Tangis Yance Sayuri pecah tak lama setelah peluit panjang berbunyi di Stadion Panasonic Suita, Osaka, Jepang, Selasa (11/6/2025). Wajahnya lesu, matanya sembab. Langkahnya pun gontai, seolah tak sanggup lagi menopang kecewa yang membuncah.
Pemain Malut United FC itu harus digandeng keluar lapangan, bukan hanya karena cedera, tapi karena hatinya benar-benar remuk. Kesedihan yang wajar mengingat malam itu Timnas Indonesia menutup kiprahnya di putaran ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia dengan kekalahan telak 0-6 dari Jepang.
Skor yang mencolok ini juga menyisakan banyak tanya: sudah sejauh mana kesiapan Indonesia untuk bersaing di level tertinggi? Atau mungkin, sayap Garuda memang belum cukup kuat untuk terbang menuju panggung paling prestisius sepak bola dunia?
Tapi sebelum badai gol berdatangan, jika boleh diingat lagi, stadion yang ‘tak bersahabat’ itu sempat bergemuruh, bukan karena publik tuan rumah, melainkan euforia suporter Indonesia. Sekitar 5.000 pendukung Merah-Putih menyesaki tribun stadion. Mereka datang dari berbagai penjuru, mengubah kandang lawan menjadi lautan merah.
Saat lagu “Indonesia Raya” berkumandang, suara mereka menggelegar, menggema sampai ke langit Osaka. Stadion Panasonic Suita, sekejap, terasa seperti Gelora Bung Karno (GBK).
Nahasnya, energi hebat dari tribun tak menjalar ke dalam lapangan. Tak lama setelah peluit awal berbunyi, Samurai Biru segera mengambil alih pertandingan.
Gelombang serangan datang silih berganti, tanpa jeda. Indonesia tak kuasa membendung dan tidak mampu membalas. Keran gol Jepang dibuka Daichi Kamada di menit ke-15. Empat menit berselang, giliran Takefusa Kubo yang mengoyak gawang Emil Audero, kiper Garuda.
Setelah dua gol bersarang, malapetaka terus berdatangan. Kevin Diks tergeletak kesakitan setelah mencoba merebut bola. Tak bisa melanjutkan permainan, ia digantikan Yakob Sayuri.
Sayangnya, Yakob hanya bertahan sepuluh menit. Ia harus ditandu keluar setelah berbenturan keras dengan pemain Jepang. Patrick Kluivert dipaksa melakukan dua pergantian tak terencana sebelum jeda turun minum.
Dari situ, semuanya runtuh. Gol demi gol menghujani pertahanan Indonesia. Jepang unggul 3-0, setelah Kamada kembali menulis namanya di papan skor pada penghujung babak pertama.
Di babak kedua, situasi tak berubah. Tak ada satu pun peluang yang bisa dibuat tim Merah Putih. Yang ada, justru tuan rumah membukukan tiga gol tambahan masing-masing melalui Ryoya Morishita (55′), Shuto Machino (58′) dan Mao Hosoya (80′).
Sudah Pantaskah Tim ini ke Piala Dunia?
Jika boleh jujur, Timnas Indonesia memang masih berada di level yang berbeda. Jepang bukan sekadar raksasa Asia, mereka adalah tim dengan pengalaman segudang. Dengan pemain-pemain yang merumput di liga top Eropa dan sistem pembinaan usia muda yang mapan, wajar Samurai Biru layak disebut Raja Asia.
Bandingkan dengan Indonesia, yang baru mulai menata ekosistem sepak bolanya dalam satu dekade terakhir, dan masih sering terganggu oleh polemik internal maupun kurangnya kontinuitas program jangka panjang.
Pandangan seperti ini datang dari Ketua Umum Paguyuban Suporter Timnas Indonesia (PSTI), Ignatius Indro. Bagi Indro, kekalahan atas Jepang tidak harus dibaca sebagai penghentian mimpi, melainkan panggilan untuk menata ulang harapan dengan lebih realistis dan terukur.
“Indonesia berhasil melangkah ke putaran ke-4 kualifikasi, sesuatu yang bahkan negara-negara Asia Tenggara lain belum tentu bisa mencapainya. Itu pencapaian yang layak diapresiasi,” katanya kepada Inilah.com.
Perbedaan kelas, kata Indro, memang ada, tapi bukan untuk disesali, melainkan dijadikan acuan. Kekalahan telak juga bukan hanya sebuah tamparan keras, tapi juga pelajaran berharga. “Memang bisa dibilang kita belum layak ke Piala Dunia hari ini, tapi bukan berarti tidak akan pernah,” ucap Indro lagi.
“Asalkan perbaikan dilakukan menyeluruh, konsisten, dan tidak hanya berorientasi pada hasil jangka pendek. Apalagi jika sepakbola hanya digunakan untuk kepentingan politik semata. Ini bahaya besar,” katanya menambahkan.
Hasil minor dari Jepang lanjut dia, bisa dibaca sebagai cermin tajam perbedaan pendekatan sistemik antara Negeri Sakura dan Indonesia dalam membangun sepak bola.
Jepang adalah contoh negara yang membangun dengan visi jangka panjang, sementara Indonesia, lewat PSSI saat ini, masih lebih sering mengambil jalur cepat dan pragmatis, seperti naturalisasi pemain, tanpa menyelesaikan akar permasalahan: tata kelola liga, infrastruktur, dan pembinaan usia muda.
Lalu, apakah naturalisasi salah? Indro menganggap hal itu tidak sepenuhnya keliru. “Tapi tanpa fondasi yang kuat, hasilnya tidak akan bertahan lama. Kita bisa lolos ke putaran ke-4 kualifikasi Piala Dunia karena bantuan pemain naturalisasi, tapi ketika menghadapi tim yang dibangun dengan sistem, kelemahan kita terbuka lebar, seperti yang terlihat saat melawan Jepang,” ucapnya.
Pada akhirnya, Jepang menunjukkan tidak ada jalan pintas menuju kejayaan. Naturalisasi bisa menjadi pelengkap, tapi tidak bisa jadi strategi utama. PSSI harus mulai berani berinvestasi pada pembinaan jangka panjang, membenahi liga secara menyeluruh, dan mempercayai pelatih-pelatih muda serta pemain lokal sejak usia dini.
Kalau tidak, kata dia, Indonesia hanya akan terus mengulang pola yang sama: euforia sesaat, lalu realitas pahit datang mengetuk. “Dan tim seperti Jepang akan selalu jadi cermin, bukan lawan sepadan. Bukan karena mereka lebih berbakat, tapi karena mereka lebih bersungguh-sungguh membangun,” tutupnya.
Jepang, malam itu, bukan hanya lawan. Mereka adalah cermin. Dan cermin, seperti biasa, tak pernah bohong. Ia memantulkan semua seperti kelemahan, ketidaksiapan, dan mimpi-mimpi yang belum dibangun dengan fondasi kuat.
Jadi, jika Garuda belum bisa terbang ke langit Piala Dunia, itu bukan karena sayapnya rusak. Mungkin, ia hanya belum cukup dilatih untuk terbang jauh. Karena sepak bola, seperti hidup, bukan tentang siapa yang cepat melesat tapi siapa yang bersabar menanam, menyiram, lalu menuai.