Siti Zuhro: Masyarakat Daerah Seakan Tercerabut dari Akarnya dalam Pilkada Langsung

Siti Zuhro: Masyarakat Daerah Seakan Tercerabut dari Akarnya dalam Pilkada Langsung


Peneliti Utama Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro menyebut pemilu yang baik adalah pemilu yang memiliki kesesuaian, ketepatan, keterjangkauan dengan kondisi objektif politik masyarakat itu sendiri.

Hal itu ia sampaikan dalam diskusi bertajuk ‘Proyeksi Desain Pemilu Pasca Putusan MK’ di Jakarta, dikutip Minggu (6/7/2025).

“Jangan dipaksa kita seperti Amerika atau Australia, masyarakatnya komunal, tidak boleh masyarakat ini berhimpun, orang sebenarnya kita berhimpun kok, kita bukan masyarakat individual, itu yang tidak dipahami,” tutur Siti Zuhro.

“Maka kenapa mereka merasa waktu saya penelitian pertama kali tahun 2005 keempat provinsi, itu mereka mengatakan ya sudah kita lakukan saja pilkada langsung ini. Maksudnya tidak ada di hati kita apa pilkada langsung ini, apalagi yang budayanya sangat kuat daerahnya, merasa tercerabut betul dari keaslian daerahnya,” lanjutnya.

Dirinya menilai sebuah sistem pemilu disebut baik dan aplikatif, bukan karena langsung maupun tidak langsung, melainkan kualitas pemilu tersebut harus dapat dirasakan oleh masyarakat.

“Ketika ada semacam dampak atau korelasi yang positif antara pemilu nasional maupun pemilu lokal ini, yang dilakukan itu terhadap kualitas pemerintah. Ini pemerintahnya governability, kalau tidak untuk apa pemilu kemarin,” tegasnya.

Oleh karena itu, Siti Zuhro menyimpulkan, pilihan atas format pemilu atau pilkada semestinya merupakan satu kesatuan rangkaian paket pilihan bersama-sama dengan sistem pemerintahan, sistem perwakilan, dan sistem kepartaian.

“Artinya harus ada koherensi dan konsistensi antara pilihan atas sistem pemerintahan, sistem perwakilan, sistem pilkada, dan sistem kepartaian. Silakan lakukan ini dan tolong jangan cepat-cepat diketok palu, lakukan bagaimana masyarakat responsnya,” jelasnya.

Lebih jauh Siti Zuhro menekankan, bila desain pemilu yang ditetapkan bagus, maka tentu masyarakat tidak akan resisten. Lain hal bila dalam menentukan desain pemilu, sudah terpikirkan akan merugikan masyarakat, daerah, bahkan masa depan Indonesia.

Jadi, tambah dia, desain pemilu yang kompatibel dengan Indonesia tentunya mempertimbangkan tidak hanya dari filosofi, tetapi juga dari teks dan konteks. 

“Konteks tadi itu konstitusional kalau, kan itu peraturan sekarang berarti dulu tidak konstitusional dong, tidak ada serentak, tidak ada pemilu nasional-lokal, itu kan rekayasa kita saja kita bikin sendiri karena berdasarkan empirik maupun teori katakan ternyata positif. Jadi lagi-lagi masih di tataran, kita berharap yang terbaik,” bebernya menegaskan.

Komentar