Kopdes Merah Putih hingga Harlah PKB pada Rabu (23/7/2025) malam.

Catatan Prabowo menyebut, permainan harga dan pengemasan ulang beras telah merugikan negara hingga Rp100 triliun setiap tahun. Jika benar hitungan Prabowo, bisa kita bayangkan berapa banyak duit rakyat dimakan para cukong-cukong tak punya hati itu. Kita hitung secara bodoh saja, jika setahun hilang Rp100 triliun, maka dalam lima tahun bisa menguap Rp500 triliun, uang sebanyak itu jika disalurkan dengan benar, entah sudah berapa ribu sekolah se-Indonesia bisa diperbaiki, entah berapa banyak juga fasilitas kesehatan dan kebutuhan masyarakat lainnya bisa dipenuhi oleh negara.

Wajar jika diksi ‘brengsek’ terlontar dari mulut sang Presiden. Prabowo sudah benar, mengategorikan penyimpangan bisnis ini sebagai tindakan subversif—pembangkangan—ekonomi. Kelakuan di luar nalar ini kejahatan luar biasa yang merampas hak rakyat, pelakunya tentu pantas dipidanakan karena sudah berbuat kurang ajar ke 280 juta penduduk Indonesia.

post-cover
Presiden RI Prabowo Subianto ketika berpidato di perayaan Hari Lahir (Harlah) ke-27 PKB di JCC Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (23/7/2025) malam. (Foto: BPMI Setpres).

Seiring dengan kemarahannya, terlontar juga wacana soal negara kuasai sejumlah sektor strategis, agar manfaatnya bisa langsung dirasakan masyarakat. Salah satu yang jadi bidikan adalah sektor pangan seperti produksi beras, jagung, dan minyak goreng. Sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak, kata Prabowo, tidak boleh dikuasai oleh mekanisme pasar. Semoga bukan ‘omon-omon’.

“Karena Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara. Beras penting atau tidak bagi negara? Jagung penting atau tidak? Minyak goreng penting atau tidak? Dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, dikuasai negara. Sorry ye. Ini bukan pikiran Prabowo, ini bukan maunya Prabowo, ini perintah Undang-Undang Dasar 1945,” tuturnya, geram.

Kalau benar serius, Prabowo harus segarang mendiang Presiden Venezuela (1999-2013) Hugo Chavez. Sejak pertama menjabat efektif pada Februari 1999, Chavez melakukan konsolidasi dan memastikan penguasaan negara atas aset-aset strategis. Prestasi ekonominya, meroket sejak kuartal pertama 2003, usai berhasil ambil kendali penuh pengolaan minyak dan gas (migas) di negerinya.

Center for Economic and Policy Reform yang berbasis di Washington DC, Amerika Serikat (AS) pada Februari 2009, dalam “The Chávez Administration at 10 Years: The Economy and Social Indicators” melaporkan, sejak kuartal pertama 2003 hingga kuartal kedua 2008, pertumbuhan ekonomi Venezuela secara total telah bertumbuh 94,7 persen atau dengan rata-rata pertumbuhan per tahun 13,5 persen. Jika Prabowo tiru, jangankan 5 persen, target 8 persen pertumbuhan ekonomi per tahun bukan lagi angan-angan.

Prabowo juga harus tahu, aksi ‘ambil alih’ Chavez tak sebatas sektor migas saja. Pangan pun diembat tanpa ampun. Pabrik tepung jagung dan gula, termasuk Lacteos Los Andes (produk susu), Cargill, Cafe Madrid, Fama de America, serta sejumlah fasilitas pengolahan pangan diambil alih pada periode 2008-2009. Kemudian, perusahaan distribusi ritel, seperti Exito dan Cada diambil alih pada 2010 dan diubah menjadi Abastos Bicentenario serta digabung dengan jaringan PDVAL dan Mercal. Termasuk juga Agroisleña, agro-supplies terbesar, dinasionalisasi pada 2010 menjadi Agropatria oleh negara di era kepemimpinan Chavez.

Batasi Konglomerasi Asing

Sesuai perintah Prabowo, Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri telah memeriksa empat produsen atas dugaan pelanggaran mutu dan takaran dalam distribusi beras. Berdasarkan informasi yang dihimpun, keempat perusahaan itu adalah Wilmar Group, Food Station Tjipinang Jaya, Belitang Panen Raya dan Sentosa Utama Lestari (Japfa Group).

Perkembangannya, Dirtipideksus Bareskrim Polri, Brigjen Helfi Assegaf menyampaikan, kasus ini sudah naik statusnya dari penyelidikan ke penyidikan, tapi belum dijelaskan kasus ini masuk kategori korupsi atau bukan. Dari penyelidikan terhadap 212 merek beras yang diungkap Kementerian Pertanian, ditemukan ada 67 perusahaan yang diduga terlibat. Rinciannya, sekitar 52 PT produsen beras premium dan 15 PT produsen beras medium. 

post-cover
Dirtipideksus Bareskrim Polri Brigjen Helfi Assegaf. (Foto: Dok. Humas Polri).

“Penyidik mendapatkan fakta bahwa modus operandi yang dilakukan oleh para pelaku usaha yaitu melakukan produksi beras premium dengan merek yang tidak sesuai standar mutu yang tertera pada label kemasan yang terpampang di kemasan tersebut, menggunakan mesin produksi baik modern maupun tradisional, artinya dengan teknologi yang modern maupun manual ini yang kita temukan,” ujar Helfi, saat jumpa pers di Jakarta, Kamis (24/7/2025).

Belakangan, Kejaksaan Agung (Kejagung) juga ikut turun tangan dengan pemikiran selangkah lebih maju, mengategorikan kasus ini sebagai kejahatan korupsi. Satuan Tugas Khusus Penanganan dan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Korupsi (P3TPK) Kejagung yang jadi penanggung jawab kasus ini. Enam produsen beras, yakni PT Wilmar Padi Indonesia, PT Food Station, PT Belitang Panen Raya, PT Unifood Candi Indonesia, PT Subur Jaya Indoutama, dan PT Sentosa Utama Lestari (Japfa Group) sudah dilayangkan surat pemanggilan untuk hadir pada Senin (28/7/2025). 

Namun sayangnya, Kejagung belum menerima konfirmasi dari keenam perusahaan itu. “Belum ada konfirmasi kehadiran sampai saat ini,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Anang Supriatna, Kamis (24/7/2025).

Di antara enam produsen yang akan dipanggil Kejagung, Wilmar Group paling disorot. Perusahaan agribisnis yang bermarkas pusat di Singapura dan memiliki sejumlah aset di Australia ini, bukan baru pertama kali terkena skandal pangan. Sebelumnya, dia juga bikin heboh, terjerat kasus korupsi terkait pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) dan produk turunannya pada 2022, termasuk suap Rp60 miliar dalam pengkondisian perkara putusan lepas (onslag) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang ditangani Kejagung.

Bahkan dalam perjalanan kasus CPO, turut juga ada skandal perintangan penyidikan. Advokat Wilmar Group, Marcella Santoso pun ditangkap dan sudah akui perbuatannya merintangi penyidikan melalui penyebaran isu pemberitaan serta konten negatif di media sosial, menyudutkan Kejagung lewat narasi jelek soal ‘Indonesia Gelap’ hingga narasi kriminalisasi pada kasus korupsi impor gula yang menjerat eks Menteri Perdagangan (Mendag) Tom Lembong, telah divonis pengadilan 4,5 tahun penjara. 

post-cover
Suasana di dalam pabrik beras PT Wilmar Padi Indonesia di Serang, Banten. (Foto: Dok WPI).

Selain itu, pada 2023, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga pernah mengendus indikasi PT Wilmar Padi Indonesia—anak perusahaan Wilmar Group—terlibat dalam monopoli harga gabah petani. Terus terang saja, sebenarnya kalau kita mau mengakui konglomerasi sudah cukup lama ada di Indonesia. Dari sisi ekonomi, kemampuan suatu pihak bisa memonopoli bisnis bukan suatu kesalahan, yang salah adalah ketidaktegasan regulasi pemerintah dalam membatasinya. 

Ekonom dari Unika Atma Jaya, Rosdiana Sijabat mengatakan, setidaknya untuk saat ini pemerintah harus perketat pengawasan diiringi regulasi kuat, agar para konglomerasi yang terlanjur besar bisa dimanfaatkan untuk kepentingan negara serta mengangkat pebisnis kecil seperti UMKM menjadi mitranya.

“Setidaknya dibatasi. Tidak lagi kita tinggal diam. Tetap saja namanya manusia itu ada namanya istilah moral hazard. Kalau ada kesempatan berbuat menguntungkan dirinya sendiri, dia akan berbuat,” ucapnya saat berbincang dengan Inilah.com.

Nasionalisasi Mulai dari Food Station

Sudah betul Prabowo memerintahkan Polri dan Kejagung—untungnya keduanya merespons cepat—membawa persoalan beras oplosan ini ke ranah hukum. Tinggal kejelian dan kecermatan para aparat penegak hukum membuktikan kejahatan ini, agar bisa jadi landasan negara untuk memulai langkah kendalikan penuh sektor pangan. Ingat! Menasionalisasi perusahaan pangan sesungguhnya bukan asal ambil alih secara membabibuta.

“Dengan cara ya diambil alih oleh pemerintah, sahamnya dibeli. Apalagi sekarang misalnya diproses ke pengadilan, dikasih sanksi alternatif supaya kapok, supaya jera. Sanksi alternatif itu bisa perusahaan tidak boleh beroperasi lagi atau sebagai sanksi alternatif diambil oleh negara tuh. Begitu. Bisa saja. Itu tergantung keputusan di pengadilan,” ucap pengamat hukum dari Universitas Bung Karno (UBK) Hudi Yusuf, kepada Inilah.com.

Hudi mendukung penuh wacana Prabowo yang mau ambil kendali penuh pada sektor strategis, terutama bidang pangan. Di matanya, skandal beras oplosan ini bukan saja mencederai hati rakyat tapi juga mencoreng kewibawaan negara. Dia bilang, urusan menasionalisasi perusahaan swasta bukan barang baru di Indonesia, pernah dilakukan oleh Pemprov Jakarta, terhadap PT PAM Lyonnaise Jaya (PALYJA) di era kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama, alias Ahok.

“Karena (perusahaan) serakah secara ekonomi bisa memperkaya diri dan kelompoknya, atau juga bisa untuk merongrong kewibawaan rezim tuh. Saya sepakat. Dan mudah-mudahan Pak Prabowo itu lebih peka lagi terhadap ini, karena beras makanan pokok. Dari Sabang sampai Merauke kan merasa dibohongi Begitu,” tutur Hudi.

Jika Prabowo belum bisa mengambil alih swasta, bisa dimulai dari Food Station Tjipinang Jaya. Tentu tidak sulit bagi pemerintah pusat untuk mengambil alih perusahaan pelat merah milik Jakarta ini. Mengambil alih Food Station bisa jadi contoh sekaligus alarm bagi perusahaan pangan nakal lainnya. “Ya kalau BUMD kan memang sudah perusahaan pelat merah ya. Cuma pengawasannya saja diperketat atau ditarik ke pusat. Ya kewenangan BUMN itu ditarik gitu kan ke pusat,” ujar Hudi lagi menjelaskan. 

Selain itu, ada juga beberapa pertimbangan lain, salah satunya sikap santai Pemprov Jakarta. Kenyataanya, Gubernur Pramono Anung baru bergerak setelah Prabowo murka. Pemprov baru memanggil para jajaran direksi Food Station pada Selasa (22/7/2025) sore. Usai pemanggilan, boro-boro Pramono sanksi para direksi, hasil pertemuan pun tidak jelas. Dia buru-buru masuk mobil menghindari pertanyaan wartawan. Baru keesokan harinya Pramono berkomentar ala kadarnya.

post-cover
Gedung kantor Food Station Tjipinang Jaya di kawasan Pisangan Lama, Jakarta Timur. (Foto: Dok. Food Station).

“Jadi secara prinsip, kebetulan sebelum saya sampai di Jakarta saya berkomunikasi dengan Menteri Pertanian. Apapun yang menjadi arahan dan sekaligus temuan, saya bilang tidak boleh ditutup-tutupi,” kata Pramono di Balai Kota Jakarta, Rabu (23/7/2025).

Bahkan jauh sebelum Presiden Prabowo murka, Pemprov Jakarta sempat membantah temuan Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman melalui Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan dan Pertanian (KPKP) DKI Jakarta Hasudungan Sidabalok. Diklaim mutu beras milik Food Station sudah diuji oleh laboratorium terakreditasi.

Bahkan, Rano Karno, wakilnya Pramono juga turut mengamini ucapan Kadis Hasudungan. Dia memilih lebih mempercayai laporan anak buahnya. “Ini memerlukan waktu yang panjang untuk diskusi. Tapi saya mendapat laporan dari Food Station, itu tidak benar,” kata Rano usai meninjau MPLS di SMAN 6, Jakarta Selatan, Selasa (15/7/2025). Desakan audit melalui lembaga independen pun tak dihiraukannya. Rano lebih senang melakukan audit internal melalui Inspektorat.

Pertimbangan lain, merujuk pada pernyataan Dirtipideksus Bareskrim sekaligus Kepala Satgas Pangan Polri, Brigjen Helfi Assegaf yang menyatakan, penggeledahan terkait beras oplosan dilakukan di dua gudang milik Food Station yang berada di Jakarta Timur dan Subang, Jawa Barat. Ditambah, Polda Metro Jaya juga turut menemukan satu merek beras yang diduga melanggar standar mutu saat sidak Pasar Induk Cipinang, Jakarta, Jumat (25/7/2025). Perlu diketahui, kompleks pasar ini merupakan lokasi markas alias kantor pusat dari Food Station berdiri.

Skandal beras oplosan harus dijadikan titik balik bagi negara untuk menegaskan kembali mandat konstitusi: pangan adalah hak rakyat, bukan komoditas spekulatif para pemilik modal. Pemerintah tidak cukup hanya marah, tapi harus bertindak sistematis melalui langkah nasionalisasi yang terukur—dimulai dari perusahaan daerah seperti Food Station—dengan regulasi ketat, pengawasan transparan, dan pembatasan dominasi konglomerasi. 

Prabowo tak boleh kalah dari Chavez, kebijakan pangan harus berpihak pada kedaulatan rakyat, bukan disandera oleh pasar. Sebab dalam urusan perut, kelambanan adalah kejahatan, dan pembiaran berarti pengkhianatan terhadap amanat konstitusi. [Rez/Clara/Rizki]

Topik
Komentar

Komentar