Keberhasilan imunisasi kini bukan sekadar urusan kesehatan tapi juga kontes adu kuat antara kebenaran dan kabar burung alias hoaks yang kian gencar. Tak heran, data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan hampir satu juta anak Indonesia belum tersentuh imunisasi dasar pada 2024.
Banyak orang tua masih percaya pesan grup WhatsApp tetangga atau media sosial yang menebar informasi salah ketimbang pendapat dokter Puskesmas. Akibat banyaknya hoaks, orang tua pun enggan membawa anaknya vaksinasi. Salah satunya isunya adalah imunisasi malah bisa membuat si anak sakit.
Namun tidak sedikit ibu-ibu cerdas tetap mengusahakan agar buah hatinya, mendapat perlindungan imunisasi lengkap secara gratis dari pemerintah. Salah satunya Dilla, seorang ibu rumah tangga yang dengan bangga menyatakan anaknya sudah mendapat 14 imunisasi, sesuai yang diwajibkan pemerintah di usia 18 bulan.
“Anak saya sudah selesai imunisasi wajib di usia 18 bulan. Menurut saya imunisasi itu sangat penting. Kekebalan tubuh pada bayi dan balita belum terbentuk dengan sempurna sehingga imunisasi diberikan untuk membantu pembentukan kekebalan tubuh kepada bayi/balita, yang tubuhnya masih rentan terhadap berbagai penyakit,” tutur Dilla kepada Inilah.com saat dihubungi di Jakarta, Selasa (29/4/2025).
Ia memilih untuk mengimunisasi sang anak di klinik gratis karena selain tak perlu keluar uang, juga mudah dan cepat dengan lokasi tidak jauh dari rumah serta jadwalnya tersedia di hari libur.
Meski semangat menjaga buah hatinya dari berbagai virus dan penyakit, Dilla mengakui sempat khawatir, namun hal ini sirna setelah ia mencari tahu berbagai manfaat dari imunisasi. Ia pun akhirnya mantap membawa si buah hati untuk melakukan vaksinasi.
“Imunisasi dilakukan untuk kebaikan anak-anak untuk menangkal penyakit-penyakit yang banyak terjadi di indonesia. Pemerintah juga sudah memberikan imunisasi secara gratis,” ungkapnya.
Pejuang Akal Sehat
Dilla adalah contoh pejuang akal sehat yang tetap bertahan di tengah serbuan hoaks. Namun ia tak sendiri, banyak kalangan ibu yang tetap percaya manfaat vaksin seperti Melalusa Susthira alias Uca.
Working mom yang bekerja di salah satu perusahaan media itu mengungkapkan, anak kesayangannya sudah mendapatkan 11 vaksin selama satu tahun ini. Tinggal tiga vaksin lagi yang diwajibkan Kemenkes yang belum didapatkan si buah hati. Ia juga lebih memilih mendatangi Puskesmas terdekat untuk imunisasi gratis alias ditanggung oleh pemerintah.
Uca mengakui memang banyak pro-kontra terhadap pemberian imunisasi anak. Namun menurutnya, orang tua perlu memberikan vaksin sebagai pemenuhan hak anak akan kesehatan dan hidup layak. “Tapi semuanya kembali kepada orang tuanya masing-masing. Apabila mampu, orang tua juga dapat memberikan vaksin lainnya di luar tanggungan pemerintah,” sambungnya.
Berbeda dengan Dilla dan Uca, ibu pekerja rumah tangga bernama Mita lebih memilih memberikan imunisasi berbayar, kepada kedua anaknya di Rumah Sakit (RS) dengan alasan kala itu Indonesia sedang diterpa pandemi Covid-19. Mita mengaku tidak ada keraguan dalam dirinya untuk memberikan imunisasi bagi sang anak, tetapi ia sempat khawatir apakah vaksin yang diberikan itu halal atau tidak.
“Alhamdulillah vaksin yang disediakan di RS sudah halal dan tersertifikasi BPOM. Yuk para Bunda, ajak bayi dan anak untuk imunisasi lengkap, terutama imunisasi wajib pemerintah yang sekarang sudah disediakan gratis di Puskesmas setiap daerah. Dengan imunisasi, insya Allah bayi dan anak menjadi lebih kuat saat menghadapi virus dan bakteri berbahaya yang menyerang tubuhnya,” tandasnya.
Sebagai informasi, Kemenkes mewajibkan 14 imunisasi untuk anak yakni imunisasi dasar lengkap pada bayi usia 0-11 bulan, berupa BCG Polio 1 untuk mencegah penularan tuberculosis dan polio, DPT-HB-Hib 1 Polio 2 untuk mencegah polio, difteri, batuk rejan, tetanus, hepatitis B, meningitis dan pneumonia, DPT-HB-Hib 2 Polio 3, DPT-HB-Hib 3 Polio 4, serta campak.
Kemudian imunisasi lanjutan pada bayi usia 18-24 bulan terdiri dari DPT-HB-Hib 1 dosis berfungsi untuk mencegah penyakit difteri, pertusis, tetanus, hepatitis B, pneumonia, dan meningitis, dan imunisasi campak rubella 1 dosis.
Sementara itu, imunisasi lanjutan pada anak sekolah dasar mencakup imunisasi campak rubella dan difteri tetanus (DT) pada anak kelas 1. Imunisasi DT pada anak kelas 2 dan kelas 5. Adapun penambahan tiga imunisasi lainnya adalah vaksin Pneumococcal Conjugate Vaccine (PCV), vaksin Rotavirus, dan vaksin Human Papilloma Virus (HPV).
Anak Belum Divaksin Tiap Tahunnya Meningkat
Sayangnya, tak semua orang tua seberani Dilla, Uca, dan Mita. Kemenkes mengungkapkan jumlah anak yang belum mendapatkan imunisasi dasar atau zero dose terus meningkat setiap tahun. Pada 2024, angkanya melonjak menjadi 973 ribu anak, naik tajam dibanding 662 ribu anak pada 2023.
“Pemerintah berkomitmen agar imunisasi memiliki cakupan tinggi dan merata. Anak-anak yang sudah telanjur zero dose tetap harus dikejar. Kalau pun terlambat, bukan berarti mereka tidak bisa divaksin sama sekali,” ujar dr. Prima Yosephine Berliana Yumiur Hutapea, MKM, Direktur Pengelolaan Imunisasi Kemenkes dalam sebuah diskusi di Menteng, Jakarta Pusat.

Menurut dr. Prima, tren kenaikan angka zero dose sejak 2022 menjadi alarm bahwa cakupan imunisasi belum optimal. Akibatnya, sejumlah penyakit yang seharusnya dapat dicegah justru kembali muncul di berbagai daerah.
“Ini bukti bahwa kita tidak baik-baik saja. Cakupan imunisasi pada 2021 hingga 2023 tidak mencapai target, sehingga memicu lonjakan penyakit seperti campak, rubella, tetanus pada bayi baru lahir, difteri, pertusis, hingga polio. Wilayah terdampak paling banyak ada di Sumatera dan Jawa,” paparnya.
Ia pun mengingatkan bahwa kondisi ini bisa mengancam pencapaian target eliminasi polio dan campak-rubella pada 2026. “Dengan kondisi seperti ini, target eliminasi pada 2026 akan sulit tercapai. Padahal sebagai negara besar, kita seharusnya bisa mengatasi hal ini,” tandasnya.
Sementara Plt. Direktur Jenderal Penanggulangan Penyakit dari Kementerian Kesehatan RI Murti Utami mengakui hoaks atau kabar bohong menjadi tantangan dalam menangani vaksinasi atau imunisasi di Indonesia.
Murti yang berbicara dalam forum MSD IVAXCON (Indonesia Vaccine Convention) bertajuk Future of Humanity: Immunization for All, menjelaskan, imunisasi memiliki peran kunci penguatan pelayanan kesehatan primer dalam pengendalian respons kejadian luar biasa.
“Tapi kita juga menghadapi tantangan lain yaitu hoaks, opini-opini yang beredar tidak jauh dari lingkungan kita,” ujar Murti saat ditemui Inilah.com, Jakarta Selatan, Sabtu (26/4/2025).
Menurut Murti, hal itu terjadi lantaran masyarakat tidak mendapatkan informasi yang cukup jelas terkait pentingnya imunisasi. “Orang tua masih takut anak-anaknya yang diimunisasi mendapat efek samping. Hoaks-hoaks ini memang perlu kita luruskan, supaya jangan ada opini-opini yang tidak baik,” tegas Murti.
Lebih lanjut Ia mengingatkan, misi pemerintahan yang akan menjadikan Indonesia Generasi Emas pada 2045. Untuk itu, Murti menekankan pelaksanaan imunisasi penting demi membangun generasi yang lebih sehat. “Imunisasi itu tidak hanya memberikan perlindungan secara individu. Tapi ini juga akan menciptakan kekebalan sebuah kelompok,” sambung Murti.
Sepertinya literasi publik harus terus digencarkan guna menangkal hoaks akibat ulah jempol-jempol gatal yang menyasar nasib anak-anak balita. Kalau ini tidak dilakukan, bukan cuma wabah polio yang bisa bangkit dari kubur tapi juga reputasi Indonesia sebagai calon Generasi Emas 2045 bisa berubah jadi ‘Generasi Gemas tapi Lemas’.