Google kembali membuat gebrakan di ranah kecerdasan buatan (AI) dengan merilis Veo 3, sebuah model generatif video yang mampu menghasilkan klip hiper-realistis yang sulit dibedakan dari karya sineas manusia.
Dikenalkan dalam ajang Google I/O 2025, Veo 3 disebut mampu menerjemahkan perintah teks kompleks menjadi video berkualitas tinggi lengkap dengan dialog, efek suara, soundtrack, serta sinkronisasi bibir yang akurat. Bahkan, dalam beberapa contoh yang dibagikan pengguna di media sosial, Veo 3 menampilkan karakter manusia dengan lima jari per tangan dan alur visual yang nyaris sempurna tanpa celah teknis.
“Model ini dibangun berdasarkan kerja sama kami dengan para pembuat film dan kreator. Hasilnya adalah alat AI yang memberi mereka kebebasan kreatif sekaligus efisiensi tinggi,” ujar juru bicara Google DeepMind.
Salah satu contoh viral menunjukkan aktor-aktor virtual yang “memberontak” terhadap perintah AI, menggarisbawahi ketegangan antara kreativitas manusia dan otomatisasi digital.
Dengan harga langganan sekitar $249 per bulan (setara Rp4,2 juta), Veo 3 saat ini tersedia untuk pengguna Google AI Ultra di Amerika Serikat. Belum ada kejelasan mengenai jadwal peluncuran global termasuk Indonesia. Saat ini beberapa pengguna di Tanah Air sudah mulai menggunakan layanan tersebut dengan memakai VPN.
Meski menuai kekaguman atas kecanggihan teknisnya, Veo 3 juga mengundang kekhawatiran di kalangan profesional video dan pecinta seni visual. Beberapa menyebut konten AI sebagai “slop” atau karya dangkal, terlepas dari tampilannya yang mengesankan.
Sementara itu, kekhawatiran tentang sumber data pelatihan Veo 3 juga mengemuka. Tahun lalu, YouTuber terkenal Marques Brownlee mendapati bahwa alat serupa menghasilkan video yang mencerminkan identitas visual kontennya—menimbulkan dugaan soal penggunaan data tanpa izin.
Dengan makin majunya teknologi seperti Veo 3, pertanyaan besar kini membayangi industri film: siapa pemilik hak cipta atas video yang dibuat AI, bagaimana konsep persetujuan dalam representasi digital, dan apa dampaknya bagi pekerjaan kreatif?
Dunia mungkin baru saja memasuki era di mana batas antara realitas dan buatan makin kabur—dan belum ada peta jalan pasti untuk menavigasinya.