Senioritas Profesi Kedokteran Dibiarkan Mengakar, Sistem Pendidikan Mesti Dievaluasi

Senioritas Profesi Kedokteran Dibiarkan Mengakar, Sistem Pendidikan Mesti Dievaluasi


Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai NasDem Nurhadi menyatakan sangat prihatin dan mengecam keras, tindakan kekerasan yang dialami oleh seorang dokter Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi di RSUP Mohammad Hoesin, Palembang.

“Peristiwa ini mencederai dunia pendidikan dan pelayanan kesehatan kita. Tindakan kekerasan dalam bentuk apa pun, apalagi sampai mengakibatkan cedera serius, tidak bisa dibenarkan dengan alasan senioritas, tekanan kerja, atau budaya yang selama ini dibiarkan mengakar,” tegas Nurhadi kepada inilah.com saat dihubungi di Jakarta, Selasa (22/4/2025).

Ia menyebut untuk memutus rantai perundungan atau bullying di kalangan calon dokter, perlu ada perubahan budaya yang tegas dari institusi pendidikan dan rumah sakit.

“Sistem pelaporan harus aman dan melindungi korban, bukan justru membuat mereka takut bicara. Lingkungan belajar bagi calon dokter seharusnya menjadi ruang yang mendidik, bukan menekan,” ujarnya.

Selain itu, dirinya juga turut menyoroti persoalan tes psikologi yang selama ini digunakan dalam proses seleksi. Menurutnya, bila benar calon dokter bisa mempelajari atau menghafal jawaban, maka efektivitasnya patut dipertanyakan.

“Tes psikologi idealnya menggambarkan karakter dan kesiapan mental seseorang untuk menghadapi tekanan kerja, bukan sekadar jadi formalitas. Metode tes perlu dikaji ulang agar lebih adaptif dan mencerminkan realita di lapangan,” ungkap Nurhadi.

Oleh karena itu, dengan adanya peristiwa ini Nurhadi menilai bila sistem pendidikan kedokteran perlu dievaluasi secara menyeluruh.

“Mulai dari relasi antara konsulen dan peserta didik yang kadang tidak setara, beban kerja yang tidak manusiawi, hingga lemahnya pengawasan dari pihak terkait. Komisi IX DPR RI mendorong agar Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan benar-benar serius memperbaiki sistem ini. Pendidikan dokter harus membentuk tenaga kesehatan yang kuat secara ilmu, etika, dan kepribadian, bukan membiarkan kekerasan menjadi bagian dari proses belajar,” tandasnya.

Sebagai informasi, seorang peserta PPDS anestesi Universitas Sriwijaya (Unsri) dilaporkan mengalami pendarahan setelah ditendang pada bagian testis oleh konsulen di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Mohammad Hoesin Palembang.

Kabar tersebut pertama kali mencuat melalui unggahan akun Instagram @ppdsgramm yang memuat tangkapan layar percakapan soal kekerasan tersebut. Disebutkan, korban mengalami nyeri hebat dan harus dilarikan ke Instalasi Gawat Darurat (IGD), dengan hasil USG menunjukkan memar dan pendarahan pada testis.

Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Aji Muhawarman, membenarkan kejadian tersebut.

“Kami sudah dapat laporan dari rumah sakit bahwa betul itu terjadi,” kata Aji, Selasa (22/4/2025).

Meski membenarkan insiden, Aji belum menjelaskan lebih lanjut soal kronologi kejadian, identitas pelaku, maupun korban karena masih dalam proses pendalaman. Ia menyebut Kemenkes akan menunggu hasil penyelidikan aparat penegak hukum untuk menentukan langkah lebih lanjut.

“Kami pastikan dulu kronologinya seperti apa, penanganan di rumah sakit seperti apa, itu kami dalami dulu sebelum mengambil langkah,” ujar Aji.

Kasus kekerasan ini menambah daftar panjang persoalan dalam sistem pendidikan dokter spesialis di Indonesia. Sebelumnya, kasus pelecehan seksual oleh dokter PPDS Priguna Anugrah di RSHS Bandung memicu desakan evaluasi sistemik terhadap pola pendidikan, jam kerja berlebihan, hingga relasi kuasa dalam dunia kedokteran spesialis.

Komentar