Wakil Ketua Komisi XI dari Fraksi Partai NasDem, Fauzi Amro. (Foto: Inilah.com/Diana)
Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp Inilah.com
Kabar gembira datang dari negosiasi dagang Indonesia dan Amerika Serikat (AS). Tarif resiprokal, yang sebelumnya membebani produk ekspor Indonesia ke AS, kini menciut lumayan drastis. Dari semula 32 persen, kini hanya tersisa 19 persen. Sebuah penurunan signifikan yang disambut suka cita, meski ada pil pahit yang harus ditelan.
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Fauzi Amro, tak bisa menyembunyikan rasa syukurnya. Di NasDem Tower, Gondangdia, Jakarta Pusat, Jumat (18/7/2025), ia melontarkan pujian setinggi langit untuk Presiden Prabowo dan tim negosiatornya. “Ini hal luar biasa yang dilakukan Pak Prabowo sebagai Presiden dengan tim negosiator,” kata Fauzi, sumringah.
Namun, di balik kegembiraan itu, tersimpan paradoks yang menarik. Penurunan tarif ini memang menguntungkan konsumen Indonesia secara langsung. Bayangkan, barang impor dari AS kini berpotensi masuk dengan tarif nol persen!
Tentu saja, ini akan membuat harga jual di pasaran lebih kompetitif, bahkan bisa lebih murah. Konsumen tak perlu lagi menanggung beban tarif ganda yang memberatkan. “Dari sisi konsumen itu diuntungkan, tarifnya tidak double seperti itu,” tegas Fauzi, mencoba meredakan kekhawatiran.
Meski demikian, kebijakan ini bak buah simalakama bagi pemerintah. Di satu sisi, penurunan tarif resiprokal ini memang membuka keran ekspor produk Indonesia ke AS lebih lebar. Produk-produk kita yang selama ini tercekik tarif tinggi, kini bisa bernapas lega.
Fauzi menyebut, sekitar 9,9 hingga 10 persen produk ekspor Indonesia ke Amerika tidak akan ‘mati’ karena tarif yang mencekik. Ini tentu kabar baik bagi industri dan pelaku usaha dalam negeri.
Namun, sisi lain dari koin ini adalah potensi kerugian bagi kas negara. Amerika Serikat, sebagai mitra dagang, justru akan menikmati tarif nol persen untuk produknya yang masuk ke Indonesia. Ini berarti pemerintah Indonesia kehilangan potensi pendapatan dari bea masuk.
Sebuah dilema klasik antara kepentingan produsen domestik, daya beli konsumen, dan pemasukan negara.
“Dari sisi pemerintah memang dirugikan,” aku Fauzi jujur. Kendati demikian, ia menepis anggapan miring publik yang menyebut Indonesia seakan ‘dijual’ karena AS tidak dikenakan pajak sama sekali. “Itu kan pandangan netizen. Pandangan pemerintah kan kita bersyukur barang ini turun dulu, itu juga yang prinsipnya,” tukasnya, mencoba meluruskan persepsi.
Saat ini, sorotan masih tertuju pada kelanjutan sikap pemerintah. Fauzi menyatakan pihaknya masih menunggu dan mencermati syarat-syarat apa saja yang akan diajukan AS kepada Indonesia sebagai bagian dari kesepakatan ini. Ini menjadi krusial, mengingat setiap kebijakan perdagangan internasional selalu memiliki implikasi yang kompleks dan berlapis.
Bagaimana pun, penurunan tarif resiprokal ini adalah sebuah langkah maju. Meski ada pro dan kontra, dampaknya terhadap ekosistem perdagangan dan perekonomian nasional akan terasa.
Pertanyaannya, mampukah pemerintah menyeimbangkan kepentingan konsumen, produsen, dan penerimaan negara di tengah dinamika perdagangan global yang terus berubah? Hanya waktu yang akan menjawabnya.