Ilustrasi pasir konsentrat hasil tambang PT Freeport Indonesia dimuat kapal di Portsite PT Freeport Indonesia, Kabupaten Mimika, Papua Tengah (Foto: ANTARA/Agus Salim).
Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp Inilah.com
Ada analisa tak enak terkait keputusan pemerintah Indonesia menerima tarif resiprokal 19 persen dari pemerintah Amerika Serikat (AS). Indonesia semakin sulit naik kelas, menjadi negara maju secara ekonomi.
Kepala Departemen Makroekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), M Rizal Taufikurahman menyampaikan, pemerintah Indonesia perlu mewaspadai risiko middle-income trap, atau jebakan negara berpenghasilan menengah, semakin sulit dihindari. Dampak dari kesepakatan tarif resiprokal 19 persen dengan AS.
“Sektor hilirisasi dan peningkatan ekspor produk manufaktur perlu diintensifkan agar Indonesia tidak terjebak dalam middle-income trap akibat dominasi ekspor berbasis bahan mentah,” ujar Rizal dikutip dari Antara, Jakarta, Rabu (16/7/2025).
Ia menuturkan, dominasi ekspor berbasis bahan mentah, seperti tembaga, dapat memperlemah struktur ekonomi nasional dalam jangka panjang.
Hal tersebut menyoroti pernyataan Presiden AS Donald Trump yang mengincar impor komoditas tembaga dari Indonesia usai menurunkan tarif impor terhadap produk Indonesia dari 32 persen menjadi 19 persen.
“Tembaga adalah komoditas strategis yang bukan hanya memiliki nilai komersial tinggi, tetapi juga penting bagi roadmap hilirisasi nasional dan pengembangan sektor energi terbarukan,” ucapnya.
Rizal menyebut, jika ekspor tembaga dilepas secara besar-besaran tanpa pengaturan ketat, potensi eksploitasi berlebihan (over-exploitation) dan kerusakan lingkungan akan sangat sulit dihindari.
Ia pun meminta pemerintah untuk segera menetapkan kebijakan kuota ekspor, kewajiban pasokan dalam negeri (domestic market obligation), serta skema harga ganda untuk melindungi kebutuhan nasional dan nilai tambah tidak hilang begitu saja ke luar negeri.
“Ini penting untuk menjaga kedaulatan ekonomi nasional dan memastikan bahwa pengelolaan sumber daya alam tetap sejalan dengan prinsip sustainability dan kepentingan jangka panjang bangsa,” katanya.
Rizal menekankan agar setiap perjanjian dagang dengan mitra besar, seperti Amerika Serikat, selalu disertai mekanisme pengaman (safeguard mechanism) dan evaluasi berkala.
Ia mengatakan prinsip kemandirian dan daya saing nasional harus menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan perdagangan internasional yang ditempuh pemerintah.
“Kita tentunya tidak berkenan kembali ke pola dagang yang bersifat kolonial modern, di mana akses ekspor justru dibayar mahal dengan ketergantungan importasi dan eksploitasi sumber daya nasional yang tidak terkendali,” imbuhnya.
Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump mengumumkan pemberlakuan tarif impor sebesar 19 persen terhadap produk Indonesia yang masuk ke AS, berdasarkan kesepakatan langsung dengan Presiden Prabowo Subianto.
Selain penetapan besaran tarif, Trump menuturkan kesepakatan tersebut juga mencakup komitmen Indonesia membeli komoditas energi dari AS senilai 15 miliar dolar AS dan produk agrikultur senilai sebesar 4,5 miliar dolar AS.
Presiden AS tersebut juga menyebutkan adanya komitmen Indonesia membeli 50 pesawat Boeing baru, yang sebagian besar merupakan Boeing 777.