Ilustrasi. (Desain: inilah.com/inu)
Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp Inilah.com
Di awal atau akhir tahun ajaran, ragam sekolah tampak begitu aktif mempromosikan prestasi akademik dan nonakademik siswanya di berbagai media. Sekolah-sekolah swasta favorit memasang foto-foto siswa di videotron, sekolah lainnya mencetak poster besar untuk memperlihatkan betapa ciamiknya siswa-siswa mereka. Keberhasilan meraih perguruan tinggi negeri atau swasta favorit, kemenangan di lomba-lomba di berbagai bidang, serta hal-hal membanggakan lain turut dipajang. Media sosial sekolah pun penuh ucapan selamat bagi siswa berprestasi.
Di era kekinian, lazim memajang keberhasilan siswa di panggung depan sekolah. Dari sisi motivasi, tentu setiap sekolah punya tujuannya masing-masing: menunjukkan bahwa sekolah berhasil membangun anak-anak menjadi siswa berprestasi, atau mengkapitalisasi prestasi sebagai daya tarik bagi orangtua. Sekolah dengan prestasi semarak lebih dilirik orangtua yang mengidamkan anak-anaknya berprestasi.
Tak heran jika antrian panjang terjadi untuk masuk ke sekolah swasta elite favorit berbiaya mahal. Kaum berpunya bersemangat memasukkan anak ke sekolah jenis ini yang dianggap mampu mengakomodasi kebutuhan mereka. Di sekolah negeri, semakin meriah ragam prestasi yang dipertunjukkan, minat masyarakat untuk masuk pun semakin tinggi. Tampilan itu seolah memberi garansi sekolah sudah berhasil mendidik anak-anak.
Posisi Anak “Biasa-biasa”
Namun, di tengah gegap gempita prestasi yang dipajang, di mana posisi anak-anak yang “biasa-biasa” saja secara prestasi akademik? Ada variasi anak-anak tersebut. Misalnya, anak yang dalam keseharian belajar punya prestasi rata-rata, tidak bermasalah, tapi juga tak memiliki gairah mengikuti ragam kompetisi. Anak tipe ini tidak menonjol secara akademik, tapi juga tidak bermasalah di sekolah.
Jika anak yang dianggap “nakal dan bermasalah” mendapat perhatian ekstra, dan anak berprestasi dapat panggung besar, maka anak “biasa” ini tidak mendapat lampu sorot memadai. Dalam pendidikan yang kompetitif ini, menjadi “biasa-biasa” nampak tak cukup. Mereka jarang disorot, namanya tak muncul dalam pengumuman upacara bendera, videotron, spanduk, apalagi brosur penerimaan siswa baru.
Dalam posisi itu, pendidikan di negeri ini tampak bermasalah. Lampu sorot dari sekolah bukan untuk semua anak. Sekolah tampak bias memberi perhatian pada yang super berprestasi atau bermasalah. Padahal setiap anak punya hak mendapatkan porsi perhatian besar dari pengelola pendidikan. Setiap anak punya waktu untuk tumbuh dan mengoptimalkan potensinya.
Masuk sekolah berarti anak memiliki harapan membangun pikiran dan batinnya. Di era modern, sekolah jadi medium utama di mana anak mengolah diri, memperkuat kompetensi dan nalar, serta mengenali dirinya. Harapan itu disematkan pada persekolahan, sebab di sanalah berkumpul kaum cerdik cendekia. Pencerahan diharapkan datang melalui sekolah. Khusus anak keluarga miskin, sekolah jadi harapan terbaik penguatan diri menghadapi masa depan.
Dalam perspektif Petra Mikulan dan Nathalie Sinclair, sebagai penyedia layanan publik, sekolah bertanggung jawab pada perkembangan moral dan kognitif anak, serta membangun warga negara dengan pertumbuhan diri stabil dan sehat (Mikulan dan Sinclair, 2023). Ini berarti sekolah harus memperlakukan setiap siswa dengan adil, memberi kesempatan setara bertumbuh dan mengenali passion serta kompetensinya.
Perlakuan Setara
Artinya, bukan hanya siswa berprestasi menonjol yang berhak diapresiasi, tetapi semua siswa termasuk yang “biasa-biasa”. Setiap siswa berhak mendapat panggung setara. Kita tidak pernah tahu kapan potensi anak akan menjulang. Ada yang potensinya tak terlihat di sekolah tapi cemerlang setelah lulus, ada yang konsisten berprestasi, dan ada juga yang mumpuni di sekolah tapi menghadapi perjuangan berat pasca sekolah.
Sekolah tidak menjamin kesuksesan atau kegagalan seseorang. Yang harus jadi patokan adalah sekolah membuka kesempatan bagi setiap anak membangkitkan potensi dan mengenal dirinya secara utuh. Pendidikan tidak hanya membangun pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan industri-ekonomi, tapi juga membentuk peserta didik yang dapat berpartisipasi dalam masyarakat dan demokrasi inklusif (Kemmis dan Edwards-Groves, 2018).
Beberapa pihak berpendapat, memajang prestasi sekolah bertujuan memotivasi anak agar jadi pribadi lebih baik. Namun dalam praktik ada jebakan jika sekolah berlebihan memberi apresiasi pada yang berprestasi. Selain jebakan komodifikasi prestasi anak untuk pemasaran sekolah, jika tidak dikelola dengan kesadaran penuh, anak-anak cenderung bertarung sesama dan melupakan bahwa pertarungan sejati adalah menjadi pribadi lebih baik dari diri mereka sendiri.
Di dunia kompetitif dan kadang tanpa belas kasih, pengagungan prestasi bukan yang utama. Tantangan adalah anak memiliki alasan kuat memahami mengapa mereka harus berpendidikan (start with why, Sinek, 2009), bertambah baik 1 persen (Atomic Habits, Clear, 2018), membangun kebiasaan (Duhigg, 2012), kecerdasan emosional (Goleman, 1995), kekokohan grit (gairah dan ketekunan, Duckworth, 2016), serta pola pikir berkembang (growth mindset, Dweck, 2017).
Referensi populer tersebut mengajarkan bahwa pertandingan anak bukan dengan teman atau orang lain, tapi dengan diri sendiri. Seperti pesan para filsuf bijak. Namun kemampuan sekolah mengoptimalkan potensi anak perlu dukungan kebijakan pendidikan.
Jika diserahkan pada upaya personal, yang memperoleh kekuatan personalitas tersebut kemungkinan besar mereka dengan modal ekonomi lebih baik. Negara harus memenuhi kebutuhan itu, sebab pengembangan diri adalah kebutuhan dasar yang wajib diberikan (Pasal 28C UUD 1945). Pendidikan juga bagian dari hak asasi manusia. Keberpihakan negara membangun pendidikan adalah janji yang harus terus ditagih warga.