UUD 1945, Dari Naskah ke Aksi: Menggali Kembali Semangat Menjadi Bangsa Mandiri

UUD 1945, Dari Naskah ke Aksi: Menggali Kembali Semangat Menjadi Bangsa Mandiri


Kemerdekaan bukan sekadar bebas dari penjajahan, tetapi juga mencakup kemandirian dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Lalu, bagaimana kemandirian sebagai roh dari konstitusi pada konteks kondisi Indonesia saat ini?

 

Perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Republik Indonesia pada 17 Agustus tahun ini menjadi momentum sangat penting untuk merefleksikan perjalanan bangsa dalam mencapai dan mempertahankan kemerdekaan. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai konstitusi negara atau hukum dasar tertulis yang menjadi landasan hukum tertinggi di Indonesia, memuat nilai-nilai dasar yang menjadi pedoman dalam mewujudkan kemerdekaan sejati. Penting diketahui, beberapa prinsip dalam UUD 1945 yang relevan dengan semangat kemandirian di antaranya:

Prinsip Kedaulatan Rakyat: 

Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Prinsip ini menegaskan bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, yang memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Kedaulatan rakyat menjadi dasar bagi terwujudnya kemandirian politik dan partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan.

Prinsip Keadilan Sosial: 

UUD 1945 menjamin keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Pasal 33 dan 34). Prinsip ini menuntut adanya pemerataan pembangunan dan kesejahteraan yang adil bagi seluruh lapisan masyarakat. Keadilan sosial menjadi landasan bagi terciptanya kemandirian ekonomi dan mengurangi kesenjangan sosial yang dapat menghambat kemajuan bangsa.

Prinsip Kesejahteraan Umum: 

Pembukaan UUD 1945 menyebutkan tujuan negara adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Hal ini mengindikasikan bahwa negara bertanggung jawab untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan seluruh rakyatnya hidup sejahtera. Kesejahteraan umum menjadi tujuan akhir dari upaya pembangunan dan kemandirian bangsa.

Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, UUD 1945 juga memberikan arahan yang jelas. Prinsip-prinsip ekonomi yang terkandung dalam UUD 1945, seperti pemanfaatan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 33), menjadi dasar bagi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Meskipun UUD 1945 telah memberikan landasan yang kuat, berbagai masalah dan tantangan dalam mewujudkan kemandirian bangsa masih sangat terpampang di usia 80 tahun kemerdekaan ini. Beberapa masalah yang perlu dihadapi antara lain, yakni ketimpangan pembangunan berupa  kesenjangan pembangunan antardaerah dan antarkelompok masyarakat masih menjadi masalah yang harus diatasi.

Kemudian, masalah ketergantungan pada pihak asing. Meskipun sudah merdeka, Indonesia masih menghadapi tantangan dalam mengurangi ketergantungan pada negara lain di berbagai bidang. Selanjutnya, masalah perlindungan sumber daya alam. Di sini, pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan berkeadilan masih menjadi pekerjaan rumah yang besar.

Namun, dengan semangat kemerdekaan yang harus terus membara dan landasan konstitusi yang kuat, Indonesia sejatinya memiliki peluang besar untuk mengatasi bermacam masalah tersebut dan mewujudkan kemandirian sejati.

UUD 1945 sebagai dasar hukum yang vital dalam mewujudkan kemandirian bangsa Indonesia, dengan memahami dan mengamalkan prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya, seperti kedaulatan rakyat, keadilan sosial, dan kesejahteraan umum, Indonesia dapat terus maju dan mandiri di berbagai bidang. HUT ke-80 RI ini menjadi momentum untuk memperkuat komitmen dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan yang sejati, yaitu bangsa yang merdeka, berdaulat, dan mandiri.

Kemandirian sebagai Roh dari Konstitusi

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie mencermati perjalanan 80 tahun kemerdekaan Indonesia dalam konteks UU 1945. Jimly memaknai kemandirian sebagai roh dari konstitusi yang merupakan wujud kedaulatan rakyat. “Yang berdaulat itu rakyat. Merdeka, bersatu, adil dan makmur, itu lah cita-cita konstitusi kita,” kata Jimly kepada Inilah.com di Jakarta, Jumat (8/8/2025).

post-cover
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie. (Foto: Dok. Antara/Fathur Rochman)

Bahkan, Jimly menekankan, konstitusi itu sebagai konsensus norma tertinggi bernegara. Baginya, kalau pun ada norma hukum internasional yang disepakat antarnegara, maka tidak langsung berlaku kecuali harus diratifikasi terlebih dulu berdasarkan konstitusi. Ratifikasinya melalui undang-undang. Dengan begitu maka baru berlaku jadi hukum nasional.

“Itu cirinya, konsitusi kita itu mengakui kekuasaan tunggal, kemandirian nasional kita sebagai negara hukum. Bahkan hukum luar negeri, hukum internasional pun tidak boleh langsung dipraktikan di dalam (negeri),” ujar pakar hukum tata negara ini.

Namun begitu, menurut Jimly dalam ulasannya, hal ini bukan hanya mengenai hukum internasional, tapi juga menyangkut ideologi politik hingga ideologi ekonomi yang berkembang di seluruh dunia,  sehingga tidak boleh langsung dipraktikan ke dalam negeri. “Harus disaring dulu oleh UUD. Itulah, ciri dari kemandirian kita sebagai bangsa,” ucap Jimly, menegaskan.

Urgensi Amandemen ke-5 UUD 1945

Sepanjang perjalanan konstitusi selama 80 tahun, Indonesia telah melakukan empat kali amandemen UUD 1945 dalam kurun waktu empat tahun, yakni 1998-2002, atau di awal-awal Era Reformasi. Amandemen keempat UUD 1945, yang dilakukan tahun 2002, membawa perubahan signifikan dalam struktur dan substansi konstitusi.

Beberapa poin penting dari amandemen keempat ini meliputi, perubahan keanggotaan MPR, pemilihan presiden dan wakil presiden, kewenangan presiden, keuangan dan bank sentral, pendidikan dan kebudayaan, serta perekonomian dan kesejahteraan sosial. Secara keseluruhan, amandemen keempat UUD 1945 bertujuan untuk menyempurnakan sistem ketatanegaraan Indonesia, memperluas jaminan hak asasi manusia, dan memperkuat peran parlemen.

UUD 1945 ini memiliki beberapa masalah yang menjadi sorotan, terutama terkait dengan amandemen yang dilakukan. Beberapa masalah tersebut meliputi ketidakjelasan dan inkonsistensi dalam teori dan materi muatan, kekacauan struktur dan sistematika pasal-pasal, serta ketidaklengkapan konstitusi dan pasal-pasal yang multi-interpretatif. Selain itu, ada juga kritik terhadap sistem checks and balances yang belum memadai, serta kekhawatiran tentang potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga negara.

Dari permasalahan itu, urgensi amandemen kelima UUD 1945 ini salah satunya ditujukan untuk memperkuat kembali MPR dengan menghadirkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang sebelumnya pernah dihapuskan. Selanjutnya ada wacana penambahan masa jabatan presiden sebanyak 3 periode yang semula hanya 2 periode, yang di mana ini melanggar pasal 7 dalam UUD 1945 yang menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden menjabat selama lima tahun dan hanya bisa diperpanjang sebanyak satu kali.

Dengan begitu, urgensi amandemen kelima UUD 1945 terletak pada upaya untuk menyempurnakan sistem ketatanegaraan Indonesia. Amandemen ini juga bertujuan untuk mengatasi berbagai kelemahan dan ketidakjelasan dalam konstitusi, serta menanggapi dinamika sosial dan politik yang berkembang.

Pentingnya dilakukan amandemen kelima UUD 1945 disampaikan Jimly. Ia bahkan sudah mengusulkan pada periode sekarang momentumnya untuk mengadakan perubahan kelima. Sebab, amandeman UUD 1945 yang dilakukan sejak awal Era Reformasi sudah terlalu lama. “Kalau dihitung  sejak krisis moneter 1998, sudah 25 tahun. Jadi sudah saatnya dievaluasi, banyak yang perlu kita dievaluasi,” ucap Jimly, menekankan.

Evaluasi tersebut, baik itu karena naskah rumusan di UUD 1945-nya maupun sesudah implementasi selama 25 tahun. Menurut Jimly, sejauh ini malah semakin banyak orang yang ingin kembali ke UUD 1945 asli karena banyak yang mengecewakan. “Kinerja konstitusional kita selama 25 tahun ini banyak masalah. Maka kalau tidak dievaluasi, kapan lagi? Nah, selama periode yang lalu, itu sudah beberapa kali dibahas. Antara lain yang sudah disepakati, mau menata kembali MPR supaya MPR diberi kewenangan menetapkan GBHN,” kata Jimly dalam ulasannya.

post-cover
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menyampaikan pandangan dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (3/10/2024). (Foto: Inilah.com/ Diana Rizky)

Berbeda dengan Jimly, Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengamati banyak masalah dalam ketatanegaraan, tapi tidak sepenuhnya masalah ada pada UUD 1945. Bagi Bivitri, UUD 1945 memang bukan benda sakral, namun saat ini sama sekali bukan momentum tepat untuk mengamandemen, karena para politikus malah sudah mengambil ancang-ancang mau mengembalikan situasi ke Orde Baru, seperti sebelum amandemen UUD 1945 periode 1999-2002. “Saat ini tidak ada urgensi untuk mengamandemen UUD 1945,” kata Bivitri kepada Inilah.com di Jakarta, Senin (11/8/2025).

Dalam pandangan dia, hal ini sudah dimulai dari berbagai undang-undang, contohnya UU TNI dan juga narasinya sudah mulai tampak. Misalnya, keinginan untuk mengembalikan MPR ke kedudukan yang lama. Jadi, Bivitri menekankan, tidak perlu amandemen dulu dengan niat-niat yang sudah terbaca seperti itu. 

“Dan toh di masyarakat nggak ada pembicaraan ini, adanya hanya di kalangan elite. Karena ya intensi itu. Warga sekarang perlunya kesejahteraan, tidak diganggu kebebasan berpendapatnya dan lain-lain, semua itu tidak bisa diperbaiki dengan amandemen UUD, tetapi oleh tindakan konkret elite politik yang tidak hanya cari keuntungan untuk kelompoknya,” ujar Bivitri, menegaskan.

Komentar