Shalawat Nabi Sebagai “Common Denominator”

Shalawat Nabi Sebagai “Common Denominator”


Sebagai satu umat, ada banyak alasan yang memisahkan kita. Perbedaan negara, bangsa, asal-usul, pemikiran, politik dan lainnya. Mungkinkah kita menemukan satu faktor yang sama, yang membuat kita menunda dan melupakan semua perbedaan?

Saya ingin berbagi sebuah cerita. Tentang shalawat sebagai “common denominator” yang mempersatukan perbedaan, menyambung dua dunia yang berbeda, betapapun jauh jaraknya, bagaimanapun kontrasnya.

Ahmed Al-Muhaqqiq terbang dari Sudan ke Indonesia karena satu cerita: Di Ciwidey, Kabupaten Bandung, ada sebuah masjid yang dibangun oleh para pecinta shalawat. Selama bertahun-tahun, setiap malam, di masjid itu jemaah tak pernah sekalipun terlewat “shalawatan” sambil membaca kitab “Dalailul Wushūl ilā Hadhrati ar-Rasūl”.

Kitab itu ditulis oleh gurunya, Syaikh Mukhtar, seorang mursyid terkenal di Sudan. Al-Muhaqqiq mendengar cerita itu saat ia sedang berada di Madinah, usai musim haji tahun 2025 ini. Tanpa berpikir panjang, ia memutuskan untuk datang ke Indonesia dan melihat masjid itu secara langsung.

Al-Muhaqqiq adalah seorang pebisnis Timur Tengah ternama. Di negaranya, ia dihormati dan dikenal luas. Bukan semata karena berbagai kesuksesan yang ia peroleh dalam hidupnya, tetapi karena kedermawanannya. 

IMG-20250809-WA0002.jpg

Di Sudan, Al-Muhaqqiq dikenal gemar membantu di bidang pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan umum. Ia membangun sekolah, universitas, rumah tahfidz sampai rumah sakit yang diperuntukkan untuk masyarakat luas.

IMG-20250809-WA0003.jpg

Tiba di Indonesia, sebagai seorang tokoh, Al-Muhaqqiq disambut secara terhormat oleh pihak kedutaan Sudan. Protokol resmi disiapkan sedemikian rupa. Mereka bertanya-tanya apa yang membuatnya jauh-jauh datang ke Indonesia? Apakah untuk bisnis? Politik kenegaraan? Atau lainnya?

Ternyata jawaban Al-Muhaqqiq sederhana, “Saya ingin melihat masjid di Bandung.” Ujarnya lugas. Semua terheran-heran dengan alasan “sepele” itu.

Masjid itu terletak di sebuah desa kecil di Ciwidey, Kabupaten Bandung. Masjid bersahaja yang berdiri dengan ornamen-ornamen bambu. Di antara begitu banyak masjid megah di Indonesia, masjid ini sebenarnya biasa-biasa saja. Bahkan mungkin terlalu biasa. Barangkali orang kedutaan Sudan bertanya-tanya, apa yang membuat Al-Muhaqqiq mau sekali ke sana?

Sebenarnya yang istimewa dari masjid itu adalah ceritanya. Pebisnis Sudan itu mendengar bahwa ada lebih dari 25.000 orang terlibat membangun masjid tersebut, Masjid Shalawat namanya. Itu karena sebagian dana pembangunan masjid berasal dari donasi yang digalang melalui platform “crowdfunding” kitabisa.com dan inilah.com.

IMG-20250809-WA0000.jpg

“Ini kisah yang menginspirasi. Kecintaan kepada shalawat, solidaritas masyarakat Indonesia, bisa membuat sebuah masjid berdiri. Tanpa saling tahu. Tanpa saling kenal. Bagaimana mungkin?” Katanya. Heran.

Seolah menjawab pertanyaan Al-Muhaqqiq, di sinilah ide shalawat sebagai “common denominator” itu muncul. Saat saya bertemu dengan Al-Muhaqqiq, kami berbincang mengenai pentingnya rasa solidaritas semacam itu. 

Melampaui formalisme dan pertimbangan-pertimbangan akal, rasa cinta kepada Islam, kepada Allah dan Rasul-Nya, terbukti lebih menggerakkan secara konkret. Menginspirasi kerja-kerja yang lebih besar.

Dalam diskusi kami, shalawat atau kecintaan kepada Nabi Muhammad sebagai “common denominator” semestinya dipakai sebagai ide utama persatuan umat Islam di dunia. Kita mungkin berbeda dalam fikrah, madzhab, atau siyasah. Tapi saat tiba pada ide tentang mencintai Nabi Muhammad, semua akan punya perasaan yang sama. Semua bergerak dengan faktor yang sama.

“Saya setuju sekali,” sahut Al-Muhaqqiq, “Rasa cinta itulah yang mempersatukan kita semua. Bukan hal-hal yang formal-material, bukan yang penuh agenda dan kepentingan. Saat bicara tentang mencintai Nabi Muhammad, tidak ada yang bisa menolaknya. Semua pasti setuju dan bergerak.” Ungkapnya. Sambil tersenyum.

Dan spirit itulah yang ia temukan di Masjid Shalawat di Ciwidey. Masjid itu berdiri sebagai monumen rasa cinta, merangkum semua perbedaan dalam rasa yang sama. 

Mendekatkan yang jauh, mempersatukan yang tak saling mengenal. Karena semua merasa mencintai Nabi Muhammad, semua mengikuti teladannya, menjadi umat yang satu. Yang bershalawat setiap malam tanpa terlewat–seperti denyut nadi cinta yang tak pernah berhenti.

“Sebisa mungkin, saya ingin menyelesaikan pembangunan masjid itu, hingga tuntas sepenuhnya. Ini salah satu alasan mengapa saya datang ke Indonesia. Saya sangat bahagia. Saya gembira karena menemukan rasa cinta semacam ini.” Ungkap Al-Muhaqqiq. Matanya berbinar-binar.

Jauh-jauh datang dari Sudan, Al-Muhaqqiq punya banyak pilihan alasan untuk bisa datang ke Indonesia. Tapi ia memilih satu yang paling istimewa: Ia ingin melihat sebuah masjid yang menjadi monumen cinta kepada Nabi Muhammad.

IMG-20250809-WA0006.jpg

Demikianlah, Baginda Nabi adalah muara dari segala cinta. Yang tak pernah menolak siapapun untuk datang dan mencintainya. Yang bahkan terhadap mereka yang paling berdosa di muka bumi sekalipun, selama masih mau kembali kepada jalan cahaya, bahkan Sang Nabi menjaminkan dirinya—sebagaimana sebuah hadits yang tertulis besar di masjid Nabawi, “Syafa’atī li ahlil-kabāir min ummatī. Syafaatku adalah untuk orang-orang yang paling berdosa dari umatku.”

Siapa yang tak bergetar dan tergerak oleh cinta seagung itu?

Hari ini saya belajar satu hal dari Al-Muhaqqiq. Kita boleh kaya raya dan punya banyak harta. Tapi tak ada yang lebih berharga dibandingkan satu “mata uang” teristimewa di dunia ini, alat tukar yang tak ada duanya: Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.

“Sungguh, saya sangat berbahagia dengan kunjungan ini. Nanti saya akan datang lagi ke Indonesia.” Katanya penuh semangat. “Untuk rasa cinta yang menginspirasi persatuan semacam ini, saya pasti akan kembali.”

Allāhumma shalli ‘alā sayyidinā Muhammad.

Komentar