Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai kebijakan pemerintah untuk memangkas dana transfer keuangan daerah (TKD) 2026 mendatang akan berpotensi menimbulkan kericuhan. Kebijakan ini juga berpotensi membuat daerah serampangan menaikan pajak.
“Ini keputusan yang sangat berisiko yang saya harap disesuaikan dalam APBN nantinya. Jika tidak, ini akan menimbulkan kericuhan di daerah, karena Pemda akan kesulitan dana dan mencoba mencari pendapatan tambahan, dengan meningkatkan pajak atau retribusi daerah secara serampangan,” tutur Wijayanto kepada inilah.com saat dihubungi di Jakarta, Rabu (20/8/2025).
Mestinya pemerintah berkaca pada kasus yang terjadi di Pati dan Bone, Sulawesi Selatan, dimana kepala daerah tidak mempunyai pilihan untuk menambah pendapatan selain dengan menaikan pajak. Hal ini, sambung dia, sudah barang tentu akan mengganggu iklim usaha di daerah dan berpotensi menimbulkan kemarahan publik.
“Kita harus belajar dari pengalaman Pati. Dengan transfer daerah versi tahun 2024 dan 2025 yang nilainya masih lumayan saja, Pemda kesulitan keuangan, apalagi jika jadi dipangkas nanti,” ujarnya.
Ia mengakui memang ada begitu banyak belanja APBN yang akan diorientasikan untuk masyarakat daerah, seperti program makan bergizi gratis (MBG), 3 juta rumah dan Kopdes Merah Putih. Namun menurutnya, tetap saja pemerintah jangan memangkas dana APBD.
“Tetapi ini tidak ada hubungannya dengan APBD. Saat ini, 80 persen APBD berasal dari transfer pusat, dan 85 persen APBD dibelanjakan untuk belanja rutin yang sulit untuk dihemat. Bisa dibayangkan jika transfer dari pusat dipotong 25 persen, Pemda pasti akan berteriak,” kata dia.