Sound horeg tidak muncul secara tiba-tiba, ia adalah efek limpahan energi rakyat yang tertekan. Bunyi sound horeg yang berdentum, kotor, dan kadang tajam bukanlah kehendak artistik, tapi ledakan bawah sadar kolektif.
Di Jawa Timur, sound horeg menjadi polemik karena dibenci sekaligus dinikmati. Yang membenci memang banyak, karena suara ‘horeg’ begitu mengganggu. Memekakkan telinga, merusak rumah-rumah warga. MUI Jatim sampai mengharamkannya karena menimbulkan mudharat yang besar.
Namun, yang mencintainya pun tak sedikit. Kalau kita melihat berbagai potongan video di Internet, parade speaker raksasa ini dipuja ribuan orang. Disambut dan dirayakan seperti manusia mengelilingi ‘totem’. Tak jarang mereka ‘berkorban’, berani membayar untuk menikmatinya.
Pertanyaannya, Kenapa Fenomena Sound Horeg Muncul?
Kalau kita perhatikan dengan saksama, sound horeg adalah sebuah ledakan perlawanan. Ia muncul dari ketimpangan sosial. Ketika kelas menengah atas menikmati hiburan privat dan eksklusif, kelas bawah menciptakan panggungnya sendiri.
Ini lahir dari minimnya ruang ekspresi publik yang sehat dan terarah. Masyarakat kehilangan seni rakyat yang dulu menjadi medium ‘pelepasan’ emosi dan batin seperti wayangan, gamelan, dan teater rakyat.
Di saat bersamaan, terjadi degradasi spiritualitas dalam budaya sehari-hari. Suara-suara di ruang publik yang dulunya ‘harmoni’ seperti adzan yang indah, nadhom shalawatan yang menenangkan, atau nyanyian sinden yang merdu, kini digantikan oleh ‘dentuman kosong’. Disrupsi digital dan algoritma viral membuat ‘noise’ lebih laku dibandingkan ‘nuance’.
Maka dari sudut pandang ini, sound horeg adalah reaksi, bukan sebuah inisiatif apalagi inovasi. Ia tidak lahir dari energi peradaban yang ingin tumbuh, tapi meledak di tengah rakyat yang tertekan dan ingin didengar.
Katarsis Kelas Bawah
Mereka yang mencemooh sound horeg sebagai konsumsi ‘SDM rendah’ mungkin lupa, bahwa hinaan dan luka yang mereka terima dalam jangka panjang itulah justru yang melahirkannya. Selama ini mereka mendapatkan perlakukan yang menindas dan melukai di berbagai segi kehidupan, tak ada yang membela.
Akhirnya, pada suara horeg-lah mereka mengadu. Sound horeg adalah katarsis kelas rakyat, di mana mereka bisa tertawa untuk menutupi luka, berjoget untuk menunda tangis, berdentum untuk mengumumkan bahwa mereka ada, dan berparade untuk menemukan ‘sesama’ agar hidup terasa baik-baik saja.
Dalam teori kebudayaan, ini adalah ‘resistensi lunak’. Sebuah ritua rakyat yang berusaha tetap waras di tengah tekanan yang gila dan negara yang absen. Mereka tidak berdemo atau melakukan protes, mereka melahirkan dentuman yang bisa dinikmati.
Semakin Ditekan, Semakin Besar
Sebuah resistensi memiliki karakter yang khas. Semakin Ditekan, justru semakin besar. Seperti api kecil dalam sekam, tumbuh dalam diam, semakin ditutupi justru semakin mencari cara untuk membakar.
Maka fatwa haram MUI, proses hukum kepolisian, dan bentuk-bentuk represi lainnya hanya akan menciptakan masalah baru. Jika ditutup di sini, dentuman akan lahir dengan cara lainnya.
Yang harus dilakukan saat ini adalah mencarikan alternatif ruang ekspresi rakyat. Negara harus hadir memfasilitasi dan mengarahkan. Hadirkan lagi kesenian rakyat, musik dan teater publik, agar kelas bawah punya katarsis yang benar.
Kaum agamawan juga perlu bertanya mengapa rakyat bisa kehilangan daya sensitivitas? Apakah fungsi agamawan untuk merawat spiritualitas publik selama ini sudah dijalankan dengan baik? Atau menjadi terlalu kaku dan formalistik, hanya dengan stempel halal-haram?
Jika dibiarkan tanpa pengarahan, sound horeg bisa menginspirasi munculnya disonansi bangsa ini. Ia bukan hanya ekspresi lagi, tapi fenomena yang mengikis sensitivitas batin kolektif. Manusia Indonesia jadi kebal terhadap keheningan, tidak nyaman dengan kesadaran reflektif.
Manusia adalah makhluk vibrasi, vibrational being. Kesadaran bergetar di sel-sel tubuhnya, pikirannya, perasaannya dan batinnya. Bayangkan manusia dihantam dentuman suara hingga 130db secara intens? Bahkan kaca bisa pecah dan dinding bisa retak. Demikian juga sisi lembut kemanusiaan, bisa rusak dan ambrol.
Akhirnya, jangan marahi dan rendahkan sound horeg. Mereka harus dirangkul dan diarahkan. Barangkali bukan penikmat sound horeg yang tuli, tapi negara dan para pemangku budaya dan spiritual selama ini tidak mendengarkan jeritan rakyat yang menggelegar dalam kesunyian.
Sound horeg bukan sekadar suara. Ia adalah gema dari rakyat yang tak lagi punya kata. Maka sebelum kita mematikan speaker mereka, dengarkan dulu… barangkali yang bising itu bukan
dentumannya, tapi kecuekkan kita yang mendiamkan dan menyepelekan mereka.