Wakil Menteri Hukum (Wamenkum) Edward Omar Sharif Hiariej memastikan UU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang sedang dibahas, sudah diformulasikan dengan sedemikian rupa agar tidak mengutamakan satu pihak dan meninggalkan pihak yang lain.
Dia bilang, dalam hukum acara pidana terdapat dua kepentingan yang bertentangan, yaitu pihak pelapor dan pihak terlapor. Sehingga hukum acara pidana harus diramu secara netral, dalam pengertian di satu sisi ada kewenangan aparat penegak hukum, namun di sisi lain kewenangan tersebut harus dikontrol supaya menjadi hak-hak asasi manusia.
“Untuk mencegah supaya tidak terjadi kriminalisasi terhadap warga, dalam usulan pemerintah kita mengatakan bahwa untuk menyeimbang antara kewenangan polisi dan jaksa yang begitu besar, tidak lain dan tidak bukan kita harus memperkuat dan memposisikan advokat ini sederajat dengan polisi dan jaksa,” ujarnya dalam keterangan diterima di Jakarta, Minggu (10/8/2025).
Dia menambahkan, RUU KUHAP disusun dengan prinsip due process of law yang menjamin dan melindungi hak-hak individu, serta memastikan aparat penegak hukum menjalankan aturan yang termuat di dalam KUHAP.
Eddy mengatakan, RUU KUHAP masih terbuka untuk diperdebatkan, bahkan DPR berencana untuk melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum untuk menerima aspirasi masyarakat. Kementerian Hukum pun melakukan inventarisasi masukan yang rinci dan jelas, mencakup pihak siapa yang memberikan masukan apa di tanggal berapa.
“Kami punya catatan yang rapi bahwa ini masukan dari siapa, kita akomodasi seperti ini, mengapa usulan ini tidak kita akomodasi, apa dasar pertimbangannya. Kami dari pemerintah dan DPR wajib untuk mendengarkan masukan, wajib untuk mempertimbangkan, kemudian dalam pertimbangan kita kenapa tidak digunakan usulan ‘A’ tapi kita menggunakan usulan ‘B’, itu kita wajib untuk menjelaskan kepada publik. Itu adalah arti dari meaningful participation,” kata dia.
Sebelumnya, aktivisi Haris Azhar menyoroti judicial scrutiny atau yang ia sebut sebagai pengawasan terhadap kinerja aktor penegak hukum. Menurutnya, sudah puluhan tahun hukum acara pidana Indonesia tidak digunakan secara profesional dan proporsional.
Dia menilai, KUHAP yang saat ini digunakan tidak ‘up to date’, baik dari sisi peristilahannya, konsep pidananya, hingga kurang kuatnya restorative justice. Maka momentum akan berlakunya KUHP yang baru, perlu diimbangi juga dengan KUHAP yang baru.
Haris mengusulkan, pengungkapan kebenaran dimulai dari tahap penyelidikan. Maksudnya adalah sebuah laporan mengenai apakah suatu perkara dilanjutkan atau dihentikan, entah itu karena ketiadaan barang bukti atau karena termasuk restorative justice. Dan jika perkara itu telah selesai, maka laporan fakta atau kebenaran itu dapat menjadi pembelajaran.
“Dia harus berbasis kepada kebenaran, ada truth yang diungkap, meskipun dia masih di penyelidikan, karena penyelidikan pun sudah makan duit negara. Dilanjutkan atau dihentikan atas dasar ketiadaan alat bukti atau karena dia restorative justice, maka dia harus memproduksi suatu laporan truth-nya itu, faktanya. Bisa tidak dia menjadi suatu standar kaidah yang masuk dalam KUHAP yang akan diterbitkan segera ini?” usul Haris.