Suasana Masjidil Haram yang setiap musim haji selalu sesak oleh lautan manusia berseragam putih-putih, tahun ini sedikit berbeda. Tak ada rombongan jemaah kelas elit seperti kalangan pengusaha tajir, artis hingga pejabat asal Indonesia yang mengikuti haji furoda dengan pelayanan super mewah.
Pada 2025 ini, mimpi suci ribuan calon jemaah haji furoda menunaikan rukun Islam kelima harus kandas. Batas akhir persetujuan visa pada 26 Mei 2025 sudah berlalu, namun visa Furoda tak kunjung terbit.
Kenyataan pahit itu datang setelah pemerintah Kerajaan Arab Saudi menyebutkan visa Furoda tidak dikeluarkan tahun ini. Jenis visa ini biasanya digunakan oleh mereka yang tak sabar menunggu giliran ONH reguler hingga belasan tahun. Tapi tahun ini, pintu itu tertutup rapat. Sekitar 10.000 calon jemaah terpaksa menelan pil pahit tidak jadi berangkat.
Visa haji furoda bukan jenis haji bodong. Ini adalah jalur legal kuota mujamalah, melalui undangan pemerintah Arab Saudi. Tapi karena tak masuk dalam kuota resmi Pemerintah Indonesia, penyelenggaraannya diserahkan kepada pihak swasta tergabung dalam Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) atau sering disebut sebagai travel haji.
Calon jemaah haji Furoda merupakan kalangan the haves: orang-orang yang punya uang dan ambisi ke Tanah Suci lebih cepat. Para calon jemaah haji yang mengikuti cara ini sebagian besar merupakan pengusaha tajir termasuk dari daerah, para pejabat, bahkan kalangan artis.
Biaya yang harus mereka keluarkan bukan main besarnya. Menurut pelusuran di berbagai website PIHK, kisaran biaya haji furoda 2025 antara US$19.000 hingga US$60.000 atau sekitar Rp300 juta-an bahkan ada yang mencapai Rp900 juta.
Tingginya biaya haji furoda tentu terkait dengan fasilitas dan eksklusivitas yang tinggi pula. Misalnya saja, jemaah menginap di hotel bintang lima, dengan fasilitas transportasi premium, pendampingan ibadah pribadi, serta berbagai layanan kelas sultan lainnya. Makin wah layanan dan fasilitasnya, jelas makin mahal tarifnya.

Dana yang diperoleh dari sistem haji furoda ini sangat besar. Jika diasumsikan biaya rata-rata haji Furoda per jemaah adalah minimal Rp300 juta, maka total uang yang terkumpul dari 10.000 jemaah mencapai angka yang fantastis sekitar Rp3 triliun. Sebagian dana tersebut digunakan untuk membayar berbagai komponen perjalanan yang harus dibayar di awal.
Potensi Kerugian PIHK di Depan Mata
Batalnya keberangkatan haji furoda ini bukan hanya membuat jemaah saja yang berduka. Di balik layar, puluhan PIHK kini menjerit. Ketua Umum Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah (Amphuri) Firman M Nur mengatakan, potensi kerugian cukup besar, dari hangusnya tiket penerbangan yang sudah di-booking dan akomodasi Mekah-Madinah yang sudah dibayarkan. “Ini potensinya antara US$3.000 sampai US$5.000 (sekitar Rp48-81 juta) setiap jemaah karena akomodasinya sebagian sudah disalukan,” kata Firman, kepada Inilah.com, Sabtu (31/5/2025).
PIHK umumnya telah membayar uang muka atau bahkan lunas untuk tiket pesawat, akomodasi hotel di Mekkah dan Madinah, transportasi lokal, dan serta operasional lainnya seperti pengurusan dokumen, mutawif, dan katering. Diperkirakan, porsi terbesar kerugian PIHK berasal dari pembayaran yang bersifat non-refundable atau sulit diklaim kembali.
“Banyak travel yang sudah input data dan bayar layanan Masa’ir (layanan Arafah, Muzdalifah, Mina), tapi visanya tidak jadi,” tambah Abdullah Mufid Mubarok, Ketua Bidang Humas & Media DPP Amphuri, kepada media.
Setiap PIHK menderita kerugian yang tidak bisa dibilang kecil. Untuk jemaah sekitar 50 orang, kerugian bisa mencapai Rp2-3 miliar. Bahkan ada PIHK yang mengalami kerugian puluhan miliar dengan jumlah ratusan calon jamaah haji furoda. Beberapa di antara PIHK itu sudah membawa jemaahnya ke Jakarta, berharap ada keajaiban, visa turun di menit-menit terakhir.
Jemaah dipastikan menuntut pengembalian dananya secara penuh sehingga PIHK-PIHK ini bakal menelan kerugian besar. “Kami sedang berupaya menjual kembali apa yang sudah dibooking. Misalnya tiket hotel kami tawarkan kepada pihak lain,” kata salah seorang pengurus PIHK, kepada Inilah.com.
Beberapa travel kemungkinan akan mencoba jalan tengah, mengembalikan setengah uang, menawarkan pengalihan keberangkatan ke tahun depan, atau bahkan “kompensasi umrah”.
“Amphuri berharap PIHK dan calon jemaah dapat bermusyawarah untuk mencapai kesepakatan menyelesaikan proses refund biaya antara penyelenggara dan jemaah. Kami sudah kirimkan edaran terkait hal itu,” tambah Firman M Nur.
Tapi bagi mereka yang sudah menyiapkan diri secara mental dan spiritual untuk berhaji tahun ini, tawaran semacam itu terasa seperti memberi permen pada orang yang kehilangan rumah. Hanya pelipur lara sementara.
Gagalnya visa Furoda tahun ini membuka kotak pandora permasalahan hukum dan regulasi yang selama ini terabaikan. Selama bertahun-tahun, bisnis haji Furoda adalah tambang emas bagi PIHK. Permintaan besar dari masyarakat berpenghasilan tinggi yang tidak ingin menunggu antrean panjang ONH reguler menjadikan haji furoda primadona. PIHK pun bisa meraup keuntungan besar.
Namun, keuntungan itu tidak selalu bersih. Penjatahan visa haji furoda sebelum-sebelumnya kerap menjadi ajang permainan oknum. Praktik penyelenggaraan haji furoda selama ini memang lekat dengan aroma tak sedap. Jatah visa kerap diperdagangkan oleh oknum di dalam dan luar negeri. Beberapa visa bahkan muncul mendadak tanpa nama jemaah tetap, sementara di sisi lain, jemaah resmi justru gagal berangkat.

Indikasi praktik percaloan visa, melibatkan oknum penyelenggara haji pemerintah dan PIHK, bukan rahasia umum. Praktik-praktik tersebut menciptakan celah ilegal dan menguntungkan segelintir pihak, namun kini, celah itu justru menjadi bumerang.
Tanggung Jawab Siapa?
Sistem ini berjalan di wilayah abu-abu. Pemerintah Indonesia tidak mengatur secara rinci pengawasan dan perlindungan hukum bagi jemaah furoda. Secara hukum, posisi PIHK berada dalam dilema. Mereka bukan bagian dari pemerintah, tapi mengelola ibadah yang sangat sensitif.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah, visa furoda hanya disebut sekilas, tanpa pengaturan teknis dan tanpa jaminan perlindungan jemaah. Akibatnya, saat kegagalan seperti ini terjadi, tidak ada mekanisme penyelesaian yang jelas. Semua pihak seperti saling tuding membuat jemaah tambah frustrasi.
Menteri Agama Nazaruddin Umar menekankan bahwa keputusan penerbitan visa furoda bukan kewenangan Kementerian Agama, tetapi sepenuhnya menjadi otoritas pemerintah Arab Saudi. “Kami sudah komunikasi terus (dengan pemerintahan Arab Saudi). Siang malam kami komunikasi. Kami akan bantu insyaallah,” kata Nazaruddin yang juga Imam Besar Masjid Istiqlal itu, Kamis (29/5/2025).
Skema seperti ini akan terus berisiko karena tidak ada sistem pengawasan yang terintegrasi, tidak ada escrow account (rekening bersama), dan kurang tegasnya sanksi bagi travel yang gagal memenuhi janji. PIHK juga perlu membuktikan transparansi penggunaan dana jemaah dan wajib memberikan informasi status visa, progres pemesanan, serta laporan keuangan secara rutin kepada jemaah.
Yang jelas, ribuan jemaah kini bingung menuntut pengembalian dana. Sesuai aturan, seharusnya dana calon jemaah haji yang batal berangkat dikembalikan 100 persen. Namun, PIHK tentu akan kesulitan.
“Kami tidak menipu. Kami pun korban. Kami percaya visa akan keluar, seperti tahun-tahun sebelumnya. Tapi tahun ini berbeda,” kata seorang pengurus PIHK di Surabaya.
PIHK tentu memiliki tanggung jawab hukum terhadap jemaah yang telah membayar. Pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melawan hukum bisa menjadi dasar tuntutan ganti rugi. Namun, apakah PIHK dapat mengklaim force majeure (keadaan kahar) karena pembatalan visa oleh Pemerintah Arab Saudi? Ini menjadi perdebatan hukum yang kompleks.
Lemahnya regulasi non-kuota menjadi sorotan dan seperti alarm keras bagi ekosistem haji di Indonesia. Pemerintah memiliki tanggung jawab pembinaan dan pengawasan terhadap PIHK, meningkatkan koordinasi resmi dengan Kerajaan Saudi terkait kuota visa mujamalah serta memberikan sosialisasi yang cukup kepada masyarakat tentang haji furoda. Tanpa itu, ribuan mimpi suci akan terus berpotensi kandas di tengah jalan.
(Diendin/Clara Anna)