Sekolah Rakyat Sudah Dimulai, Bully Jadi Hantu Baru di Pojok Kelas?

Sekolah Rakyat Sudah Dimulai, Bully Jadi Hantu Baru di Pojok Kelas?

Ini bukan hanya tentang membangun gedung dan menyediakan fasilitas, tetapi tentang membangun mentalitas anti-bullying di setiap individu yang terlibat dalam ekosistem pendidikan. Ini tentang menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga berhati mulia, empatis, dan peduli terhadap sesamanya.

Kasus tragis yang menimpa siswa SMA berinisial PN (16) di Garut, Jawa Barat, bak cambuk keras bagi dunia pendidikan Indonesia. Perundungan yang berujung pada kematian seorang siswa di hari pertama sekolah barunya itu menjadi pengingat pilu bahwa bullying atau perundungan masih menjadi momok serius yang merenggut masa depan anak-anak bangsa. 

Ironisnya, di tengah duka dan kemarahan publik atas insiden tersebut, pemerintah justru tengah menggulirkan program ambisius: Sekolah Rakyat.

Konsep Sekolah Rakyat sebenarnya bukan barang baru. Ia menggemakan kembali semangat pendidikan inklusif yang pernah digaungkan di masa lalu. Namun, implementasi kali ini hadir dengan janji-janji modernisasi dan pemerataan.

Dimulainya Sekolah Rakyat tahap pertama, sebuah inisiatif yang digadang-gadang untuk memeratakan akses pendidikan berkualitas bagi seluruh lapisan masyarakat, tak urung menimbulkan kekhawatiran. 

Di balik tujuan mulianya, muncul pertanyaan krusial: Sejauh mana program ini siap mengantisipasi potensi bullying di antara para siswanya? Apakah penyelenggara, dalam hal ini pemerintah dan para guru, telah memikirkan langkah pencegahan yang matang agar Sekolah Rakyat tidak menjadi lahan subur bagi praktik perundungan yang keji?

Sekolah Rakyat: Asa Baru, Tantangan Lama?

Pemerintah memang sedang gencar menggaungkan program Sekolah Rakyat. Tujuannya mulia: memastikan akses pendidikan merata, berkualitas, dan tanpa sekat. Namun, di balik ambisi besar itu, pengalaman masa lalu dan kasus-kasus perundungan yang terus berulang mengharuskan kita untuk jeli melihat potensi ancaman.

Lingkungan baru, percampuran latar belakang sosial ekonomi yang beragam, serta mungkin juga kurangnya pemahaman mendalam tentang dinamika psikologis anak-anak, berpotensi menciptakan celah bagi praktik bullying. Lingkungan sekolah, di mana berbagai latar belakang siswa bertemu, seringkali menjadi arena “perang” tak kasat mata bagi mereka yang lemah.

Saat membuka Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) Sekolah Rakyat di Sentra Terpadu Inten Soeweno, Karadenan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (14/7/2025), Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf menegaskan Sekolah Rakyat harus terbebas dari bullying atau perundungan dan segala bentuk kekerasan.

Ia meminta semua pihak aktif mencegah kekerasan seksual dan intoleransi sejak dini di lingkungan pendidikan. “Tidak ada bullying, harus dihindari, harus dimitigasi, jangan sampai ada bullying. Tidak ada kekerasan seksual, tidak ada intoleransi,” ujar pria yang akrab disapa Gus Ipul itu.

Meski demikian, perbedaan seringkali jadi pemicu awal bullying, baik itu perbedaan fisik, ekonomi, maupun kemampuan akademik.Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar. 

post-cover

Kasus bullying di Indonesia, seperti yang baru-baru ini terjadi di Garut, menunjukkan betapa parahnya masalah ini. Seorang siswa SMA berinisial PN (16) ditemukan tak bernyawa di rumahnya setelah diduga depresi berat akibat bullying yang dialaminya.

PN, yang seharusnya memulai hari pertama di sekolah barunya pada Senin (14/7/2025), terpaksa pindah sekolah demi menghindari perundungan. Tragisnya, ia justru mengakhiri hidupnya.

Kasus PN membuka mata kita: bullying bukan lagi sekadar kenakalan remaja, melainkan ancaman serius yang bisa merenggut masa depan, bahkan nyawa. Apalagi jika bullying itu bukan cuma dari teman sebaya, tapi juga melibatkan perlakuan merendahkan dari guru, seperti yang diduga dialami PN dengan sebutan “Anak Berkebutuhan Khusus” atau “ABK” hanya karena kesulitan menjawab soal.

Lingkungan Sekolah Rakyat, dengan asumsi keragaman yang lebih tinggi, bisa menjadi lahan subur bagi bullying jika pencegahannya tak kokoh.

Alarm Merah untuk Penyelenggara: Apakah Sudah Antisipatif?

Pertanyaan krusialnya: apakah pemerintah sebagai penyelenggara Sekolah Rakyat, termasuk para guru, sudah memikirkan langkah-langkah konkret untuk mengantisipasi masalah bullying ini? Apakah mereka sudah menyiapkan “tameng” bagi para siswa agar terhindar dari perundungan?

Gus Ipul menyebut, Pemerintah memastikan bahwa kurikulum Sekolah Rakyat telah didesain secara khusus untuk mencegah tiga persoalan utama dalam dunia pendidikan, yaitu bullying, kekerasan seksual, dan intoleransi.

“Sudah koordinasi dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) ya. Semua sudah kita ajak bicara dalam rangka membuat kurikulum yang sebisa mungkin mencegah tiga hal,” kata Gus Ipul, saat meninjau Simulasi Sekolah Rakyat di Sentra Handayani, Jakarta Timur, Rabu (9/7/2025).

Menurut dia, ketiganya merupakan tantangan serius dalam dunia pendidikan, khususnya bagi siswa dari kelompok rentan yang menjadi sasaran utama Sekolah Rakyat. “Kita siapkan prosedurnya. Maka nanti banyak perangkat yang kita pasang dalam rangka untuk menghindari tiga hal itu,” lanjut Gus Ipul.

Kerja sama lintas sektor ini bertujuan memastikan langkah pencegahan berlangsung sistematis, terpantau, dan menyeluruh di setiap jenjang pendidikan nonformal seperti Sekolah Rakyat.

post-cover

Tak hanya menggandeng kementerian dan lembaga negara, Kementerian Sosial juga membuka ruang kolaborasi dengan berbagai organisasi sosial dan relawan. Inisiatif ini mencakup penyusunan pedoman pencegahan, pelatihan tenaga pengajar, hingga pemanfaatan teknologi berbasis deteksi dini untuk mengidentifikasi potensi kekerasan.

Lebih lanjut, Gus Ipul menegaskan bahwa ke depan, sistem pelaporan yang cepat dan responsif akan menjadi bagian integral dari upaya menciptakan iklim belajar sehat. Teknologi, termasuk sistem pemantauan digital, dirancang untuk mendeteksi dan merespons gejala kekerasan sejak tahap awal.

Dengan pendekatan holistik, program Sekolah Rakyat diharapkan menjadi model pendidikan alternatif yang tidak hanya terjangkau dan inklusif, tapi juga memberikan rasa aman dan perlindungan maksimal bagi peserta didik.

Langkah Antisipasi dan Pencegahan: Harapan pada Pemerintah dan Guru

Pertanyaan selanjutnya adalah: Bagaimana pemerintah sebagai penyelenggara, termasuk guru-guru di Sekolah Rakyat, mengantisipasi masalah tersebut? Apakah penyelenggara sudah memikirkan langkah pencegahannya?

Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Fajar Riza Ul Haq, dalam kunjungannya ke Garut, Rabu (16/7/2025), menegaskan bahwa tim Inspektorat Jenderal dari Kemendikdasmen akan menelaah efektivitas Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK). Ini adalah langkah positif, namun implementasi TPPK di Sekolah Rakyat haruslah menjadi prioritas utama.

Beberapa langkah konkret yang harus dilakukan pemerintah dan guru di Sekolah Rakyat antara lain:

1. Pelatihan Komprehensif untuk Guru dan Staf:

Deteksi Dini: Guru harus dibekali kemampuan untuk mengenali tanda-tanda awal bullying, baik pada korban maupun pelaku. Pelatihan harus mencakup indikator fisik, psikologis, dan perilaku.

Intervensi Cepat: Guru harus tahu bagaimana merespons insiden bullying secara efektif dan cepat, termasuk memisahkan pihak-pihak yang terlibat, mengamankan korban, dan mendokumentasikan kejadian.

Konseling dan Dukungan Psikologis: Guru bimbingan konseling (BK) di Sekolah Rakyat harus memiliki kapasitas yang mumpuni dalam memberikan konseling kepada korban dan pelaku, serta menjalin kerja sama dengan psikolog atau psikiater jika diperlukan. Pelatihan khusus untuk guru BK dalam penanganan trauma juga sangat penting.

Pendidikan Karakter Anti-Bullying: Seluruh staf pengajar harus mampu mengintegrasikan nilai-nilai anti-bullying ke dalam setiap mata pelajaran dan aktivitas sekolah. Ini bukan sekadar materi tambahan, tapi menjadi bagian dari budaya sekolah.

2. Pembentukan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) yang Aktif:

Setiap Sekolah Rakyat wajib memiliki TPPK yang beranggotakan perwakilan guru, orang tua, komite sekolah, dan bahkan siswa yang terlatih.

TPPK harus memiliki mekanisme pelaporan yang jelas dan mudah diakses oleh siswa dan orang tua. Anonimitas pelapor harus dijamin untuk mencegah ketakutan atau balas dendam.

TPPK juga harus proaktif dalam melakukan sosialisasi tentang bahaya bullying, hak-hak siswa, dan prosedur pelaporan.

Ada Standar Operasional Prosedur (SOP) yang jelas untuk penanganan kasus bullying, mulai dari investigasi, mediasi, hingga pemberian sanksi bagi pelaku.

3. Pendidikan dan Keterlibatan Orang Tua:

Pemerintah melalui Sekolah Rakyat diharapkan aktif mengadakan seminar, lokakarya, atau pertemuan rutin dengan orang tua untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang isu bullying.

Orang tua harus diajak berpartisipasi dalam program pencegahan bullying dan didorong untuk berkomunikasi terbuka dengan anak-anak mereka tentang pengalaman di sekolah.

Pembentukan forum komunikasi orang tua yang aktif dapat menjadi wadah untuk berbagi informasi dan saling mendukung.

post-cover

4. Kurikulum dan Kegiatan Ekstrakurikuler yang Mendukung:

Kurikulum Sekolah Rakyat harus secara eksplisit memasukkan materi tentang empati, toleransi, penyelesaian konflik tanpa kekerasan, dan keberagaman.

Kegiatan ekstrakurikuler yang mendorong kerja sama tim, seperti olahraga, seni, atau kegiatan sosial, dapat menjadi sarana efektif untuk membangun hubungan positif antar siswa dan mengurangi potensi konflik.

5. Pengawasan Internal dan Eksternal yang Kuat:

Kemendikdasmen harus membangun sistem pengawasan yang kuat terhadap implementasi kebijakan anti-bullying di setiap Sekolah Rakyat. Inspeksi mendadak, survei kepuasan siswa, dan forum pengaduan online dapat menjadi instrumen pengawasan.

Transparansi dalam penanganan kasus bullying sangat penting. Hasil investigasi dan tindakan yang diambil harus dikomunikasikan secara jelas kepada pihak-pihak terkait, tentu dengan tetap menjaga kerahasiaan identitas korban.

6. Sanksi Tegas dan Edukatif bagi Pelaku:

Sekolah Rakyat harus memiliki aturan yang jelas mengenai sanksi bagi pelaku bullying, mulai dari teguran, skorsing, hingga pelibatan pihak berwajib jika kasusnya serius.

Namun, sanksi tidak boleh hanya bersifat punitif. Harus ada upaya edukasi dan rehabilitasi bagi pelaku agar mereka memahami dampak perbuatan mereka dan tidak mengulangi kesalahan. Ini bisa berupa konseling, kerja sosial, atau program bimbingan khusus.

Kasus Garut: Cerminan Urgentitas Penanganan

Kasus PN di Garut adalah cerminan betapa gentingnya masalah bullying ini. Dugaan keterlibatan guru dalam memperburuk kondisi korban, yang kerap direndahkan secara verbal, menunjukkan celah serius dalam sistem pendidikan kita. 

Jika kasus ini benar, maka ini bukan lagi sekadar perundungan antarsiswa, melainkan bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang harus diusut tuntas hingga menyeret pelaku ke ranah hukum.

Wakil Bupati Garut Luthfianisa Putri Karlina dan Wakil Menteri Fajar Riza Ul Haq telah menunjukkan keseriusan dengan menerjunkan tim untuk mendalami kasus ini. Pengawalan kasus dari pihak keluarga dan pihak sekolah harus dilakukan secara adil dan transparan, tanpa intervensi yang merugikan korban.

Kita tidak bisa membiarkan tragedi serupa terulang di Sekolah Rakyat, atau di mana pun. Program Sekolah Rakyat memiliki potensi besar untuk mengubah wajah pendidikan Indonesia, namun tanpa fondasi pencegahan bullying yang kuat, ia bisa menjadi bumerang. 

Pemerintah harus memastikan bahwa setiap Sekolah Rakyat tidak hanya menyediakan akses pendidikan, tetapi juga lingkungan yang aman, suportif, dan bebas dari perundungan.

Ini bukan hanya tentang membangun gedung dan menyediakan fasilitas, tetapi tentang membangun mentalitas anti-bullying di setiap individu yang terlibat dalam ekosistem pendidikan. Ini tentang menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga berhati mulia, empatis, dan peduli terhadap sesamanya.

Indonesia berduka atas kepergian PN. Jangan sampai duka ini menjadi sia-sia. Jadikan tragedi ini pelajaran berharga untuk membangun sistem pendidikan yang benar-benar melindungi setiap anak, termasuk di Sekolah Rakyat.

Komentar